Sean panik sekali waktu itu. Dia takut terjadi sesuatu yang serius pada Emery. Dia meminta bantuan dokter kenalannya untuk segera memeriksakan keadaan Emery. Semua orang berkumpul dan terkejut melihat kejadian yang tengah menimpa Emery. Mereka prihatin sekali sekaligus menyayangkan skandal yang terjadi kepadanya dan Ruben.
Emery masih diperiksa di sebuah ruangan. Sean menemaninya dengan tidak sabaran.
“Gimana keadaannya?” tanya Sean pada seorang dokter wanita bernama Sesilia.
Sesilia menoleh ke arahnya, lalu menggelengkan kepala. Sean semakin mengerjap-ngerjapkan kedua matanya. Dia berusaha memahami apa yang akan dikatakan oleh Sesilia. Sepertinya itu bukan kabar yang baik, duga Sean.
“Bayinya tidak berkembang. Dia kekurangan nutrisi dalam kandungan. Apa selama ini Emery tidak memerhatikan kesehatannya?” Sesilia memastikannya.
“Entahlah! Aku belum sempat menanyakan hal itu pada Emery.” Sean pun bingung harus mengatakan apa. Dia sendiri tidak begitu memahami kondisi tubuh Emery.
“Dia harus mendapatkan perawatan intensif mulai sekarang. Sebaiknya kamu yang mengawasinya, Sean. Karena setahuku, dia dikucilkan semua rekannya di sini. Termasuk senior-seniornya,” saran Sesilia.
“Ya, kamu benar, Sil. Kasihan banget dia sekarang,” balas Sean sembari melihat Emery yang terbaring lemah di ranjang pasien.
“Aku akan menyiapkan kamarnya terlebih dahulu. Kalau ada apa-apa kamu cepat hubungi aku. Oke?” kata Sesilia sambil berlalu pergi. Sean mengangguk, patuh pada perintah teman seangkatannya itu.
Setelah Sesilia pergi, Sean duduk di dekat Emery sambil menatap wajahnya. Wanita itu terlihat kelelahan sekali. Semua masalah yang tengah menimpanya ditambah lagi masalah bayinya.
Sean tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi nanti. Seandainya Emery tahu bahwa bayinya tidak mengalami perkembangan sesuai dengan prosedur kehamilan ibu hamil normal pada umumnya.
“Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan kepadanya nanti? Haruskah aku mengatakan yang sebenarnya saja?” Sean bingung. Dia berdoa pada Tuhan agar Emery diberi kekuatan pada saat dia mengatakan kebenarannya nanti.
Tak lama waktu berselang, Emery terbangun dari tidurnya. Kepalanya terasa sakit sekali. Dia melihat-lihat sekitarnya, hanya ada Sean yang kini berada di sampingnya.
“Dokter Sean apa yang terjadi dengan saya?” tanya Emery mencari tahu.
“Kamu pingsan dan tak sadarkan diri beberapa menit yang lalu,” sahut Sean.
“Benarkah? Apa yang membuat saya pingsan?” tanya Emery lagi. Dia makin penasaran dengan penyebabnya.
“Itu karena ….” Sean belum sempat menjelaskannya, Emery sudah berhasil mengingatnya kembali.
“Dokter Ruben. Saya harus segera pergi menemuinya,” kata Emery terlonjak kaget. Dia beranjak dari tempat tidurnya dan bergegas pergi.
Sean menggenggam tangan Emery dan mencegah kepergiannya. “Kamu mau ke mana? Kamu lagi sakit, Mer,” dia beralasan.
“Saya harus pergi. Dokter Ruben tidak bisa pergi begitu saja tanpa memberitahu saya penjelasannya kemarin,” kata Emery bersikeras.
“Penjelasan soal apalagi? Sudah jelas kalau dia tuh ninggalin kamu, Mer,” tegas Sean.
“Saya tidak percaya,” bantah Emery. “Saya harus membuktikannya sendiri.”