“Sampai kapan kamu mau di situ? Nanti kamu bisa sakit, Emery,” desak Sean. Dia begitu mengkhawatirkan keadaan Emery.
Emery masih menangis dan belum beranjak dari tempatnya. Sean tahu betul dan mengerti perasaan Emery. Jika bukan karena Ruben yang menelepon Sean malam itu, entah apa yang akan terjadi pada Emery saat ini.
Setelah diberitahu Ruben bahwa dia meninggalkan Emery sendirian di sebuah restoran, Sean bergegas menjemputnya. Sean segera meninggalkan Rumah Sakit dan pergi mencari Emery. Karena Ruben tidak bisa pergi menemui Emery. Jadi, Sean yang menggantikannya.
“Dasar gadis bodoh!” gumam Sean pelan. Dia prihatin sekali melihat kondisi Emery yang menyedihkan saat ini.
“Ayo pulang! Aku akan mengantarmu pulang sekarang,” ajak Sean.
Karena Emery diam saja, Sean yang geregetan itu terpaksa menarik lengan Emery dan membawanya pergi. Sean menyeret Emery agar mau mengikutinya. Payung yang mereka kenakan malam itu, tiba-tiba tertiup angin pada saat hujan deras. Sean tidak bisa mencegahnya. Akhirnya, keduanya basah kuyup diguyur hujan.
Emery sesenggukkan setibanya di depan mobil Sean. Lalu, Sean membalikkan tubuh dan menatap ke arahnya. Emery tidak bisa menyembunyikan lagi tangisannya. Melihat Emery yang begitu putus asa, Sean pun memeluknya sangat erat.
“Tenanglah! Ada aku di sampingmu. Aku tahu perasaanmu,” ucap Sean. Dia berusaha menghibur Emery. Meski rasanya itu mustahil bagi wanita yang sedang patah hati seperti Emery.
“Kenapa dia membohongi saya, Dokter Sean?” tanya Emery disela-sela tangisnya.
“Itu karena kamu bodoh. Kamu terlalu percaya kepadanya. Dia itu pasti sudah berubah pikiran sekarang,” sahut Sean.
Tangis Emery makin kencang. Bukannya menyabarkan hati Emery, Sean malah memperkeruh keadaan dengan menjelek-jelekkan Ruben di depan Emery. Entah apa yang kini sedang direncanakan Sean. Sehingga membuat Emery makin terpuruk dengan keadaannya.
***
Emery pulang ke rumahnya dalam keadaan sedih. Dia basah kuyup, berantakan, dan semua riasan di wajahnya luntur. Setelah Sean mengantarnya ke rumah, Emery mengurung diri semalaman di kamar mandi. Dia menyalakan shower dan membiarkannya kembali diguyur air dari shower.
“Dia tega banget sih. Nggak punya perasaan,” kecam Emery.
“Lamaran? Pernikahan?” Emery tersenyum sinis mengingat kembali ucapan Ruben. “Semua itu omong kosong.”
Emery mendengus kesal. Dia ingin sekali mengumpat dan memaki-maki Ruben saat ini. Seharusnya Ruben mengatakan kalau dia tidak bisa datang. Setidaknya Ruben bisa menghubungi dia terlebih dahulu dan tidak membiarkannya berdiam diri terlalu lama di restoran.
“Tadi itu benar-benar sangat memalukan,” kata Emery. Dia terus saja menyalahkan dirinya. Dia menanggung malu selama berada di restoran itu. Dia juga tidak makan apa-apa. Semua karena si brengsek Ruben.
“Dia membuatku gila. Dia itu pembohong besar!” Emery mulai emosi. Dia melempar vas bunga dan mengenai cermin di belakangnya. Kesabarannya sudah habis.
Satu jam kemudian, Emery baru keluar dari kamar mandinya. Setelah dia meluapkan semua perasaan yang mengganjal di hatinya. Ponselnya sedari tadi berdering. Ah, itu dari ibunya. Namun, malam sudah semakin larut. Besok saja dia akan kembali menelpon orang tuanya.
Malam ini, Emery butuh ketenangan. Dia akan menenangkan dirinya terlebih dahulu. Dia tidak ingin kedua orang tuanya tahu, kalau malam ini dia menghabiskan waktunya dengan menangis.