Emery tak sengaja menyemburkan kopi ke wajah Bonar. Dia kaget mendengar Bonar menyatakan cinta kepadanya.
“Astaga! Maafkan saya,” sesal Emery. Dia buru-buru mengambil sesuatu di sekitarnya untuk mengelap wajah Bonar yang terkena semburan air kopi yang berasal dari mulutnya.
“Ya ampun, kenapa bisa jadi begini? Sekali lagi, maafkan saya, Bang Bonar.” Emery merasa bersalah sekali. Dia benar-benar tidak sengaja melakukannya tadi.
“Tidak apa-apa, Dokter Emery. Saya yang salah, kok,” ucap Bonar sembari membersihkan wajahnya menggunakan kain kasa.
Emery tersenyum agak dipaksakan. Jujur saja, dia jadi merasa tidak enak hati pada Bonar.
“Ini bau apa, ya?” Bonar mengendus-endus kain kasa tersebut.
Astaga! Emery baru sadar kalau kain kasa bekas itu tadi habis membersihkan luka pasien. Sekarang, kain bekas itu malah digunakan untuk membersihkan wajah Bonar. Sekali lagi, Emery harus mengakui kesalahannya pada Bonar.
“Sebaiknya, Anda segera mencuci wajah Anda sekarang juga,” perintah Emery.
“Kenapa memangnya, Dok?” Bonar ingin tahu.
“Tadi, kain kasa bekas itu habis membersihkan luka borok pasien. Takutnya Anda tertular penyakitnya. Kan, bisa berbahaya nantinya, Bang,” Emery memberitahu.
“Hah? Benarkah?” Bonar makin syok mendengar informasi yang disampaikan Emery.
Bonar segera beranjak meninggalkan tenda tersebut dan bergegas mencari sumber air bersih untuk membersihkan wajahnya. Dia jadi ketakutan setelah diberitahu kain kasa itu bekas luka pasien. Dia takut tertular penyakit.
“Ada-ada saja.” Emery menghela napas panjang.
Emery tidak bisa menjawab pertanyaan Bonar tadi. Bahkan, dia tidak sempat memikirkan tentang hal itu. Cinta? Dia sendiri ragu dengan perasaannya. Masih ada seseorang di dalam hatinya. Dia tidak bisa begitu saja menghapus perasaannya pada pria itu.
Emery berjalan meninggalkan tenda tempat pemeriksaan pasien. Dia menerawang ke angkasa sambil memikirkan seseorang di atas sana. Dia hanya teringat pada satu orang. Anaknya yang sudah tiada.
***
Ruben baru saja keluar dari ruang kelasnya. Hari ini dia sudah tidak ada lagi jadwal kuliah. Dia akan pergi berbelanja dan memasak di apartemennya saja. Dia begitu bahagia menjalani hari-harinya sebagai pria lajang di New York City, tanpa beban, tanpa kekasih, hanya memiliki teman itu pun beberapa saja. Tidak terlalu banyak.
Setiap kali teman-temannya mengajak keluar rumah, dia selalu menolaknya. Dengan alasan, dia ingin fokus pada kuliahnya saja. Dia tidak suka menunda-nunda pelajarannya karena ayahnya, Profesor Rudiana sudah memperingatkannya untuk segera menyelesaikan studinya di sana.
Ruben mengendarai sebuah mobil dan meninggalkan kampusnya. Selang beberapa menit kemudian, dia tiba di sebuah supermarket. Dia turun dari mobil setelah memarkirkan kendaraannya. Lalu, dia bergegas masuk ke supermarket tersebut. Dia berencana membeli bahan-bahan makanan dan peralatan dapur.
Ponselnya berdering panjang. Ruben menerima panggilan telepon dari sepupunya.
“Ada apa? Tumben lo nelepon gue,” sindir Ruben pada Sean.
“Ben, gue mau nanya sama lo. Penting banget,” kata Sean to the point. Dia tidak suka bertele-tele.