“Dari sebuah teks bernama resmi prosa atau fiksi, terdapat tuntutan untuk mengesankan pembacanya dengan bahasa, alur, karakterisasi, dan banyak lagi konvensi—yang dalam hal buku ini adalah realisme, untuk meyakinkan pembaca atas drama kehidupan yang disampaikannya. Namun dari pendekatan semacam itu, bukan hanya kesan yang dapat diharapkan pembaca, melainkan pengetahuan penuh kepastian dalam kapasitas prosa tersebut. Apabila sumber tematik prosa ini adalah kombinasi Islam dan Papua, pembaca dapat berharap bahwa dua gambaran stereotip mendapat peluang lahir sebagai fenomena baru. Maka dari suatu fiksi akan dapat diperiksa, apakah hanya fiktif, atau ternyata faktual. Buku ini akan menjawabnya.”
–Seno Gumira Ajidarma, Penulis, fotografer, kritikus film Indonesia
“Setiap antropolog yang pulang penelitian membawa segudang cerita yang menggugah hati. Beberapa bulan kemudian terbitlah sebuah laporan penelitian yang informatif, kering, dan jauh menggugah. Cerita-cerita menarik dari lapangan biasanya disimpan saja sebagai kenangan dan takkan pernah diterbitkan antara lain demi menjaga privasi nara sumber. Karena itu, saya iri kepada Dzikry. Pertama, ia adalah novelis yang mampu mengajak pembacanya ke dunia orang Papua yang dicintainya. Kedua, justru karena ia penulis—bukan antropolog—ia bebas dari kekangan menjaga nama (baik) tokoh-tokohnya. Ah, saya ingin menjadi Dzikry. Dan, saya ingin menjelajahi dunia Papua yang diceritakannya.”
–Frieda Amran, Antropolog, kolomnis, penyair
“Kisah cinta tak biasa yang penuh warna kedaerahan dengan sisipan mitologi Papua yang layak diketahui khalayak masyarakat Indonesia. Penting untuk menjadi bahan introspeksi kita semua, bahwa dari tempat yang kita anggap terpencil, kita dapat mempelajari cara berdamai yang modern.”
–Gora Wijaya, Pelukis
“Etnik dan personal. Seperti saya, Anda juga akan jatuh cinta dengan Atar Bauw.”
–Fatih Zam, Novelis
“Kalau tidak mengenalnya dekat, saya tak akan pernah sadar bahwa novel ini ditulis oleh orang Jawa. Mulai dari metafor, gaya bercerita, idiom-idiom yang digunakan, sampai percakapannya pun sangatlah Papua. Salut pada Dzikry el Han yang membawa dunia Timur itu kembali menjadi tak berjarak dengan keindonesiaan. Novel ini membuat saya banyak belajar bahwa ada nilai-nilai lain–sebuah “kehormatan” lain, yang tidak linear dengan apa yang sering kita percaya sebagai nilai keindonesiaan ala Jawa. Dzikry el Han berhasil mengungkapkan kritiknya tentang kebhinekaan yang mulai luntur itu, dengan cerdas dan bahasa yang indah.”
–Stebby Julionatan, Teman curhat, novelis, penyair, dan aktivis di berbagai kegiatan kepemudaan
“Novel ini tentang upar pusir, kapitan, pohon buranda, rai, gim, sumpah siput, lantunan sigitain, mamoga, dan banyak lagi—di mana pembaca sulit mendapatkan padanannya di tempat lain, selain di Papua. Sebuah novel hasil kerja keras menjahit data antropologis dan perasaan bangga menyaksikan kekayaan Papua. Budaya Islam di Patipi yang menjadi latar cerita tak sedikit pun menghambat saya memercayai kebenaran data dan kehangatan persaudaraan yang disajikan. Saya merasa miskin papa di hadapan Papua. Dan, novel ini terasa menjadi sedekah.”