Emery jadi emosi mendengar permintaan dan harapan yang dilontarkan Ruben kepadanya. Pembicaraan di antara mereka mengundang perhatian banyak orang. Terutama pada saat Emery menghardik Ruben dengan nada tinggi.
“Apa Anda sudah gila, Dokter Ruben?” cibir Emery. “Harapan?”
Ruben mengerjap-ngerjapkan kedua matanya di hadapan Emery. Dia tidak tahu kalau Emery akan bereaksi seperti itu. Emosi juniornya itu sudah meledak-ledak tak tertahankan lagi.
“Emery, aku tahu kamu marah padaku. Aku tahu sikapku padamu waktu itu membuatmu sakit hati. Tapi, sekarang ….” Ruben coba jelaskan.
“Cukup!” Emery memotong pembicaraan. Dia sudah muak dan tidak ingin mendengar penjelasan apapun dari Ruben. Dia sudah terlanjur kecewa karenanya.
“Kita tidak pernah ada hubungan apa-apa. Setelah Anda menyampakkan saya, saat itulah saya tahu kalau saya harus segera mundur dari hubungan yang tidak sehat ini.” Emery marah sekali. Dia buru-buru pergi sambil mendengus kesal.
“Emery!” panggil Ruben. Dia berharap wanita itu akan memberikannya kesempatan kedua. Sayang sekali, Emery tidak membiarkan Ruben menjelaskan maksud dan tujuannya mendekatinya saat ini.
***
Emery melihat-lihat lagi kotak perhiasannya. Sebuah hadiah mewah di hari ulang tahunnya dari Sean. Kemudian dia membuka kotak perhiasan itu.
“Cantik sekali,” ujar Emery.
Kalung berlian itu masih Emery simpan dengan rapi di sana. Dia tidak bisa mengenakannya setiap hari, setiap saat. Kalung berlian itu harganya pasti sangat mahal. Dia takut sekali jika suatu hari nanti dia bisa menyakiti perasaan Sean dan mengecewakannya. Karena perasaannya pada Ruben belum berubah.
“Kenapa baru meminta kesempatan kedua sekarang? Kenapa dia datang di saat aku sudah menjalin hubungan dengan pria lain?” sesal Emery.
Emery berandai-andai. Seharusnya Ruben datang kepadanya malam itu. Mungkin saat ini mereka bisa bersama sebagai pasangan suami istri yang berbahagia dengan anak mereka.
“Bodoh! Dia memang seorang jenius di antara semua kalangan dokter. Tapi, dia begitu bodoh setelah menjadi seorang pria biasa,” Emery menyimpulkan sendiri. Rupanya dia masih belum bisa terima kenyataan bahwa dia masih menginginkan Ruben.
“Sial! Aku selalu saja memikirkannya. Payah sekali!” rutuk Emery.
Emery mengembalikan lagi kotak perhiasannya ke dalam lemari. Semakin dipikirkan malah semakin pusing. Sebaiknya dia tidak perlu memikirkan lagi perasaannya pada Ruben jika dia sudah menerima cinta Sean.
“Aku harus belajar mencintai Sean dari sekarang. Bagaimana pun juga, aku sudah memilihnya,” kata Emery dengan tekad bulat.
Tok-tok-tok!
“Emery!” panggil ibu dari luar kamarnya.
“Iya, Bu,” sahut Emery. Dia bergegas membukakan pintu kamarnya.
“Kamu sudah berkemas? Jam berapa pemberangkatannya?” tanya ibu.