Panas terik sang mentari mulai memudar. Rasa haus dan lapar yang kian mencengkeram tak menggoyahkan tekadku sedikit pun. Mengenakan kaos panjang, celana olahraga, dan tak lupa kusampirkan jilbab di kepalaku. Iya, aku memutuskan untuk berhijab. Aku berangkat ke sekolah untuk yang kedua kalinya di hari ini guna mengikuti ekstrakulikuler pencak silat yang telah lama aku idamkan untuk pertemuan perdana. Betapa terkejutnya aku ketika melihat hanya dirikulah satu-satunya perempuan di sini. Mau tak mau aku harus menerima kenyataan pahit ini.
“Wah baru kali ini ya kita kedatangan atlet perempuan dari SMA 1 Pati,” ucap pelatih yang memimpin barisan menghadap kami berdiri.
Aku sejenak berpikir, ‘Berarti sebelumnya tidak ada satu pun anak SMA 1 Pati perempuan yang memberanikan diri mengikuti ekstra ini? Wah rekor dong aku… tapi masak nggak ada teman perempuannya.’ Keberanianku mulai menciut.
“Tapi tenang, banyak kok atlet perempuan dari sekolah lain. Nanti kita pusatkan latihan di sini biar bareng-bareng dan tambah teman.” Seketika itu juga pelatihku menjawab seolah-olah mengerti apa yang sedang kupikirkan. Aku merasa sedikit lega, walau tidak untuk saat ini.
Karena ini pertemuan perdana untuk kami anak-anak kelas sepuluh, kami memperkenalkan diri satu persatu. Kini tiba giliranku untuk berbicara.
“Nama saya Zahra Aghna Az-Zidan, biasa dipanggil Zahra.”
“Dulu SMP mana?” Tanya pelatihku yang bernama Yunaefi.
“Oh, SMP Negeri 1 Wedarijaksa.”
“Pak Agung itu ya…”
“Iya, guru fisika saya.”
Kujalani kesendirian di tengah-tengah keramaian ini dengan hati ikhlas. “Dimana kita hendak bertekad, di situ pula Sang Pangeran seluruh alam akan memberikan jalan,” kata-kata itulah yang menjadi pendorongku untuk terus maju.
***
Kucoba mengotak-atik otakku agar aku tak menjadi perempuan satu-satunya yang ikut pencak silat di Smansapa. Setelah sekian lama menjelajahi dunia khayalan, akhirnya kutemukan caranya. Aku mengajak salah seorang temanku yang bernama Amalia. Kukeluarkan berbagai macam jurus ramuan mautku agar termakan olehnya. Tak mudah memang, tapi aku harus bisa dan mencobanya terlebih dahulu.
“Mau go Ma, nanti kuantar jemput deh. Ya, ya, ya? Plissss....” Rayuku memasang wajah melas.
“Yaudah deh, kucoba.” Jawabnya dengan pasrah.
“Yes… makasih Amalia Sekar Bumi yang bentuk wajahnya seperti bumi hehehe....” ucapku dengan girang.
“Dih malah ngejek, tapi nanti aku temenin ikut filtrasi PMR ya.”
“Beres itu mah.”
Sabtu sore pun telah tiba. Aku bersama Amalia mengikuti latihan pencak silat bersama. Kujalani dengan hati berbunga walaupun fisikku berkata lain. Amalia nampak lemas tak berdaya karena kelelahan. Maklum saja, dia sangat dimanjakan oleh mamanya. Kuantarkannya pulang, yah walaupun rumahnya berlawanan arah dengan tempat tinggalku tapi tak apalah, hitung-hitung pengorbanan. Sekalian ngabuburit.
Keesokan harinya badanku terasa sakit semua. Mungkin karena belum terbiasa. Tapi rasa sakit ini tak menggugurkan niatku untuk terus menekuni ekstrakulikuler ini. Berbeda denganku, Amalia menyerah dan tak mau lagi ikut latihan. Yah dari awal sih memang nggak ada niatan, pantaslah jika dia gugur di awal perjalanan. Aku menyenderkan tubuhku di kursi untuk menunggu bel masuk berbunyi.
“Kamu jadi kan ikut filtrasi PMR sama aku?” Tanya Amalia penuh harap kepadaku.
“Emm, maaf ya Ma, tapi aku nggak ada minat di PMR.” Aku merasa tak enak hati mengatakan hal ini. Namun, apa boleh buat, ini harus kukatakan.
“Yah, tolong dong.” Pintanya dengan wajah memelas persis seperti yang kulakukan dulu padanya. Tangannya memegang bahuku berharap aku berubah pikiran.
“Bukannya aku nggak mau menepati janji, tapi semua yang dipaksakan pasti tidak berakhir baik. Aku takut nanti berhenti di tengah jalan kayak kamu di pencak silat.”
“Iya sih.” Amalia pasrah dengan keputusanku. Dia pun memilih untuk mengeluarkan buku pelajaran pertama dan menyudahi pembicaraan kita.