Hari pertama di sekolah tak selalu baik. Ini bukan pengalaman pertamaku. Aku pernah beberapa kali menjadi murid baru karena apa yang telah mama lakukan. Dan seperti biasanya, aku tak menyukai yang namanya menjadi murid baru. Menjadi murid baru berarti siap menjadi manusia baru di planet baru.
Ketika semua serba baru, kantin baru, kelas baru, guru baru, bangku baru, kawan baru, begitu juga dengan musuh baru. Aku tak pandai berkawan tapi aku pandai mencari musuh. Bukan karena aku suka mencari masalah, tapi lebih karena banyak yang tak suka pada caraku hidup. Aku terlalu sering menghiraukan banyak hal.
Berbaur dengan teman, saling mengenal, saling meminjam buku, pergi ke toko buku bersama adalah hal yang memuakkan. Aku hanya akan menjadi Rian yang tak tahu apa-apa, menjadi Rian yang bukan siapa-siapa. Karena Rian is nobody.
Aku bangun seperti biasa. Aku tak berpikir apakah aku bisa sarapan atau tidak. Namun saat aku tiba di ruang makan, di sana sudah tersedia nasi goreng yang entah bagaimana rasanya. Aku bingung antara memilih sarapan dengan roti atau dengan nasi goreng itu. Pasalnya, yang menjadi koki hari ini adalah Kiki. Dan di dapur sudah sangat berantakan. Hanya karena lima piring nais goreng, dapur seperti terkena badai Katrina. Letak piring dan wajan sudah tak karuan. Margarin tumpah ke seluruh penjuru dapur. Lantai licin entak karen apa.
Beberapa kardus terlihat sudah terbongkar. Perkakas dapur itu nampak sangat berantakan membuat selera makanku hilang.
“Susah sekali menemukan wajan buat membuat nasi goreng. Tapi aku berhasil menemukannya…” kata Kiki sambil tertawa terkekeh. Dia bahkan sudah mandi dan siap dengan seragamnya.
“Jam berapa kamu bangun?” kataku.
Kiki mulai menyiapkan piring dan sendok yang ia ambil dari salah satu kardus.
“Yang jelas lebih cepat dari pada Kak Rian. Malah mungkin yang tercepat dari seluruh manusia di planet ini.”
Terlihat Rio berlari menuju tempat makan dengan cepat. “Nasi goreng buatan Chef Kiki memang enak. Kalau begini Rio gak akan pernah kelaparan.” Kata Rio polos, sedikit membuatku termenung. Kalau dipikir-pikir aku memang tak pernah dekat dengan adik-adikku dan aku juga berguna bagi mereka. Setidaknya membuatkan sarapan atau sekedar menjadi orang yang bisa mereka andalkan. Aku bahkan tak pernah peduli apakah adik-adikku bisa makan selain makanan Padang yang biasa kami pesan lewat telepon.
Apakah mereka sedang kelaparan, entah mereka mengalami cita pertama, atau entah mereka sedang berantem dengan teman sekolah, aku tak pernah tahu dan tak pernah mau tahu.
Aku tak pernah memikirkan hal itu sebelumnya.
*****
Ayah, Kiki, Dima dan Rio sudah berada di meja makan, siap untuk menikmati nasi goreng ala Kiki. Lalu terdengar celetukan dari Rio, “Kalau kak Kiki bisa masak agar kita gak makan nasi Padang terus, aku juga mau jadi polisi supaya kita gak diganggu orang jahat lagi. Kalau ada yang mengganggu kak Rian, cewek paling cantik di sekolah, aku akan menyelamatkan Kak Rian…..” kata Rio langsung mengena di hatiku. kenapa bocah itu peduli dengan manusia bernama Rian? Hal itu membuat sarapan pagiku semakin tak nyaman. Akan lebih baik jika diam dan hening menjadi teman sarapan pagi kami.
“Kak, aku akan jadi orang bisa kakak andalkan,” katanya lagi sambil menatap dengan binar padaku.
Aku terpaku sejenak, membuatku sulit menelan nasi goreng yang terlanjur ada di mulutku, seakan tersambar petir di pagi buta. Aku yang bahkan tak pernah berpikir untuk benar-benar menjadi bagian dari keluarga ini, kenapa Rio si bungsu malah menembaki hatiku dengan kata-kata polosnya?
Aku mencoba tak memperdulikan, kupaksa menelan nasi goreng di mulutku.
“Besok sudah ada yang masak buat kita, jadi Kiki gak perlu bangun pagi lagi untuk masak. Walaupun kamu suka, tapi Ayah gak mau kamu ketiduran di kelas karena bangun terlalu pagi, oke?” kata Ayah, membelai kepala Kiki yang sebenarnya tak suka diperlakuakn seperti anak kecil itu. Dan dia hanya mengangguk ringan.
Aku tak menyumbangkan suaraku di meja makan.
Selesai makan, Dima sibuk mencari sesuatu di dalam kardus yang belum sempat dibuka itu.
“Dim, kamu nyari apa?” tanya Kiki setelah tak tahan dengan Dima yang membuat keadaan rumah semakin berantakan.
Dima terus mencari dan menjawab tanpa menoleh, “Kotak makan dan tempat minum. Seharusnya aku menyiapkannya sejak kemarin.”
Ayah, Rio, dan Kiki ikut mencari di kardus yang berbeda. Aku hanya berdiri, hendak ke garasi mengambil sepeda yang dikirim melalui jasa angkut kemarin lusa.
Aku siap menggenjot sepedaku. Lalu aku menoleh ke pintu rumah. Mereka belum pada keluar. Mereka mungkin masih mencari kotak makan Dima. Aku tak peduli. Aku bersiap berangkat.
Pagi yang cerah. Jalanan depan rumah sepi. Aku kembali menatap pintu rumah. Sebuah pikiran aneh menghampiri otakku.
Aku kembali masuk rumah.
Menghampiri Dima yang masih sibuk mencari. “Apa kau tak bisa makan tanpa tempat makanmu sendiri? Kenapa tidak jajan di kantin saja?” kataku agak kasar pada Dima.
Dima yang mendengarnya hanya terpaku, berhenti mencarinya, menatapku. Membuat aku ingin memeluknya. Namun aku urung melakukannya.
“Ini, ambillah! Bawa punyaku. Ini kotak bekalku yang baru aku beli minggu lalu. Tadinya aku tak mau pergi ke kantin dan hanya makan di kelas. Tapi, ini untukmu saja.” Kataku sambil meletakkan kotak makanan warna biru dan juga satu botol air di atas meja makan sambil ngeluyur pergi tak melihat ekspresi Dima.
Aku langsung pergi menuju sekolah yang kami lewati kemarin ketika menuju rumah makan Padang. Aku butuh waktu sepuluh menit untuk ke sana. Aku melupakan kejadian pagi tadi. Mencoba mengayuh sepeda dengan fokus di tengah keramaian kota Solo di pagi hari. Sepeda motor sanagat menggila. Aku tak bisa menghitung. Apakah di kota lain jumlahnya juga sebanyak ini? Aku lalu menyadari sesuatu, besok, aku harus memakai masker untuk melindungi paru-paruku dari polusi parah kota ini.
Tiba di gerbang sekolah. Ada satu pemandangan yang membuatku takjub. Ada sebuah mobil merk luar negeri yang berhenti di depan gerbang sekolah.
Pemiliknya pasti orang kaya, pikirku.
Lalu saat aku masih mengagumi mobil itu dari kejauhan, aku melihat seorang siswa laki-laki yang keluar dari mobil mewah itu.
Aku memasuki gerbang sekolah. Beberapa mata menatapku dengan aneh. Mungkin karena wajahku yang masih teramat baru bagi mereka. Aku menghiraukan tatapan mata mereka. Melihat ke depan dan mencari ruang guru. Sekolah itu tak sebesar sekolah ku dulu. Sekolah baruku merupakan sekolah swasta yang katanya menjadi favorit di kota ini. Bisa jadi itu alasan ayah memilih tempat ini. Atau jika ada alasan lain yang lebih tepat tentu karena jaraknya dekat dengan rumah kami. Aku tak mempermasalahkan itu.
Aku sedikit mengambil kesempatan untuk mengidentifikasi mereka. Aku melihat mereka dengan sekilas. Ada beberapa keturunan Cina rupanya. Dan tentu saja didominasi oleh orang jawa tulen. Bisa dibilang yang bersekolah di sini adalah orang menengah ke atas, bisa dilihat dari dan tas yang mereka gunakan. Semua adalah merk yang pernah aku jumpai di Mall. Walau jarang shopping ke Mall, tapi aku berani berpikir demikian.
Di hari pertama, tak ada murid yang menyapaku. Mereka hanya sibuk melihatku dengan aneh. Aku tiba di kantin sekolah. Bukan karena aku ingin ke sana, sebenarnya itu karena aku tersesat.
Aku memutuskan berjalan kembali mencari kantor guru. Namun pandanganku berhenti pada tiga soosk gadis super cantik. Mereka seperti super bintang di tv, atau bintang iklan minyak wangi untuk remaja. Rambut mereka bagus dan wangi, pantas pikirku mereka bagai model shampoo yang rambutnya menawan dan mengkilat. Ketiganya sedang menikmati sarapan mereka dengan beberepa siswa laki-laki yang ada di sekitar mereka. Aku berjalan ke depan tapi leherku menoleh ke arah meja di mana mereka duduk. Lalu tiba-tiba sesuatu yang keras menabrak kepalaku.
Tepat di depanku berdiri seorang siswa laki-laki yang tingginya lebih dari aku. Dan itu membuat dahiku yang tentu saja sekeras baru membentur hidungnya yang bisa kubilang mancung.
Sedetik kemudian, aku langsung minta maaf. Aku langsung memposisikan diriku sebagai tersangka, karena aku memang yang slaah.
Si korban masih berdiri di depanku. Dia berdiri diam, memperhatikan wajahku. Orang-orang semakin memandangku aneh. Dan lima detik kemudian aku menyadari bahwa si korban adalah orang yang turun dari mobil mewah tadi.
Pikiranku melayang ke sebuah meja hijau dimana aku memakai baju terdakwa dan hakim mengetuk palu dan memutuskan hukumanku.
Itu mungkin sedikit keterlaluan, pikirku sendiri.