Setelah perkuliahan berakhir, Emery buru-buru pergi. Dia mendapatkan pesan dari Ruben dan akan segera menemuinya di halaman parkir depan kampusnya.
“Emery!” panggil Adrian. Sontak saja, Emery menoleh ke sumber suara yang sudah memanggilnya itu.
“Mau apalagi dia?” gumam Emery yang tidak senang karena Adrian sok akrab kepadanya.
“Tunggu sebentar! Kamu masih punya utang padaku. Jadi, jangan pergi dulu sebelum kamu melunasinya,” kata Adrian.
Emery mengernyitkan dahinya, tak mengerti. “Utang apa?”
“Kamu utang jawaban kepadaku. Kamu nggak ingat?” Adrian mengingatkannya.
“Jawaban?” Emery sama sekali tidak mengerti. 'Dia ngomong apaan sih?' batinnya menggerutu.
“Pertanyaanku tadi di kelas. Kamu belum menjawabnya, bukan?”
“Oh, pertanyaan bodoh itu,” gumam Ameera. Dia sudah mengingatnya sekarang.
“Gimana? Aku ingin tahu apa kamu sudah punya pacar atau belum,” desak Adrian.
Klakson mobil Ruben berbunyi. Emery menoleh. Dia sudah ditunggu oleh Ruben di dalam mobilnya. Mereka sudah janjian, akan pergi ke suatu tempat siang ini.
Ruben tidak sabaran karena Emery masih berbicara dengan Adrian. Emery pun lekas pergi karena merasa tidak enak pada Ruben.
“Apa dia pacarmu?” Adrian baru menyadarinya.
Emery tidak menjawab. Dia hanya tersenyum sekilas setelah itu dia buru-buru pergi. Sesampainya di depan mobil Ruben, dia langsung masuk dan mobil itu melaju kencang meninggalkan kampus.
Adrian kecewa sekali dengan sikap Emery. Di sisi lain, justru Emery sama sekali tidak memedulikannya. Buktinya wanita itu cuek sekali dan tidak menjawab pertanyaan Adrian. Sudah dua kali dia mengabaikan pertanyaan Adrian.
Sementara itu, di dalam mobil Ruben kelihatan sedang menekuk wajahnya. Sepanjang perjalanan dia ketus sekali pada Emery.
‘Dia kenapa?’ Emery meliriknya sekilas. Apa Ruben sedang ada masalah di rumah sakit?
Ruben berdeham. Suasana di dalam mobil begitu dingin mencekam. Belum ada yang memulai pembicaraan di antara mereka. Emery bingung harus memulai pembicaraan dari mana dulu.
“Kamu kenapa?” tanya Emery akhirnya. Itu karena dia begitu penasaran dengan aksi diam yang ditunjukkan Ruben kepadanya. “Ada masalah apa di rumah sakit? Cerita dong sama aku!”
“Tidak ada apa-apa,” sangkal Ruben.
“Terus kenapa kamu cemberut dari tadi? Kamu juga tidak bicara padaku,” Emery jadi sewot.
“Itu karena kamu,” balas Ruben. Dia bicara sambil tersenyum kecut.
“Aku?” Emery menunjuk dirinya sendiri. “Memangnya aku kenapa?”
Ruben makin kesal karena Emery tidak menyadari kesalahannya. “Kenapa kamu bicara dengan pria lain di hadapanku?”