Emery syok sekali mendengar kondisi tubuhnya saat ini. Dia tidak menyangka jika calon bayinya itu sudah tidak bisa diselamatkan lagi. Lalu, kenapa Sean diam saja dan tidak menjelaskan apa-apa kepadanya?
“Dokter Sean? Kenapa Anda tidak memberitahu saya?” Emery tampak kecewa sekali.
“Aku minta maaf, Emery. Aku sempat mau mengatakannya, tapi kamu sudah mau pergi. Aku juga tidak bisa mencegahmu tadi. Jadi, maafkan aku, ya,” sesal Sean.
“Emery, sekarang kamu harus istirahat di ruang perawatan. Kami terpaksa akan mengoperasimu. Janin kamu sudah meninggal,” jelas Sesilia.
Emery terisak mendengar penjelasan dari Sesilia. Sembari memegangi perutnya, dia masih menangis ketika beberapa perawat membawanya ke ruang perawatan.
“Mer!” panggil Sienna. Dia sempat melihat Emery dibawa ke ruang perawatan. Dia panik sekali dan ingin tahu keadaan sahabatnya itu.
“Dokter Sean, apa yang terjadi? Kenapa dia kelihatan frustrasi seperti itu?” Sienna mencari tahu.
“Dia baru saja kehilangan bayinya,” kata Sean memberitahu.
“Apa? Maksud Anda … dia keguguran?” Sienna memastikannya. Sean menudukkan pandangannya. Dia tidak berani mengiyakannya.
“Astaga!” Sienna sudah bisa menebaknya meskipun Sean tidak mengiyakannya secara langsung.
Selang beberapa jam kemudian, tiba saatnya Emery dibawa ke ruang operasi. Dia akan menjalani operasi malam ini. Kedua orang tuanya datang ke Rumah Sakit setelah diberitahu bahwa Emery akan dikuret.
“Emery, putriku ….” Ibu sedih sekali melihat kondisi Emery saat ini. Emery sudah menggunakan pakaian pasien yang akan dioperasi.
“Ibu ….” Emery tak kuasa menahan tangisnya. Dia menumpahkan semua air matanya di hadapan sang ibu sembari memeluknya.
“Sabar, Nak. Ibu tahu perasaanmu. Semua sudah kehendak Yang Maha Kuasa,” kata ibu yang berusaha menenangkan Emery.
Emery masih menangis di pelukan sang ibu. Dia amat menyesali semua yang terjadi kepadanya. Dia juga merasa bersalah pada orang tuanya.
“Ayah, maafkan aku,” ucap Emery dengan penuh rasa penyesalan.
Ayah hanya bisa mengangguk sambil menitikkan air mata. Beliau tidak pernah menyangka jika nasib buruk kini tengah dialami oleh putrinya.
“Ayah, apa Ayah membenciku?” tanya Emery sebelum pergi ke ruang operasi. Ayah menggeleng.
“Tidak. Mana mungkin Ayah membenci putri Ayah sendiri. Jangan bicara yang tidak-tidak!” sahut ayahnya.
Emery tersenyum agak dipaksakan. Walau dalam keadaan sedih, dia berusaha menampilkan senyum di depan sang ayah. Pahit sekali rasanya harus menerima cobaan hidup yang berat ini.
Kini, Emery harus segera memasuki ruang operasi. Dia tahu betul rasanya berada di atas meja operasi. Hawa dingin yang berasal dari ruang steril sebelumnya membuat bulu kuduknya merinding. Dia merasa sedang berada di persimpangan jalan, melintasi dua alam.
“Emery, kamu rileks aja, ya. Jangan terlalu tegang! Operasi ini tidak akan lama, kok,” kata Sesilia menasihatinya.