Ayah membangunkan aku dari tidur selama perjalanan tepat ketika kami sudah di depan rumah baru. Dan aku yang paling akhir turun dari mobil. Rumah itu…..
Rumah itu berbentuk rumah joglo khas Solo. Rumah baru kami ada di salah satu kampung Batik di Solo, sebuah bagian dari kota Solo yang banyak dikunjungi turis asing karena budayanya yang kental begitu menarik untuk dilihat.
Rumah unik itu lebih mirip museum, menurutku. Aku menunjukkan ekspresi tidak senang ku pada ayah. Dan dia yang melihatku nampak hanya tersenyum. Rio yang terlihat paling senang. Dalam pikirannya mungkin dia membayangkan bisa berburu hantu di rumah itu. Tentu itu akan menjadi suatu petualangan yang tak terlupakan baginya, namun pengalaman yang mengerikan bagiku. Membayangkannya saja membuatku tak ingin melihat rumah itu, apalagi masuk. Kiki dan Dima terlihat biasa saja. Ekspresi mereka datar. Pikirku, mungkinkah ayah sudah bangkrut hingga memilih rumah macam ini? Tidak adakah apartment di kota ini?
Aku sibuk dengan pemikiranku sendiri, sementara para pria itu sudah sibuk dengan bawaan dan barang mereka yang akan segera diturunkan dari mobil.
Rumah yang merupakan perpaduan dari kayu jati tua dan batu bata itu sudah selayaknya menjadi museum. Aku bukan tipe orang yang menyukai barang antik. Terlebih lagi jika ada kemungkinan ada hal tak terlihat yang kebetulan bisa terlihat.
Cukup dengan lamunan tak masuk akalku. Suara ayah yang memanggilku membuatku tersadar bahwa aku harus cepat-cepat menurunkan barang-barang kami.
Ayah menurunkan koper yang paling besar. Dan masing-masing dari kami bertanggung jawab atas barang kami. Rio, si kecil sudah menurunkan tiga tasnya. Yang satu berisi buku pelajaran. Yang kedua penuh dengan DVD dan video game, dan yang terakhir tentu saja pakaian. Sedangkan Dima malah langsung duduk di sebuah ayunan di bawah pohon manga. Dia memakai masker untuk menutupi hidungnya. Dia mungkin tak mau kalau tulang-tulang tangannya mengalami dislokasi karena harus mengangkat koper dan juga tasnya.
Ayah tidak menegur. Aku hanya bisa melotot. Dan setelah sadar bahwa mungkin aku akan diabaikan walaupun aku memarahinya dengan panjang nan lebar, aku hanya diam, ikut-ikutan ayah Arya saja.
Akhirnya aku memberi isyarat pada Kiki agar dia yang menurunkan barang-barang Dima.
Barang yang kami bawa hari ini hanya sekedar baju dan beberapa barang lain. Sisanya sudah keangkut ke beberapa mobil pengantar sebelumnya yang sudah berangkat dua hari yang lalu. Jasa pengiriman itu tentu sangat membantu. Ada beberapa yang tak bisa kami tinggal di rumah lama, seperti meja belajar kesayangan Dima dan juga almari dengan kaca lebar yang sangat aku sukai.
Setelah semua barang turun, kami sadar, bahwa waktu sudah siang, dan ya…saatnya makan siang….
Tapi tentu tak ada yang dimakan. Kami harus makan diluar sepertinya dan sudah seharusnya begitu jika kami tidak ingin kelaparan. Ada tiga hal yang aku tahu dari kota Solo ini, serabi, dawet, dan nasi liwet. Mencobanya untuk menu makan siang hari ini sepertinya bukan ide yang buruk.
Sebelum itu, tentu kami harus membereskan barang, setidaknya memasukkannya ke dalam rumah.
Rumah joglo itu begitu rapi dengan beberapa perabot yang sudah lengkap. “Mungkin bagiku tak apa”, aku me-reset pendapatku. Rumah itu memiliki tiang-tiang kuat yang nampak kokoh. Dari agennya sih kita tahu kalau itu kayu jati tua yang pastinya sangat strong. Ada empat kamar tidur, dua kamar mandi dan satu dapur. Halaman belakang cukup luas, bisa untuk menjemur pakaian atau sekedar untuk duduk santai di sore hari. Yang aku suka adalah ayunan di halaman depan, dibawah pohon mangga. Aku memutuskan untuk tak terlalu memikirkan kemungkinan kemungkinan yang bisa terjadi selama kami menempati rumah yang nampak antik ini. “Setidaknya tempat ini teduh dan rindang,”
Kemungkinan kami hanya tinggal selama satu atau dua tahun di sini selama ayah bertugas. Dan setelah itu kami bisa pindah ke tempat lain, bisa jadi kami akan kembali ke Jakarta.
****
Ada satu hal yang harus diingat ketika pindah ke rumah baru, “Jadilah yang pertama memiliih kamar!!!”
Aku berlari cepat, melihat dengan cepat dan memilih kamarku.
Aku memilih sebuah kamar dengan dua bingkai jendela yang juga terbuat dari kayu jati tua. Tidak berdebu, “Mungkin sudah dibersihkan,” pikirku.
Jendela kamar itu menghadap ke sisi rumah yang rindang. Nampak sunyi, rumah-rumah lain yang juga terbuat dari kayu terhalang oleh tembok besar sebagai pagar rumah kami.
Di kota ini, aku tidak berharap banyak untuk mendapatkan pengalaman yang berbeda.
Sebenarnya bukan rumah joglo ini yang paling mempengaruhiku perasaanku, namun sekolah.