“Dokter Ruben, apa Anda serius mengatakannya?” Emery berkaca-kaca. Dia tidak percaya jika pria yang kini berdiri dihadapannya itu sedang melamarnya.
“Apa ucapanku seperti sedang main-main padamu?” Ruben meyakinkan sekali.
Jelas itu membuat Emery terkejut. Dia masih tidak menyangka Ruben mengatakannya malam ini.
“Kenapa kamu diam saja? Apa kamu tidak ingin menikah denganku?” desak Ruben. Dia masih menunggu jawaban dari Emery.
“Ya, saya mau menikah dengan Anda,” jawab Emery. Dia sudah yakin sekali dengan keputusannya.
“Baguslah!” Ruben tertunduk lesu usai mendengar jawaban Emery yang sangat antusias menyambut hari bahagia mereka.
Berbeda dengan ekspresi Ruben, raut wajah Emery jauh terlihat lebih bahagia. Sudah lama dia menanti-nantikan masa-masa seperti ini. Dia senang sekali. Akhirnya, sang buah hatinya bisa memiliki keluarga yang lengkap, sesuai dengan harapannya.
‘Apa dia tidak membelikanku cincin pertunangan?’ pikir Emery.
Emery berpikir bahwa seharusnya Ruben menyiapkan sebuah cincin untuknya dan memasangkan di jari manisnya. Tetapi, dia berpikir lagi. Ruben mengatakannya juga secara spontan. Mungkin Ruben belum sempat menyiapkannya. Karena kedatangannya juga begitu tiba-tiba. Dia bisa memakluminya.
“Besok, saya akan bicara dengan orang tua saya. Bagaimana dengan Anda, Dokter Ruben?” tanya Emery.
“Hmmm ….” Ruben hanya menggumam. Dia seperti orang linglung malam ini.
“Dokter … apa Anda akan menginap di sini?” tanya Emery lagi. Ruben menoleh ke arahnya.
“Kamu ingin aku tinggal di sini dan apa kamu juga mau menggodaku lagi?”
Deg!
“Ah, tidak. Maksud saya bukan seperti itu. Ini sudah hampir larut malam dan saya khawatir sekali jika Anda berkendara di malam hari,” jelas Emery.
“Aku akan pulang. Terima kasih banyak atas jamuan makan malamnya,” ucap Ruben seraya berterima kasih pada Emery.
“Oh begitu rupanya.” Emery tak lagi memperpanjang kalimatnya. Jujur saja, dia masih sangat segan dan belum terbiasa berbicara santai dengan seniornya itu.
Beberapa menit kemudian, setelah Ruben pamitan pulang, Emery tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Dia hampir saja melakukan selebrasi, melompat-lompat kegirangan. Ups! Dia lupa kalau dirinya kini sedang hamil.
***
Sebelum berangkat kerja, Emery mengunjungi rumah kedua orang tuanya terlebih dahulu. Dia hendak mengatakan maksud dan tujuan kedatangannya. Dia berharap bisa mendapatkan restu dari mereka. Ketika dia coba mengatakan permasalahan yang tengah dihadapinya saat ini, bukan restu yang dia dapatkan dari orang tuanya. Melainkan amukan ayahnya yang tak terkendali.
“Apa kamu bilang? Hamil?” Ayah terkejut sekali mendengar pengakuan Emery. “Apa yang sudah dilakukan pria bajingan itu sama kamu, hah?” desaknya ingin tahu.
“Maafkan aku, Ayah. Ini semua salahku. Aku tidak bisa menjaga diriku, kehormatanku, tapi … kami saling mencintai Ayah. Tolong maafin aku, Yah,” mohon Emery sembari merengek di depan sang ayah.
“Cinta?” cibir ayahnya tak percaya. “Kalau dia mencintaimu, tidak mungkin dia tega menidurimu sebelum menikah denganmu.”
Ayah kesal sekali dan hampir saja memukul wajah putrinya yang sudah berurai air mata. Ketika hal itu akan terjadi, spontan ibunya melindungi Emery.