CINTA MENEMBUS BATAS

Pina Ope Nope
Chapter #4

Bagian Tiga - Langkah Funan yang berani

Funan, wanita dengan mata yang tajam telah menyimpan serpihan kesedihan. Pikirannya selalu terbenam dalam kenangan bersama almarhum suaminya, Alfred Whitcome, sosok yang pernah mendirikan usaha yang kini menjadi jantung kehidupannya. Di balik senyum ramah yang sering dia tunjukkan kepada setiap pelanggan, telah tersimpan kerinduan yang mendalam pada Whitcome.

       Di samping Funan ada Nube, adik laki-lakinya yang baru beranjak dewasa. Meski baru berusia 16 tahun, ia telah membantu Funan mengatasi berbagai kesulitan yang datang. Raut wajahnya menunjukkan ketegasan dan ketekunan, mencerminkan pelajaran yang selalu dia ambil dari saudara perempuannya itu.  

       Di balik jendela kayu yang berderit, Funan mengamati hiruk-pikuk pasar yang semakin sepi. Bisnisnya, yang dulunya berkembang pesat, kini lengang oleh guncangan perang. Perang Napoleon dan perang Louis telah meredupkan derap kehidupan Kupang. Suara riuh pedagang dan pelanggan yang saling tawar-menawar telah berkurang, berganti dengan bisikan penuh kekhawatiran.

       Namun Funan terus menjalankan usahanya. Ia membeli kuda-kuda dari pulau Sumba, hewan yang dikenal kekuatan dan keanggunannya. Setiap ekor yang ia pilih adalah hasil kerja keras, penuh perhatian, dan kasih sayang. Kuda-kuda ini kemudian dijual ke pulau Timor, di mana kebutuhan bagi militer dan transportasi.

       Raja dan para ksatria Meo-Meo Amanuban, menjadi pelanggan setia Funan. Kebanggaan yang melekat pada status mereka, menjadi alasan untuk memiliki kuda-kuda terbaik. Mereka menjadi tunggangan pasukan kavaleri Amanuban yang kini menjadi potensi konflik bagi kota Kupang.

       Para pejabat Kolonial menyadari, setiap kuda yang dijual Funan juga membawa beban emosional. Setiap langkah yang dilakukan oleh kuda-kuda ini menjadikan pulau Timor menuju kepada ketidakpastian. Setiap kuda yang terjual adalah ancaman bagi harapan dan impian mereka akan ketenangan bagi koloni.

       Namun bagi Funan hidupnya harus dipertahankan. Meski bisnisnya tertegun dalam bayang-bayang peperangan, semangatnya untuk bertahan tetap menyala. Kuda-kuda itu adalah lambang kekuatan dan keberanian, sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh semua orang di saat-saat sulit ini.

       Sejak tiga tahun lalu, hiruk-pikuk pasar di mana Funan beroperasi terasa semakin sepi, terutama ketika perintah tegas Resident Kupang agar penjualan kuda ke Amanuban dihentikan.

        “Tidak boleh ada kuda yang dijual ke Amanuban,” kata Resident dengan nada yang penuh otoritas dan wibawa. Keputusan itu, meski diambil dengan pertimbangan keamanan, terasa seperti sabetan pedang di tengah jantung usaha Funan.

       Di balik jendela, Funan memandangi kuda-kuda yang gagah berdiri di kandang, mata mereka penuh ketidakpahaman tentang situasi ini. Setiap ekor kuda seolah bertanya mengapa mereka terkurung dalam kesunyian, padahal seharusnya mereka dapat berlari bebas di padang hijau Amanuban, menjadi bagian dari pasukan kavaleri Amanuban yang gagah perkasa.

 

Kelesuan di Kupang

       Bukan hanya Funan, pemerintah Belanda pun merasakan dampaknya. Penutupan jalur perdagangan ini menciptakan kerugian yang tak terhindarkan, sekalipun mereka beralasan demi kestabilan politik. Ketetapan ini bukan hanya sekadar aturan; ini adalah gambaran nyata dari pertarungan antara kekuasaan dan kehidupan sehari-hari, antara kebijakan dan manusia.

       “Sebelum orang-orang udik itu menjadi bencana,” ujar Resident dengan nada sinis, menekankan keputusan yang diambilnya walaupun memiliki konsekwensi pada situasi keuangan kolonial.

       Di balik kata-kata itu, tersimpan pandangan sempit seolah meremehkan kebudayaan dan nilai-nilai orang Amanuban. Bagi Resident, masalah sesederhana berdagang kuda telah menimbulkan dampak yang lebih luas dan rumit.

       Di malam hari, ketika bayangan bulan menjuntai lembut di atas permukiman kota Kupang, Funan sering kali merenung. Keputusan Resident Kupang adalah sebuah peringatan bahwa dunia tidak selalu sejalan dengan impian. Dia tahu, satu hari nanti, bisnis jual beli kuda akan pulih kembali dan pada saat itu, dia akan siap merajut kembali masa depan yang lebih cerah.

       Kini tanpa penjualan kuda, perdagangan cendana yang selama ini mengalir dari Amanuban pun terhenti. Cendana, kayu berharga yang memiliki aroma harum dan digunakan untuk berbagai keperluan, tumbuh subur di tanah itu. Dan lebih jauh lagi, tanpa cendana, lilin lebah telah menciptakan kekosongan yang terasa di setiap sudut pasar.

       Dalam keremangan malam, Funan berpikir, bagaimana bisa orang-orang yang terikat dengan tradisi dan sejarah dianggap sebagai bencana? Baginya, kuda, cendana dan lilin lebah adalah simbol kehidupan yang saling berkaitan. Namun, Resident Kupang tetap bersikukuh pada keputusannya. Dalam benaknya, langkah ini adalah untuk menjaga stabilitas kota Kupang.

       Kini, sang Gubernur Kupang terpaksa mengandalkan pemasukan cendana, budak, dan lilin dari 14 raja sekutu Kompeni lainnya. Strategi ini, meskipun mendesak, tidak cukup untuk menutupi kerugian yang ditimbulkan oleh situasi politik yang kian tidak stabil. Terlebih lagi, ulah Raja Louis—seorang penguasa yang ambisius—semakin memperburuk keadaan, menciptakan ketidakpastian yang melanda seantero Kupang.

       Dampak dari ketidakpastian politik ini begitu terasa, terutama pada bisnis-bisnis kecil yang berjuang untuk bertahan. Funan merasakan beratnya beban di pundaknya saat melihat para pelanggan yang dulunya setia kini berbalik, menunda pembayaran hutang dengan dalih bahwa perang yang dipicu oleh Louis telah menguras pemasukan mereka. Dalam setiap pertemuan, senyuman yang pernah menghangatkan suasana kini digantikan dengan kerisauan dan ketidakpastian.

       Funan merasa frustrasi. Setiap kali namanya yang memiliki hubungan dengan Louis itu disebut dalam bisikan pengaduan di pasar, rasa kebenciannya kepada Louis semakin memuncak. Pamannya itu, yang seharusnya menjadi pelindung dan pengayom, justru membawa malapetaka bagi rakyat kota Kupang. Dalam pikirannya, Funan membayangkan sosok Louis dengan kebanggaan yang memancarkan aura kekuasaan, tetapi di balik itu, Funan menilai Louis adalah seorang penguasa yang terjebak dalam ambisi pribadi dan ketidakpedulian terhadap nasib orang-orang di kota Kupang.

       Dengan tatapan menerawang ke arah kandang kuda yang sepi, Funan merasa terjebak dalam siklus kesulitan. Kuda-kuda yang pernah menjadi lambang harapan kini menjadi pengingat akan mimpi yang terus-menerus terancam. Dia bertekad untuk bangkit, mencari jalan keluar dari bayang-bayang ketidakpastian yang dilahirkan oleh keputusan Louis.

 

Dibalik kenangan

       Dalam hatinya, dia tahu bahwa meski situasi sulit, ada kekuatan yang dapat diambil dari perjuangan ini—sebuah kesempatan untuk berjuang demi keadilan dan kemandirian yang selama ini diinginkan.

       Dulu, ketika Funan masih kanak-kanak, dunia baginya penuh warna dan petualangan. Salah satu tempat paling berkesan adalah Niki-Niki, istana megah milik Raja Louis. Di sana, setiap sudutnya dipenuhi tawa dan kenangan, terutama saat pamannya itu memanjakannya dengan kasih sayang yang melimpah. Louis, yang dikenal sebagai raja yang tegas, memiliki sisi lembut yang hanya terlihat saat bersamanya.

       Funan merasakan betapa berartinya kasih sayang itu, sebuah harta yang tak ternilai di tengah kebisingan kekuasaan dan ambisi.

       Semua orang di kerajaan tahu bahwa hubungan mereka istimewa. Setiap kali Funan melangkah masuk ke Niki-Niki, ia disambut dengan hangat. Louis akan mengajaknya berkeliling, menceritakan kisah-kisah legendaris tentang kepahlawanan dan tradisi leluhur mereka. Mata Funan berbinar penuh rasa ingin tahu, dan Louis dengan penuh kesabaran menjelaskan setiap detail, seolah-olah dunia yang mereka huni adalah bagian dari dongeng yang tak pernah berakhir.

Lihat selengkapnya