“Emery!” panggil Ruben di luar sana sambil mengetuk pintu rumahnya.
“Ruben?!” Emery mengerutkan keningnya. “Mau ngapain dia malam-malam begini ke rumahku?”
Emery beranjak dari tempat duduknya. Lalu, dia membukakan pintu rumahnya dan Ruben menerobos masuk ke dalamnya.
“Apa kamu punya garam? Boleh aku memintanya sedikit saja?” pinta Ruben.
“Ada di dapur. Kamu bisa mengambilnya,” sahut Emery.
“Baik. Aku akan ke dapur untuk mengambilnya.” Ruben bergegas pergi ke dapur. Tak lama kemudian, dia juga berteriak lagi.
“Mer, sekalian sama gula dan mie instannya, ya?” pinta Ruben selanjutnya.
“Iya, ambil saja!” Emery mempersilakannya.
“Mer!” panggil Ruben lagi.
“Astaga! Ada apa lagi sih?” Emery sampai kesal. Dia menghampiri Ruben di dapur.
“Ah, kebetulan kamu datang. Di mana kamu menaruh garam dan gulanya? Aku tidak bisa menemukannya,” Ruben beralasan.
Emery berdecak. Lalu, dia mulai mencari bumbu-bumbu dapur itu di lemari makanan. Beberapa detik, dia tertegun. Sepertinya dia lupa menyimpan bumbu-bumbu itu.
“Mungkin ada di atas!” tunjuk Emery ke arah kitchen set. Tapi, dia tidak bisa menggapainya.
Lantas, Ruben mendekati Emery dan berdiri di belakangnya. Kemudian, dia mengambilkan toples bumbu-bumbu itu. Tubuhnya hampir menempel dengan Emery.
“Apa ini toplesnya?” Ruben memastikannya.
Emery mengangguk perlahan. Jantungnya berdebar kencang ketika pria yang tubuhnya menjulang tinggi itu membuatnya gugup. Setelah ketemu, bukannya menghindar Ruben malah asik merangkul Emery dari belakang.
Ruben mencium leher Emery yang jenjang itu. Dia tergoda melihat Emery mengikat rambutnya seperti kuncir kuda.
“Dokter Ruben, tolong hentikan!” Emery geli sekali.
Ruben membalikkan tubuh Emery. Refleks, tangannya mengangkat tubuh Emery dan mendudukkannya di atas meja.
“Aku tidak bisa menghentikannya. Aku pernah bilang sama kamu kalau aku selalu merindukanmu, Sayang,” ungkap Ruben.
Emery menatap wajah Ruben yang berkaca-kaca di hadapannya. Namun, seperti biasa, dia masih ragu dengan perasaan Ruben kepadanya.
“Aku tidak ingin menunggu lebih lama lagi.”
“Apa maksudmu?” Emery mengerjap-ngerjapkan kedua matanya.
“Putuskan Sean! Aku ingin menjadi satu-satunya pria yang kamu cintai, Sayang,” pinta Ruben dengan wajah memelas.