Funan telah sering mendengar cerita ibunya Sani Banamtuan, bahwa kakek Funan dari pihak ibunya memiliki ikatan darah yang kuat dengan keluarga raja Louis Nope, raja Amanuban. Mereka berasal dari garis keturunan yang sama yang dipercayai memiliki kharisma dan wibawa yang kuat.
Hubungan ini membuat Funan menjadi buah bibir di antara penduduk kota Kupang sebab spekulasi berkembang tentang bagaimana ikatan ini mempengaruhi nasib kota ini.
Funan sendiri tumbuh dalam keyakinan bahwa kekuatan keluarganya, baik dalam hal hubungan kekerabatan maupun nilai-nilai warisan mereka, adalah sumber kebanggaan dan kekuatan. Dia bertekad untuk menjaga tradisi dan menghormati warisan yang diberikan dalam hubungan kekerabatan tersebut.
Di tengah sorotan matahari yang menyengat, cerita tentang Raja Louis memenuhi setiap sudut kota Kupang. Dia bukan hanya sosok yang terkenal, tetapi juga menjadi bahan pembicaraan yang tak terhindarkan di warung-warung kopi dan keramaian pasar.
Raja Louis, dengan pakaian kebesarannya yang keemasan, berkilau di bawah sinar mentari Timor, menjadi simbol dari kekuasaan dan ketegangan politik yang mengguncang Kupang dalam beberapa tahun terakhir.
Sejak tahun 1802[1], berita tentang serbuan yang dilakukannya terhadap kelompok pedagang budak suruhan pejabat Belanda telah menyebar dengan cepat di seantero kota Kupang. Namanya terpatri dalam benak setiap warga.
Peristiwa itu terjadi di sebuah tempat dekat kota Kupang, di mana keberanian Raja Louis untuk melawan pengaruh Belanda menggetarkan hati warga kota ini. Suaranya membahana dalam setiap perbincangan oleh nelayan di tepi pantai, oleh pedagang di pasar yang ramai, dan oleh para bhurger yang berdebat di gedung-gedung pemerintahan.
Keberanian dan kekuatan
Kisah tentang Raja Louis bukan hanya tentang keberaniannya menghadapi kekuatan kolonial, tetapi juga tentang perubahan yang ia bawa ke dalam situasi politik di kota Kupang. Dia adalah simbol yang dengan tegas yang telah mempertanyakan otoritas orang Belanda atas tanah Timor.
Di balik cerita-cerita yang tersebar luas, Raja Louis menjadi pusat dari perseteruan politik yang berkecamuk di Kupang. Setiap tindakannya, telah menegaskan bahwa keadilan dan kebebasan adalah harga yang patut dibayar, bahkan di tengah lautan penolakan dan situasi politik yang selalu berubah.
Di tengah ruang resmi yang megah di kediaman Resident Johannes Giesler, udara terasa tegang di saat para pedagang budak berdiri dengan rasa khawatir yang mendalam. Mereka menceritakan pengalaman mereka dengan nada gemetar, tentang serbuan tak terduga yang dilakukan oleh Raja Louis beserta pasukannya. Mereka merincikan bagaimana mereka diserang dan dipermalukan serta harus kehilangan budak-budak yang merupakan sumber pemasukan yang telah mereka kumpulkan dengan susah payah. Bahkan beberapa pasukan terluka.
Resident Johannes Giesler, pria yang tegap dengan jenggot putihnya yang panjang dan mata yang tajam sedang mendengarkan dengan serius. Ekspresinya berubah menjadi gusar. Dia menekan kepalanya dengan tangannya yang besar, mencoba mengendalikan kemarahannya yang memuncak.
"Dia tidak bisa melakukannya!" teriaknya dengan suara yang bergema di seluruh ruangan.
"manusia itu telah mempermalukan kita!".
Dengan tangan gemetar, para pedagang budak itu terdiam ketakutan saat Resident Giesler melepaskan amarahnya. Giesler mengutuk dan mencela Raja Louis serta menggemakan pernyataan tentang konsekuensi yang akan dihadapi Louis karena berani menentang otoritas Belanda.
Dibawah sorotan cahaya lampu dan lilin yang menerangi ruang kerja di kediaman resminya, Resident Johannes Giesler duduk di meja besar yang penuh dengan tumpukan dokumen dan peta. Matanya yang tajam terfokus pada lembaran kertas yang baru saja ditandatangani. Surat itu berisi ancaman yang tidak boleh diabaikan oleh Louis, pemimpin yang baru saja menciptakan kekacauan di Kupang.
Resident Giesler menghela nafas dalam-dalam, mencoba menahan emosinya yang masih membara. Tindakan Raja Louis terhadap para pedagang budak Belanda yang membawa budak dari Amabi Kupang[2] telah menimbulkan ketegangan yang sulit diprediksi. Tindakan ini juga merugikan ekonomi Belanda. Dengan hati-hati, dia merumuskan kata-kata yang akan mengirimkan pesan yang jelas dan tegas namun tetap mempertahankan marwah dan otoritas Belanda.
"Demi kehormatan dan kedamaian Kupang," gumamnya perlahan sambil menulis dengan tinta hitam yang pekat. "Tindakan anda dengan merampas 11 orang budak-budak Timor yang kami beli dengan harga mahal tidak dapat dibiarkan. Kami menuntut penyelesaian yang baik-baik atas peristiwa yang telah terjadi."
Tinta basah dari pena khususnya menegaskan kata-kata ancaman yang diarahkan kepada Raja Louis. Resident Giesler tahu bahwa pesan ini tidak hanya akan sampai ke tangan Raja Louis, tetapi juga akan menandai perubahan dalam dinamika politik di Kupang. Surat itu adalah teguran keras kepada Raja Louis untuk bertanggung jawab atas tindakannya, menegaskan bahwa keadilan harus ditegakkan bahkan di bawah bayang-bayang kekuatan lokal yang terkadang tidak terduga.
Di ujung meja perundingan yang melelahkan, disepakati bahwa Louis akan mengembalikan tiga dari budak-budak Amabi Kupang ini kepada pihak Belanda. Sementara itu, ia menolak menyerahkan delapan orang lainnya bahkan menegaskan bahwa ia menebus mereka dengan uang. Otoritas Belanda yang berusaha untuk tidak kehilangan muka akhirnya harus menerima kesepakatan ini dengan berat hati.
Louis menghela nafas panjang ketika ia menyerahkan tiga budak-budak ini. Wajahnya terlihat berat karena kehilangan mereka, namun tidak ada pilihan lain.
Ke delapan orang budak yang berhasil dibebaskan Raja Louis itu kemudian tinggal bersamanya di Niki-Niki. Mereka belajar mengenal kehidupan baru di bawah perlindungan Louis. Beberapa tahun berlalu dengan cepat, dan Louis memutuskan untuk menempatkan mereka di kampung Naijlakie sebagai warga merdeka[3]. Di sana, raja Louis memberi mereka tanah untuk bercocok tanam dan beternak, memberikan mereka kesempatan dan harapan untuk membangun kehidupan baru yang lebih baik.
Namun Louis tidak pernah bisa melupakan ancaman dari Resident dan pemerintahan Belanda. Rasa tertantang terus menggelora di dalam dirinya. Dorongan untuk menentang kekuasaan Belanda semakin kuat, membuatnya sering melakukan serbuan dan mengganggu perdagangan budak Belanda di Kupang.
Louis tidak hanya melihat tindakannya sebagai balas dendam, tetapi juga sebagai upaya untuk menegakkan keadilan dan kemerdekaan bagi sebagian rakyat Timor yang mengalami intimidasi dan kerakusan pejabat Belanda. Ia siap menantang segala risiko yang ada, demi mewujudkan cita-cita untuk keadilan dan kebebasan di pulau ini.
Pada tahun 1808, suasana di sekitar Kupang semakin tegang dan penuh dengan konflik. Louis, seorang tokoh yang menjadi simbol perlawanan terhadap penjajahan Belanda di Timor, mendapati dirinya terlibat dalam peristiwa yang menggoncangkan hati dan pikirannya sendiri[4].
Kejadian dimulai ketika salah satu raja sekutu Belanda di Kupang mengeksekusi seorang pemuda dari Manubait. Penyebabnya adalah pemuda ini menolak untuk dijual sebagai budak, sebuah tindakan yang patut dihormati. Namun penolakan ini dianggap sebagai bentuk perlawanan. Eksekusi ini didukung penuh oleh Resident Belanda yang bertujuan untuk menakuti dan menundukkan penduduk lokal agar taat pada semua kekejaman mereka.
Meskipun peristiwa ini jauh dari kampung halamannya, dari yuridiksi wilayah kerajaaannya, namun Louis tidak bisa membiarkan kejahatan ini berlalu begitu saja. Hatinya penuh dengan kekecewaan dan kemarahan atas perlakuan kejam terhadap sesama manusia. Baginya, ini bukan hanya soal keadilan individual, tetapi juga mengenai harga diri dan martabat Atoin Meto’. Martabat orang Timor.
Dengan penuh perhitungan, Louis memutuskan untuk menyerbu tempat eksekusi tersebut. Di bawah langit yang mendung dan angin yang kencang, pasukannya bersiap untuk menunjukan ketangguhan mereka. Bergerak dengan cepat, mereka membawa api kemarahan dan keinginan untuk membela kebenaran.
Louis tahu bahwa serbuan ini tidak hanya tentang menghukum pelaku eksekusi, tetapi juga memberi pesan keras kepada Belanda bahwa kekejaman mereka tidak akan diterima begitu saja. Setiap langkahnya dihiasi dengan pertanyaan, "mengapa sesama manusia rela menjual saudaranya?". Dengan tekad yang teguh, Louis dan pasukannya bergerak maju, siap untuk menghadapi segala resiko dan konsekuensi dari tindakan heroik mereka. Bagi Louis, ini adalah saat untuk menegakkan keadilan dan melawan penindasan, meskipun bayang-bayang bahaya maut selalu mengintai.
Louis dan pasukannya melaju dengan perasaan yang meluap-luap menuju tempat eksekusi yang mendung dan penuh kekejaman. Cahaya suram matahari mengarahkan mereka melalui lorong-lorong sempit dan jalan-jalan kota Kupang yang sepi.
Serangan di tempat eksekusi penuh kejutan. Suasana sunyi terputus oleh aroma kematian. Tempat dimana pemuda ini menghembuskan nafasnya yang terakhir menjadi saksi kepiawaian Louis menggerakan senjatanya. Dia berhasil menghancurkan gerombolan eksekutor, bahkan datasemen Belanda yang berada disana menjadi tidak berdaya atas serangan ini.
Bunyi tois[5] yang menyayat hati dituip oleh salah satu ksatria Amanuban yang menandakan bahwa pertempuran telah usai. Mereka lalu membawa jenazah pemuda yang dieksekusi sebagai simbol perlawanan bagi orang Timor.
Waktu berlalu dan perlawanan Louis semakin intens. Sejak tahun 1808[6] itu, Kupang menjadi saksi dari serangan-serangan yang heroik, dipimpin oleh Louis sendiri dengan keberanian dan strategi yang mengagumkan. Pertengahan tahun 1810 adalah serangan yang paling menggemparkan. Hari itu, angin bertiup sepoi-sepoi, membawa aroma laut yang segar dan mengabarkan kedatangan perubahan di udara.
Pusat kota Kupang, dengan rumah-rumah Belanda yang kokoh, menjadi sasaran serangan berani ini. Pasukan Louis memilih rute yang paling tidak terduga, melalui lorong-lorong kecil dan jalan sempit, melewati pos penjaga yang belum bersiap siaga. Api berkobar di tangannya, memancarkan kilatan merah di wajah-wajah tentara pemberontak yang menyerang.
Mereka mencapai permukiman orang-orang Belanda dengan kecepatan yang mengejutkan, memasuki wilayah musuh tanpa ampun. Rumah-rumah besar dari kayu dan batu dijarah dan dibakar, menyebarkan api yang membara di sepanjang jalan. Suasana menjadi panik, dengan teriakan dan keributan memenuhi udara.
Louis berada di tengah kekacauan itu, membimbing pasukannya dengan kepemimpinannya yang kuat dan tegas. Dia tahu bahwa ini adalah langkah penting dalam perjuangan mereka melawan penjajah. Dalam hatinya, tekadnya terpatri kuat : untuk membebaskan tanah air dari penindasan, dengan cara apa pun yang diperlukan. Apapun harganya.
Di antara suara gemuruh dan asap yang menghitamkan langit, Louis dan pasukannya menorehkan perlawanan yang tidak akan terlupakan dalam sejarah. Mereka telah membuktikan bahwa bayang-bayang kekuatan besar dapat dikalahkan oleh keberanian dan tekad yang paling mematikan. Bunyi tois yang keras mengumpulkan kembali para ksatria Amanuban yang telah melampiaskan amarahnya meninggalkan reruntuhan yang telah menghancurkan reputasi kolonial Belanda.
Pamor pemerintah Belanda jatuh hingga pada titik terendah yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Kepiawaian Louis dalam memimpin serangkaian serangan telah mengguncang dasar kekuasaan kolonial di Timor. Setiap langkahnya tidak hanya menimbulkan kerugian militer, tetapi juga mempengaruhi moral dan otoritas Belanda di mata rakyat setempat.