“Kenapa, kamu melakukannya?”
Raka terus memegangi tangan Arum yang sebelumnya sedang menyisir rambutnya yang sangat berantakan itu, dikolong meja barista yang di atasnya terdapat banyak gelas-gelas kaca yang mudah pecah dan mereka gunakan untuk memanjakan para pelanggannya.
Arum terus terdiam menatap pandangannya yang sangat berarti untuknya, melebihi apapun ini sangat membuat hatinya menjadi tenang.
Setelah cukup lama berhadapan serta memandangi wajahnya, hal itu terhentikan oleh suara gelas keramik pecah yang dilakukan oleh karyawan disana.
Raka kembali bangkit dan melihat kekacauan apalagi yang dibuat oleh para karyawannya sekarang ini. Lagi-lagi orang yang sama yang selalu menjatuhkan gelas keramiknya karena alasan yang sama, “Tanganku keseleo.”
Seorang perempuan yang terlihat baik dan ramah lembut, memiliki paras imut serta mata bulat yang turut menghiasi wajahnya juga, rambut melengkung sampai atas bahu serta memiliki poni yang juga melengkung, dia seperti Cinderella di kedai sederhananya ini.
Nadia memiliki tinggi sekitar anak baru lulus SMA dan usianya juga baru berumur 20 tahun lebih muda lima tahun dari Arum dan sudah bekerja di kedai kopi ini selama dua tahun terakhir. Pekerjaannya, sama seperti Arum melayani pesanan pelanggan dan menyambut mereka dengan senyum manisnya.
Bekerja disini, hanya untuk memenuhi kebutuhannya untuk membiayai kuliahnya sedangkan orang tuanya yang berada di pemukiman juga sedang kesulitan dan membuat Nadia memang harus bekerja untuk membiayai kuliahnya dan bertahan hidup tanpa orang tua disini.
“Aduh,… Nadia! Kerjaan kamu kenapa terus-terusan memecahkan gelas seperti yang kamu lakukan tadi? Kamu ingin membuat orang-orang yang membuat gelas keramik ini lelah karena pesanan yang membludak?” Raka sepertinya berkata tanpa memikirkan hal banyak dan seolah-olah itu sangat ringan untuk dikeluarkannya.
Salah satu dari karyawan laki-laki mencoba mengingatkan Raka kesalahan dalam perkataannya yang asal ngawur itu, “Pak Manajer, bukankah seharusnya anda yang dirugikan karena harus membeli gelas lagi?”
Raka mengubah posisinya menjadi berhadapan dengan karyawan laki-laki yang mengingatkannya tadi, “Kenapa kamu yang ngatur? Suka-suka saya, ingin berkata apa.”
Setelah berbicara yang tidak ada gunanya, Raka berjalan keluar membawa sebuah tas yang dijinjingnya. Apakah orang itu sudah gila?