“Setelah kamu menandatangani perjanjian ini, kuharap kamu tidak membuat masalah lagi denganku di Rumah Sakit. Jika kamu melakukannya, aku bisa menuntutmu secara hukum. Kamu mengerti?” Ruben memperingatkan Emery cukup keras.
Emery menghela napas panjang meski agak berat di lakukannya. Dia jadi tidak berselera makan siang ini. Padahal, perutnya sudah keroncongan menahan lapar. Ruben sengaja merusak moodnya.
“Kamu tidak makan? Tidak lapar memangnya?” tawar Ruben sembari mengalihkan pembicaraan.
“Tidak, terima kasih,” tolak Emery. Dia terpaksa berbohong di depan Ruben.
Sebenarnya, Emery sangat lapar. Tetapi, melihat sikap Ruben yang semena-mena itu kepadanya membuat seisi perutnya terasa mual. Jadi malas makan meskipun hidangan yang tersedia di hadapannya kini terlihat sangat lezat dan menggugah selera. Ya, itu benar. Makanan yang dibuat oleh chef ternama di hotel bintang lima itu bikin ngiler saja, pikir Emery.
Semua itu tidak ada artinya sekarang ketika Emery sudah kehilangan selera makannya. Mending makan di warteg atau warung nasi padang saja. Murah meriah, lahap iya. Emery jadi menyesal sudah datang ke hotel itu.
Seandainya waktu bisa diputar kembali. Seandainya Emery tahu bakalan bertemu dengan Ruben di hotel itu, dia pasti lebih memilih untuk tidak datang dan beralasan semampunya. Sebisa mungkin dia tidak menghadiri seminar yang diperintahkan Ruben pada juniornya.
“Kamu yakin tidak mau makan?” tawar Ruben sekali lagi. Kali ini dia agak memaksa karena tahu perut Emery sudah berbunyi sedari tadi.
Emery masih tahan harga, jual mahal di depan Ruben. “Tidak. Lebih baik saya kembali ke ruang seminar. Sienna pasti kebingungan mencari saya di sana,” pamitnya.
“Oke, kalau begitu. Selamat belajar. Fokus saja pada seminarnya. Ingat kata-kataku! Jangan sampai kalian membunuh pasien karena kebodohan kalian yang tidak serius belajar. Paham?” saran Ruben sembari menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Dia bersikap tenang-tenang saja seolah masalahnya dengan Emery telah selesai.
Berbeda dengan Ruben, Emery kini beranjak dari tempat duduknya dan meninggalkan seniornya dengan raut wajah yang sangat kesal. Dia pergi sembari menahan lapar. Sejak dia bangun, dia belum sarapan atau makan apa pun di rumah.
‘Tenang aja. Di ruang seminar pasti ada coffee break, kan?’ Emery meyakini hal itu. Hidangan camilan pasti ada di ballroom hotel.
Emery berjalan cepat menuju ballroom hotel. Setibanya di sana, dia segera mencari tempat duduk. Ah, kebetulan sekali Sienna melambaikan tangannya dan memanggil Emery supaya duduk di sampingnya. Jadi, dia tidak perlu repot-repot mencari tempat duduk lagi.
“Tadi, kamu ke mana dulu sih? Aku tungguin kok nggak nongol-nongol dari toilet,” tanya Sienna ingin tahu.
“Sorry, ya … emang lama tadi di toiletnya. Kebelet,” sahut Emery seraya beralasan.
Sienna tak lagi banyak bertanya. Kini, dia memusatkan seluruh perhatiannya pada pemateri di ruang seminar itu. Fokus banget. Saking tidak mau bermasalah lagi dengan Dokter Ruben di Rumah Sakit. Syukurlah kalau begitu, Emery merasa lega sekarang.
***
Sebulan setelah menandatangani perjanjian rahasia itu, Emery dan Ruben menjalani kehidupannya masing-masing. Mereka berusaha bersikap profesional di tempat kerjanya.
Insiden malam itu membuat suasana kerja di Rumah Sakit terasa sedikit canggung. Baik Emery maupun Ruben, keduanya saling menghindar satu sama lain dan menjaga jarak. Sebisa mungkin, Emery menghindari kontak mata langsung dengan Ruben. Begitu pula sebaliknya. Ruben buru-buru pergi jika tak sengaja berpapasan dengan Emery di koridor.
Sampai akhirnya suatu keadaan mengharuskan mereka bertemu di ruang operasi untuk menangani pasien yang akan dioperasi sesar. Ketika mereka harus bekerja sama dalam sebuah operasi, suasana menjadi semakin menegangkan.
“Mana rekanmu? Apa dia sengaja tidak datang?” tanya Ruben pada Emery. Dia sengaja memulai pembicaraan untuk mencairkan suasana.