Cinta Pertama Selalu Menyakitkan

Fitriya
Chapter #1

1______NAMAKU RIAN

Kadang malaikat memang tak sempurna

Aku tak pernah tahu dari rahim wanita mana aku lahir, dan dari keluarga seperti apa aku dibesarkan. Dari kecil, mama hanya mengatakan bahwa aku harus bersyukur karena aku diberikan kehidupan oleh Tuhan, sebuah kehidupan yang mama bilang mungkin akan membuat orang lain iri padaku. “Di luar sana ada banyak orang yang menginginkan untuk bisa hidup sepertimu, memiliki keluarga dan juga sebuah rumah,” kata mama sambil mengantar aku untuk tidur di malam hujan diiringi gemuruh angin yang membuat pepohonan kepayahan menopang dahan, daun, dan rantingnya.

Mama, bagiku seperti sebuah pohon besar nan kokoh. Hujan, badai, dan angin bisa saja merubuhkannya, tapi ia tetap bertahan untuk melindungi dahan-dahannya  agar tidak tumbang. Akarnya kuat. Dan jika aku berada di dekatnya serasa teduh dan rindang. Setiap buah dari bibirnya begitu manis menenangkan pikiran dan hatiku, bahkan ketika aku menangis karena ejekan dan olokan teman-temanku, mama dengan lembutnya mengatakan bahwa Tuhan bukan membencimu dengan membiarkan mereka menyakiti hatiku, namun seperti pohon yang baru tumbuh, Tuhan ingin aku menjadi pohon yang kuat. Kalau begitu saja sudah goyah, bagaimana aku bisa menjadi kuat dan menjaga dahan dan ranting yang lemah yang harus aku lindungi? Kata yang aku ingat ketika mama menjemputku dari sekolah dan diriku dalam keadaan menangis tersedu-sedu. Ya, ada sesuatu hal yang baru bisa aku pahami ketika aku sudah agak besar. sesuatu yang membuat mereka mengejekku sebagai anak itik.

Para ibu yang juga menjemput anak mereka, menatap tajam ke arah mama. Namun bagai seorang malaikat, mama menunjukkan pada mereka senyum terindah dari seorang wanita. Aku selalu merasa nyaman ketika mama menggandengku pulang sekolah, seakan dunia ini tetap damai saat aku bersama mama.

Itulah potongan kenanganku dengan mama. Aku yang masih kecil. Aku yang masih polos, selalu tidur dalam peraduannya.

***

Dan pada kenyatannya, aku berubah. Aku berbeda. Aku bukanlah aku yang dulu. Aku yang sudah menjadi seorang remaja, seiring episode kehidupan yang merenda menjadi satu masa untukku menjadi manusia yang bertumbuh. Aku mulai memahami keadaan, memahami rentetan peristiwa yang terangkai dalam umurku yang sudah berlalu. Aku menjadi benci pada setiap kata yang diucapkan olehnya. Senyuman itu, ah…..aku sudah tak mengingatnya lagi. lebih tepatnya aku melupakannya. Lembutnya tangan yang rajin membelaiku setiap malam, kini sudah kulupakan. Ya, mungkin tiada tangan selembut miliknya. Tapi kau bukan lagi yang dulu. Mama, aku ingin melupakan orang yang memberiku kehidupan dan keluarga ini. Mama, yang aku pikir akan selalu ada di sampingku, dia tak lebih dari wanita pembohong. Karena sekarang, dia sudah meninggalkan ku dan tak pernah kembali.

***

Aku benci dengan cerita pohon yang sering wanita itu ceritakan. Dan setiap malam hujan, aku selalu bermimpi aneh. Aku bertemu mama yang masih tetap cantik dan juga menawan.

Aku selalu mencoba__mencoba mencintai mama kembali dan melihat dengan cinta apa yang ia tinggalkan.

Sering bahkan hampir setiap hari  aku berdoa agar aku menjadi orang lain saja sebagai orang yang berbeda, cerita yang berbeda, keluarga yang berbeda, dan hati yang berbeda. Dan satu hal, aku ingin menanggalkan kehidupan di keluarga ini. Aku mau menjadi orang lain.

Apakah benar kata mama yang mengatakan, “Ini adalah kehidupan terbaik yang Tuhan berikan padamu.”

Jika itu benar, maka keputusanku untuk masih di sini, di tempat ini tidaklah salah bagiku.

Dan episode selanjutnya ternyata tak berhenti. Waktu terus merenda kehidupanku dan menjadikannya cantik sedemikian rupa. Semua itu dimulai dari sini.

____________

Hari itu, hari Minggu di awal bulan September. Hari pertama aku menginjakkan kaki di kota Solo, di rumah baruku. Sudah sejak lama sebenarnya aku berharap agar aku meninggalkan Jakarta dan memulai semuanya dengan yang baru. Meninggalkan kemacetan Jakarta, meninggalkan polusinya yang teramat parah, dan meninggalkan sebuah cerita.

Sebulan sebelum kami pindah, ayah bertanya padaku, “Apa kamu senang?” katanya dengan hangat dan kalem dengan gaya bicaranya yang khas, menjaga suasana hatiku yang mungkin masih labil karena pubertas.

Lihat selengkapnya