Ruben mengejar Emery yang sudah melangkah lebih dulu meninggalkan rumahnya. “Emery, tunggu aku!” panggilnya.
Langkah Emery tiba-tiba terhenti. Dia melihat sekitarnya, terutama di halaman depan rumahnya. Dia mengerutkan keningnya hingga berlipat-lipat.
“Dia ke sini naik kendaraan apa?” Emery heran karena dia tidak melihat ada mobil Jeep tentara yang biasa digunakan oleh Bonar, yang menepi di depan rumahnya.
Emery masih celingak-celinguk mencarinya. Benar-benar tidak ada mobil Jeep itu. Lalu, dia mengarahkan pandangannya ke sebuah benda usang. Dia melihat motor butut yang terparkir di pinggir halaman rumahnya.
“Dokter Ruben!” panggil Emery. Ruben segera menghampirinya.
“Ya?” sahut Ruben antusias sekali mendengar panggilan dari Emery.
“Anda datang ke sini … memakai itu?” tunjuk Emery pada motor butut itu.
Ruben mengangguk sambil cengar-cengir di hadapan Emery. “Iya. Aku ke sini pakai motor itu.”
“Astaga!” Emery menepuk jidatnya agak kencang.
“Ada apa? Kamu nggak mau naik motor itu denganku?”
“Apa?” Emery membelalak kaget.
“Karena hanya ada motor jelek itu di balai desa. Itu pun aku meminjamnya dari salah seorang warga, pegawai balai desa,” Ruben beralasan.
Emery masih bergeming memerhatikan motor tua itu. Kenapa Ruben tidak meminjam mobil pada Bonar saja? Agar duduk selama perjalanannya lebih leluasa dibandingkan motor tua itu.
“Kamu tidak suka, ya? Kalau aku menjemputmu pakai motor tua itu. Tenang saja, nggak bakalan sampai mogok, kok. Aku berani menjaminnya,” bujuk Ruben.
Masalahnya bukan karena kondisi motor yang sudah tua itu. Emery sudah sangat memahaminya karena dia lama tinggal di desa itu. Yang jadi masalah bagi Emery, masa iya naik motor berduaan dengan Ruben ke balai desa, tempat mereka bekerja sekarang.
“Ayo cepat naik! Kamu nggak mau kita sampai datang terlambat, kan?” ajak Ruben dengan penuh rasa percaya diri yang tinggi.
Tidak ada pilihan lain bagi Emery. Dia terpaksa pergi ke tempat kerjanya menggunakan motor tua itu bersama Ruben. Jok motornya sempit sekali dan tidak ada helm yang bisa mereka pakai. Benar-benar sangat membahayakan keselamatan berkendara, pikir Emery.
Ruben naik duluan. Kemudian, dia mempersilakan Emery naik ke boncengan. Emery masih tertegun memandangi motor tua itu.
“Kamu nggak mau naik motor ini?” Ruben memastikan.
“Bukan begitu,” kata Emery sambil berdecak.
Bukannya gengsi atau apa, tapi Emery merasa tidak enak saja harus berboncengan dengan Ruben ke tempat kerjanya di balai desa. Apa kata orang nanti jika melihat mereka pergi bersama?
“Buruan naik! Kamu tenang aja, kita nanti berhenti di parkiran balai desa, kok. Jadi, orang lain nggak bakalan tahu kalau kita pergi barengan,” kata Ruben menenangkannya. Dia tahu Emery pasti sangat gelisah mencari alasan itu.
Akhirnya, Emery terbujuk naik ke boncengan. Setelah duduk di belakang Ruben, tiba-tiba tangan pria itu menarik tangan Emery agar memeluk erat pinggangnya.
Deg!
“Pegangan yang erat, ya. Nanti aku mau mengebut,” Ruben memberitahunya.