Cinta Rahasia Sang Dokter

Rinaha Ardelia (Seorin Lee)
Chapter #22

Orang Ketiga

Emery mengerjap-ngerjapkan kedua matanya. Dia tidak mengerti maksud ucapan Sean barusan.

“Melupakan Ruben?” racau Emery dengan suara pelan. Dia mengulang perkataan Sean dan berusaha mencerna setiap kata yang terlontar dari mulut pria itu tadi.

“Itu benar. Lupakan saja dia! Kamu juga berhak bahagia, Emery,” tegas Sean. Dia juga memberikan saran untuk Emery.

Menurut Sean, masalah Emery sudah menemukan titik terang. Setelah Emery keguguran dan tidak jadi menikah dengan Ruben, bukankah itu lebih baik untuk Emery sekarang? Wanita itu bisa lebih fokus lagi pada karirnya di Rumah Sakit.

“Kamu harus kuat dan bangkit lagi, Emery! Karirmu akan bagus di masa depan. Kamu harus mempersiapkannya dari sekarang. Kamu mengerti?” Sean menyemangatinya.

Emery hanya tersenyum simpul menanggapinya. Kehilangan calon buah hatinya dalam kandungan itu bukanlah perkara yang mudah. Meski baru menginjak usia tiga bulan setengah, dia merasa pernah menjadi wanita paling bahagia yang bisa merasakan detak jantung bayinya di dalam perut. Walau perasaan itu hanya sesaat singgah di hatinya.

“Istirahatlah! Aku akan kembali lagi besok pagi. Sekarang, kamu tidur dan aku mau ke ruang kerjaku dulu. Oke?”

Emery mengangguk dan mengucapkan terima kasih pada Sean. Di saat-saat dia mengalami kehancuran, setengah jiwanya sudah mati rasa. Hanya Sean satu-satunya pria yang ada di sampingnya, menemaninya seusai operasi.

Setelah Sean pergi meninggalkan ruang inap, Emery berbaring ke samping sambil menitikkan air mata. Meski semua masalahnya satu per satu terselesaikan, ada masalah lain yang kini tengah menantinya. Dia harus segera pergi dari Rumah Sakit karena Profesor Rudiana sudah memindahkannya ke Rumah Sakit lain di sebuah desa terpencil.

“Aku kuat. Aku yakin bisa menghadapi masalah ini. Walau sebenarnya aku … capek sekali,” ucap Emery sebelum memejamkan matanya malam ini.

***

“Mer! Gimana keadaan kamu sekarang?” Sienna datang mengunjungi Emery di kamar inapnya.

“Lumayan. Jauh lebih baik,” sahut Emery.

“Aku turut berduka cita atas kejadian kemarin yang menimpamu.” Sienna sedih sekali dan berusaha memeluk Emery untuk menguatkan sahabatnya itu.

“Makasih, ya,” balas Emery.

“Oh iya, apa rencanamu sekarang? Kapan kamu akan pindah?” tanya Sienna. Kok, sepertinya dia antusias sekali mendengar Emery akan segera dipindahkan ke Rumah Sakit lain.

Emery mengernyitkan dahi. Sienna buru-buru meralat perkataannya. Mungkin dia salah ucap di depan Emery dan menyinggung perasaan sahabatnya itu.

“Maafin aku, Mer. Kamu tahu, kan, aku sahabatmu. Aku siap dukung kamu. Apapun yang kamu lakukan, aku akan selalu ada buat kamu,” ucap Sienna seraya menyemangatinya.

“Makasih, ya, atas dukunganmu. Aku baik-baik aja dan bisa mengatasinya sendiri, kok. Aku nggak mau ngerepotin kamu,” balas Emery.

“Ah, enggak kok. Kamu sama sekali nggak ngerepotin aku. Kalau ada apa-apa dan butuh bantuanku, jangan sungkan ya!” tawar Sienna.

Emery mengangguk agak lemas. Dia juga menampilkan senyum sekilas di depan Sienna, sebatas formalitas saja. Lebih tepatnya, dia sangat menghargai kebaikan Sienna.  

Lihat selengkapnya