Hari terus berlari. Entah untuk ke berapa ribu kalinya aku di sini. Menatap matahari terbenam yang membuat riak air danau berwarna keemasan. Burung-burung kecil yang meliuk-liuk bermain dengan angin menjadi sahabat yang mengantarkan aku mengingatnya.
Ya, dia. Yang selalu bersembunyi disebuah ruang rahasia di balik lubuk hatiku. Yang terkadang tiba-tiba memeluk rasaku. Rasa yang seperti badai. Yang tidak akan pernah membiarkan aku lolos. Seperti sekarang, aku serasa dihimpit semesta dalam keindahannya yang tidak bisa ku genggam.
”Kau dipeluk tapi tak bisa memeluk.” Kalimat itu masih hangat rasanya. Walau memang sekarang aku sudah samar mengingat apa maksudnya. Tapi aku merasakan kemana arahnya.
Awan jingga dan binar keemasan senja yang dirajut cicit burung-burung kecil dalam harmoni sepoi angin yang membelai riak air danau mengantarkan aku pada ruang dan waktu yang tersimpan tiga belas tahun yang lalu.
17 Agustus, 2007. Sebuah karnaval perayaan kemerdekaan. Aku di sana. Duduk disebuah kursi yang Nampak mewah kuning berkilau. Aku meliuk bergerak teaterikal di atas truk yang disulap layaknya sebuah kerajaan megah yang berjalan berlahan ditarik oleh puluhan orang bertelanjang kaki tak berbaju dengan warna kulit yang dicat kuning keemasan. Rambut-rambut mereka kusut dengan wajah kumal. Tapi mereka tersenyum. Aku memakan apel sambil memutar-mutar cambuk di kursi kebesaranku.
Setelah karnaval kami tepat berada di depan pendopo kabupaten Kuningan. Puluhan orang laki-laki, perempuan, tua, muda, dan anak-anak dibalut kain putih sedemikian rupa menyeruak dari dalam truk yang terbalut oleh property kerajaan yang berkilau. Mereka mengibar-ngibarkan bendera merah putih. Sebagian memaksa naik ke atas kerajaan sampai beberapa dari mereka memaksa aku turun dan masuk ke dalam truk. Didudukanya sepasang anak yang tampak putih bersih di kursi keemasan yang tadi aku duduki. Sebagian lagi dari mereka berjalan menemani dan membersihkan keringat orang-orang yang menarik kerajaan itu.
Sore menjelang. Karnaval pun usai. Kami di anugrahi piala, piagam, dan sedikit uang, oleh panitia karnaval karena kami adalah pemenangnya. Ya, pemenang. Karena kami adalah satu-satunya komunitas teater di kota ini waktu itu. Peserta lainya adalah anak sekolah, dan warga setiap desa di kota kami yang kurang mengerti tentang seni pertunjukan. Jadi, selamat atas kemenangan kita.
Menjelang magrib aku pulang dari sanggar menuju kampus. Suasana kota Kuningan masih ramai. Orang-orang masih duduk-duduk santai sambil menikmati ujung perayaan kemerdekaan sambil bersiap untuk pulang. Jadi aku memilih berjalan kaki. Bukan karena kampusku dekat. Tapi memang tidak punya kendaraan. Walau lelah setelah karnaval seharian, kali ini aku tidak menyerah. Karena seseorang sedang menantiku di kampus.
Jalanan masih macet. Polisi masih sibuk mengatur lalu lintas. Tentara pun masih banyak yang berjaga-jaga. Perayaan yang luar biasa. Mereka tampak lusuh. Tapi senyum mereka menutup rasa lelah. Kampusku masih jauh. Dengan jalan kaki aku akan tiba di sana dalam 15 menit. Mengingat dia menantiku, rasanya aku ingin melesat agar cepat sampai.
Aku memanfaatkan sisa tenaga dari lelah untuk berlari, agar dia tidak terlalu lama menungguku. “oh… tunggu aku sayang…!” Pikiranku. Sejenak aku terperanjat mendengar gumam hatiku. “Sayang…? kenapa hatiku mengatakan itu padanya? Bahkan dia bukan pacarku. Ah... tapi rasanya lelahku hilang mengingat dia sedang menantiku.”
Diskusi panjang antara hati dan pikiranku membuatku terkejut ketika menyadari tiba-tiba aku sudah berada di depan gerbang kampus. Pak satpam menyapaku.
“Raka. Luar biasa. Aku liat acting kamu tadi di atas kursi kerajaan. Keren.”
“Loh, tadi nonton?
“Iya dong. Kan, tugasnya sore.”
“Mantap…!”
“Slamat ya. Katanya juara satu.”