Bayu Anggara Putra, itu adalah nama lengkap kakak kelasku yang sering kupanggil mas Bayu. Pertama kali aku mengenalnya decak kagum yang kugambarkan. Sudah tampangnya lumayan oke, ketua umum Rohis, anggota PKS, pencak silatnya juara, orangnya baik pula. Tak hanya diriku, bahkan hampir seluruh teman-temanku mengidolakannya. Setiap kali mereka melihat mas Bayu, mereka histeris layaknya bertemu artis. Akan tetapi, aku tak pernah histeris seperti mereka, aku hanya salut padanya.
Sering bertemu, itulah alasanku mengenalnya. Bermula dari latihan pencak silat sore itu, aku satu-satunya anak perempuan yang berangkat latihan. Hingga akhirnya kami menjadi akrab selayaknya adik kakak. Kedekatanku dengannya membawa kabar burung di kalangan teman-temanku. Mereka mengira aku menyukainya, dan alasan aku mengikuti ekstrakulikuler pencak silat adalah dia. Padahal aku sama sekali tidak berniat seperti itu, bahkan awalnya aku tidak mengetahui kalau dia mengikuti ekstrakulikuler ini. Aku sudah menganggapnya seperti kakak kandungku sendiri. Aku tidak pernah berniat mendekati atau apa pun itu. Tapi tak kupungkiri, aku senang mengompori teman-temanku yang suka padanya.
“Fir, Fir… kemarin sore aku bertemu dengannya.” Aku memanas-manasi Fira yang gaya berkerudungnya membuat wajahnya seperti pou, permainan yang bentuknya kentang segitiga.
“Aku malah berangkat sekolah bareng.” Katanya tak mau kalah saat aku nyalakan kompor hatinya.
“Ah nggak percaya, palingan kamu cuma ngayal doang.”
“Beneran, waktu aku mau berangkat sekolah, dia lewat depan kosku. Lalu aku berjalan di belakangnya.” Katanya dengan riang.
“Apanya… itu sih cuma kebetulan aja, nggak barengan namanya. Dodol! Aku malah diajak bicara.” Ejekku sambil menjulurkan lidah.
“Biarin.” Jawabnya dengan muka cemberut karena sering kukompori tentang kedekatanku dengan mas Bayu. Aku hanya tertawa melihat tingkahnya yang aneh seperti pacarnya aku rebut saja.
“Hallah, Fir, Fir, dikomporin Zahra gitu aja kok cemberut.” Amalia yang kini menjadi teman sebangkuku turut menimbrung. Sifatnya yang kayak anak-anak membuatnya belum tertarik membahas laki-laki. Gadis yang berpipi tembem itu termasuk dalam minoritas siswa perempuan yang tidak tergoda dengan kehadiran sosok Mas Bayu.
***
Mungkin karena aku sering bercerita tentang Mas Bayu, teman-temanku mengira aku suka padanya. Padahal niatku hanya mengompori temanku yang suka sama dia, eh... malah aku yang dituduh suka. Walaupun sudah kujelaskan bahwa aku hanya mengganggapnya sebagai kakak, tetap saja mereka bersikeras kalau aku suka padanya. Tapi tak apalah, biar apa kata orang juga aku cuek kok.
Kini aku lebih akrab dengannya. Bahkan tak jarang kami chattingan membahas hal yang penting hingga menjurus hal-hal yang sepele. Maklumlah, aku ingin sekali mempunyai kakak seumuran denganku dan dia adalah anak tunggal. Jadi kami saling melengkapi, saling menyuport satu sama lain. Udah layaknya adik kakak beneran deh….
*Mas Bayu…* kuketik dilayar ponselku, lalu kupencet tombol kirim.
*Dalem,* balasnya.
*Masak nih ya, teman-temanku ngira kalau aku suka sama kamu.* Ceritaku padanya lewat chat. Dia tertawa terpingkal-pingkal setelah membaca pesan dariku.
*Rasanya aku aneh sendiri tau nggak*
*Maklum… akukan emang ganteng, hahaha…* Balasnya dengan penuh percaya diri.
*PD abis, mentang-mentang banyak yang ngefans.* Jari jemariku lihai mengetik di ponsel layar sentuh ini.
*Termasuk Kamu kan…* ledeknya.
*Kecuali aku :P* lagi-lagi dia tertawa.
Berbagai keseruan kita perbincangkan saat di latihan pencak silat dan lewat ponsel, tetapi tidak bila di sekolahan. Dia selalu masang tampang coolnya saat berjalan tanpa menoleh ke kanan maupun ke kiri. Kalau kata fansnya sih itu keren, tapi menurutku itu songong. Tak ada waktu untuk kami hanya sekedar berbincang. Entah karena apa juga tak tahu. Kalau aku bertanya padanya kenapa kayak nggak kenal sama aku saat di sekolah, dia selalu menjawab ‘menurutku biasa aja deh Ra’.
Semakin aku jauh menapaki kehidupan ini semakin aku mengerti tentangnya, yah dia memang seperti itu orangnya.
***
Aku tak pernah menjadi stalker-nya seperti teman-temanku. Akan tetapi, justru aku yang dekat dengannya, bukan mereka yang mencari tahu apa pun tentangnya. Bahkan, di saat yang lain mengucapkan selamat ulang tahun padanya aku tak tahu kapan hari kelahirannya itu. Tapi yang jelas aku lebih menyayanginya dengan tulus, tidak seperti mereka yang hanya memandang dari sisi tampang dan sikapnya yang tampak dari luar.
Kesibukanku mengompori teman-teman tentang kedekatanku padanya tak pernah luput dari genggamanku. Hari ini aku berangkat sekolah bareng Isma karena motorku bocor. “Is aku di-follow Mas Bayu lo…”
“Yang bener aja.” Sahut gadis bertahi lalat di pipi itu dengan ketus.
“Yah nggak percaya.” Aku memasang wajah meledek dan penuh kesongongan.
“Terserah, yang penting aku sudah menjadi temannya mas ganteng.” Isma memalingkan wajahnya dariku.
“Tapi kamu yang nge-follow kan….” Ejekku pada temanku yang satu ini.
“Whatever.”
Kegemaranku ini memang selalu aku tekuni dengan berganti-ganti sasaran. Maklum, saking banyaknya yang ngefans sama dia. So… semakin banyak pula sasaran yang kuperoleh. Tapi aku melakukan ini hanya untuk bercanda kok, nggak memanfaatkan kedekatanku dengannya.
“Hai, Ra.” Sesosok perempuan berambut pendek nan ikal menghampiriku di kantin.
“Hai, Vi.” Jawabku singkat, tapi ramah.
“Ra, kamu kan adiknya Mas Bayu,” kata-katanya berhenti di tengah jalan.
“Hah, kok kamu bisa tahu soal itu?” Tanyaku heran.
“Yah tahu lah.”