Akhirnya, mau tidak mau Emery dan Ruben menjalani pemeriksaan sesuai dengan perintah Profesor Rudiana. Setelah itu, keduanya akan menunggu hasil pemeriksaan. Seperti biasa, Ruben kelihatan gelisah sekali menantikannya. Raut wajahnya langsung pucat seperti orang bersalah yang ketakutan ketika hasil perbuatannya sebentar lagi terungkap di hadapan ayahnya.
Emery menoleh ke arah Ruben. Pria itu masih ketar-ketir dan gundah. Kemudian Emery mengarahkan pandangannya ke arah Profesor Rudiana. Kelihatannya sama saja. Tampak kedua orang itu sedang diliputi perasaan cemas yang luar biasa. Sang direktur jadi tidak sabaran menunggu hasilnya.
‘Mereka akan tahu kalau aku nggak pernah bohong soal kehamilan ini,’ batin Emery lega.
Berkat kemajuan teknologi yang makin canggih akhir-akhir ini, tidak perlu waktu lama apalagi sampai menunggu bayi itu lahir untuk melakukan tes DNA. Zaman sekarang, teknologi dan ilmu kedokteran makin berkembang pesat. Hal itu sangat menguntungkan bagi sekolah kedokteran dan memudahkan para dokter mengembangkan ilmu pengetahuannya.
Selang satu jam kemudian, hasil pemeriksaan Emery dan Ruben sudah keluar. Hasilnya begitu mengejutkan bagi Profesor Rudiana.
‘Dokter Emery positif hamil. Dan bayi yang sedang dikandungnya adalah … anak dari Dokter Ruben,” kata seorang dokter senior yang memberitahukannya pada Profesor Rudiana.
“APA?” Profesor Rudiana membelalak. “Anak Ruben?”
Dokter senior itu mengangguk, mengiyakannya di hadapan Profesor Rudiana. Syukurlah! Emery lega sekali mendengarnya. Kini kebenaran telah terungkap. Semua yang dikatakan Emery pada Ruben benar adanya. Dia tidak berbohong.
Tidak hanya Profesor Rudiana yang terkejut mendengar berita tersebut, Ruben juga begitu syok mengetahuinya. Dia tidak menyangka apa yang dikatakan Emery memang benar. Gadis itu sedang mengandung buah hatinya.
“Anda percaya sekarang, Dokter Ruben?” Emery berkaca-kaca saat meyakinkannya.
“Tapi ….” Ruben masih ingin menyangkalnya. Padahal bukti itu sudah akurat dan terpercaya.
Profesor Rudiana marah besar. Ayah dari Dokter Ruben itu murka dan mengecam perbuatan putranya yang terlibat skandal besar dengan koasnya sendiri.
“Anak tidak tahu diri!” hardik Profesor Rudiana sembari memukul wajah Ruben.
“Ayah, maafkan aku ….” sesal Ruben. Dia langsung menyesali perbuatannya.
“Maaf katamu? Setelah semua yang kamu lakukan itu mencoreng nama baik keluarga kita,” bentak Profesor Rudiana lagi.
“Maafkan kami, Profesor. Tolong! Maafkan kami,” bujuk Emery dengan wajah memelas. Dia menangis karena merasa bersalah pada Profesor Rudiana yang sudah melampiaskan amarahnya pada Ruben.
“KAMU!” tunjuk Profesor Rudiana. “Kamu tidak layak menjadi ibu dari cucuku. Mengerti!” ejeknya.
“Maafkan saya, Profesor. Tolong hentikan! Jangan memukul Dokter Ruben lagi!” Emery menyesal sekali. Dia berlutut di hadapan Profesor Rudiana dan mencegah pria tua itu memukul Ruben lagi.
Emery berusaha membela Ruben dari amukan Profesor Rudiana. Dia tidak tega melihat ayah dan anak itu saling melukai satu sama lain karena masalah ini. Tetapi sebaliknya, Profesor Rudiana berbalik menyerang dan memarahi Emery.
“Dasar wanita tidak tahu malu! Murahan sekali,” hina Profesor Rudiana tepat di hadapan Emery.