Sang mentari mulai menyapa bumi, disambut oleh nyanyian burung-burung nan elok di angkasa. Pohon-pohon pun turut bergoyang syahdu menyambut hari baru. Kuselesaikan sarapanku, lalu kuikat rambutku yang bergelombang menjadi tiga bagian dengan pita. Semakin bertambah hari, jumlah kepangan rambutku akan kian bertambah. Setelah memastikan tidak ada yang terlewat dan tertinggal, aku berangkat ke sekolah bersama kakakku yang bekerja di Kantor Perpajakan.
Sesampainya di depan pintu gerbang Castrajayecwara aku turun dari motor thunder biru. Ternyata di belakangku ada teman SMP-ku yang juga meneruskan sekolah di SMAN 1 Pati, namun dia tidak satu gugus denganku. Gadis yang memiliki rambut bergelombang itu bernama Isma. Aku tunggu dia selama beberapa menit.
“Yuk, barengan masuknya, Is.” Ajakku. Lalu kami pun masuk gerbang bersama-sama.
Ternyata oh ternyata, di samping gerbang telah ada kakak-kakak DPK. Aku menyalaminya seperti sekelompok siswa di depanku, mereka masuk ke halaman sekolah dengan biasa. Namun tidak denganku dan temanku, nasib baik tak berpihak kepada kami hari ini.
“Siapa namamu?”
“Zahra Aghna...” Belum selesai menyebutkan nama, DPK yang tinggi itu menyela.
“Gugus berapa?”
“Gugus sepuluh, Kak.”
Kakak DPK mencatat nama dan gugus kami. Aku takut sekali akan terjadi apa-apa pada diriku setelah kejadian ini. Sempat terlintas di otakku, ‘Kenapa leh aku tadi menungguinya, kalau saja tadi aku nggak menunggu pasti aku nggak dicatat sama DPK.’
Namun ada kejanggalan di sini, ada siswa lain yang bersamaan masuknya denganku tapi tidak dicatat oleh DPK karena dia tidak menyapa dan menyalimi DPK. Anak itu berjalan masuk begitu saja. Huh… iri aku dengannya, begitu beruntungnya dia. Mungkin karena DPK sedang sibuk mencatat kami sehingga penglihatannya lengah dari anak itu.
“Is, kalau habis ini kita dihukum gimana?” Dalam langkahku ketakutan itu terus menghantui.
“Nggak pa pa, santai aja. Nggak bakal mati kok kita.” Isma dengan santainya menjawab. “Da aku ke kelas dulu.” Isma berjalan lurus, sementara aku harus belok ke kiri menaiki tangga karena kelasku di lantai dua.
Jadwal pertama pada hari ini adalah senam. Siswa MOPDB berbaris rapi di lapangan belakang untuk melakukan senam dengan instruktur para deputi. Kami melakukan senam dengan suka ria. Namun, tiba-tiba terdengar suara menggelegar dari belakang kami berpijak.
“Senam apa ini, senam kok kayak bebek!”
Seketika itu juga semuanya terdiam. Alunan musik senam pun dimatikan.
“Angkat rok Kalian!” lagi-lagi kata itu terdengar di telingaku.
“Yang merasa kurang benar maju ke depan!”
“Kamu sudah merasa benar? Maju!” Kata salah seorang kakak DPK yang aku tak tahu dia menunjuk siapa.
“Dek, maju!” suara mengerikan itu memekikku. Ternyata akulah yang dituju. Betapa takutnya diriku, tapi aku tidak tahu di mana letak kesalahanku. Tanpa keluar sepatah kata pun aku segera maju ke depan bersama teman-temanku yang tidak sesuai dengan aturan.
“Aku salah apanya leh?” Tanyaku setengah berbisik kepada teman yang berbaris di sebelahku. Dia diam sebentar mencoba mengamatiku. (leh adalah bahasa khas Pati berarti semacam ‘sih’).
“Tuh, Kamu memakai jepit rambut” Dia berbisik, matanya tersorot ke rambutku.
Aku mengangguk pelan. Oh, ternyata nggak boleh memakai penjepit rambut. Kok aku tidak tahu ya ada aturan seperti itu. Yasudahlah yang penting aku tahu kesalahanku supaya besok tidak kuulangi lagi.
“Ini kerjaan deputi? Bagus sekali!” DPK memarahi kakak-kakak deputi sambil bertepuk tangan. “Sudah hari kedua masih sebanyak ini yang melanggar aturan. Wow!!!”
“Sudah, sudah!” Datang kakak-kakak presidium membela kami.
Melihat presidium berdatangan, kakak-kakak DPK berbaris rapi di bawah pimpinan Kak Wisnu. Mereka berhenti sejenak memarahi kami.
“Mana argumen kalian? Mana?”
“Deputi sudah membimbing kalian tapi mana imbalan kalian?” kata salah seorang presidium berdada bidang.