“Kamu ngapain hujan-hujanan di sini?” tegur Sean.
Senyum Emery memudar seketika. Ekspektasinya tidak seperti yang dia harapkan. Dia mengira yang tengah menghampirinya itu adalah Ruben. Ternyata sosok pria lain yang kelihatannya seribu kali jauh lebih baik dari si pengecut Ruben.
Pria itu mengulurkan tangannya pada Emery yang sedang terpuruk dengan keadaannya. Sambil menyunggingkan senyum di depan Emery, dokter muda dan tampan itu pun memberikan semangatnya untuk sang junior. Dia membantu Emery berdiri, bangkit dari kesedihannya.
“Dokter Sean ….” lirih Emery. Wajahnya berkaca-kaca melihat Sean yang hendak membantunya.
‘Kenapa bukan dia? Kenapa harus orang lain?’ pikir Emery.
“Jangan sedih lagi! Kamu tidak pantas bersedih seperti ini, Emery. Kamu harus kuat dan lawan semua orang yang sudah merendahkanmu. Termasuk ….” Kalimat Sean terhenti beberapa saat. Dia jadi segan melanjutkannya.
“Termasuk Dokter Ruben,” terka Emery yang menyambung kalimat Sean.
“Ah, iya itu, maksud saya. Astaga! Saya malu sekali berkerabat dengan dia. Dia tidak tahu malu, melemparkan semua kesalahannya sama kamu.” Sean berusaha membela Emery. Tanpa sadar dia sudah menjelek-jelekkan sepupunya sendiri di depan koasnya itu.
Emery hanya menundukkan pandangannya. Dia kelihatan pasrah sekali dan sudah malas berkata-kata lagi tentang Ruben.
Ketika Sean memapahnya dan mereka berteduh di tempat yang tidak terkena air hujan, dokter itu memandangi wajah Emery sekilas. Gadis itu sudah sangat frustrasi sekali dan tidak berdaya. Seolah-olah dunianya kini telah runtuh, luluh lantah.
“Kamu basah kuyup sekarang. Apa kamu akan pergi ke IGD dalam keadaan seperti ini?” tanya Sean.
Emery menggeleng, “Tidak mungkin Dokter.”
“Tunggu di sini! Saya akan membawakan pakaian ganti untukmu,” tawar Sean.
“Tidak usah, Dok! Anda tidak perlu repot-repot. Saya akan pergi ke ruangan saya dan mengganti pakaian di sana saja,” tolak Emery secara halus.
“Kamu yakin? Apa perlu saya antar?” Sean memastikan. Dia masih mengkhawatirkan keadaan Emery.
“Tidak apa-apa. Saya baik-baik saja, Dokter Sean.” Emery meyakinkannya. Dia tidak ingin merepotkan orang lain lagi.
“Oh, oke. Baiklah kalau begitu.” Sean tidak bisa memaksanya lagi. Emery sudah terang-terangan menolak bantuan Sean.
Emery akan mengurus dirinya sendiri mulai saat ini. Dia tidak ingin ketergantungan pada orang lain. Apalagi dalam keadaannya seperti ini, tidak ada orang lain yang bisa diandalkan atau dipercayainya.
Emery pergi meninggalkan Sean. Dia berjalan lunglai menuruni anak tangga. Ada tangga darurat di sana. Sekujur tubuhnya mengeluarkan tetesan air hujan. Di tengah-tengah perjalanan, langkahnya terhenti. Dia duduk di anak tangga sambil menundukkan pandangan di atas lututnya.
Emery menangis. Hancur sekali hatinya saat ini. Dia masih meratapi nasibnya, memikirkan apa yang akan terjadi kepadanya nanti, juga bayinya.
***
“Emery, kamu istirahat dulu aja. Kamu kelihatan lelah banget tahu nggak. Jangan maksain diri! Kamu, kan, lagi hamil, Mer,” Sienna memperingatkan Emery.
Sienna keceplosan bicara saking mengkhawatirkan keadaan sahabatnya itu. Seketika ruangan IGD pun yang tadinya ramai seolah berubah sunyi. Semua pandangan mengarah pada Emery. Rupanya rumor kehamilan Emery sudah menyebar dan diketahui semua orang di Rumah Sakit itu. Termasuk dokter, perawat, dan rekan-rekan koasnya.