“Dia milik gue, Bro! Lo dekatin dia lagi, lo berhadapan langsung sama gue,” kata Sean memperingatkannya. Dia sengaja menggertak Ruben agar sepupunya itu tidak bertindak macam-macam lagi pada Emery.
“Wow! Lo ngancam gue?” Ruben tidak takut. Justru, semakin diancam dia malah makin nekad deketin Emery.
“RUBEN!” bentak Sean.
“Oke! Tenang aja. Gue nggak bakalan deketin dia lagi. Kecuali takdir berkata lain.”
“Apa lo bilang?” Sean naik pitam.
“Sabar. Sabar, Bro!” Ruben menenangkan Sean yang terbakar api cemburu.
Sean harus mewaspadai sikap Ruben. Dia takut sekali jika Emery jatuh lagi ke pelukannya. Apalagi Emery sudah berniat ingin membalaskan dendamnya pada Ruben.
“Semoga hubungan kalian lancar-lancar aja, Bro. Hati-hati, ada banyak sekali pria yang berada di sekitarnya di sana,” harap Ruben sembari memperingatkan Sean.
“Apa maksud lo, Ben?” Sean berusaha mencerna maksud ucapan Ruben.
“Jaman sekarang hubungan jarak jauh itu gambling aja, Bro. Lo di sini ngingetin dia makan, dia di sana diajakin makan sama yang lain,” sindir Ruben sambil berlalu pergi.
“Sialan!” Sean makin kesal menanggapi sindiran halus yang dilontarkan oleh Ruben.
Ruben pergi sambil tertawa puas. Dia senang sekali membuat Sean cemburu. Sepertinya Sean memang benar-benar menyukai Emery. Lantas, bagaimana dengannya?
“Terserahlah! Dia yang sudah merebut Emery dariku. Jadi, aku akan membalasnya. Lihat saja nanti.”
***
Sean bergegas menemui Emery sebelum kekasihnya itu pergi ke bandara. Dia tidak ada waktu mengantar Emery ke bandara karena jadwal di rumah sakit yang cukup padat. Jadi, dia akan pergi ke rumah orang tua Emery dan memeluknya sebelum berpisah.
“Emery,” desis Sean lirih. Tiba-tiba dia memeluk Emery di halaman depan rumah sembari membisikkan sesuatu di telinga kekasihnya itu.
“Jaga diri kamu baik-baik selama di sana. Jangan lupa makan yang banyak, jangan sakit, dan jangan keluyuran malam-malam di tengah hutan!” Sean menasihatinya.
Emery tersenyum menanggapinya. Dia juga mengangguk sebagai tanda akan menuruti nasihat Sean.
“Berjanjilah padaku!” pinta Sean.
“Aku janji,” kata Emery meyakinkannya.
Sean melepas pelukannya. Kemudian, dia menatap wajah Emery lekat-lekat. Cukup lama dia memandangi wajah kekasihnya.
“Ada apa?” Emery heran.
“Astaga! Aku nggak bisa ninggalin kamu sendirian di sana. Aku nggak rela.”
Emery ketawa. “Bukankah aku sudah terbiasa di sana. Aku sudah dua tahun lebih tinggal di desa itu.”