“Bukankah itu … Sean? Mau ngapain dia ke sini?” Emery bertanya-tanya sendiri. Sudah malam begini, ada kepentingan apa Sean datang ke rumah Ruben?
Sean mengetuk pintu rumah Ruben. Dia juga memanggil-manggil nama sepupunya di luar. Bagaimana ini? Emery tidak berani menyahut panggilan itu apalagi membukakan pintu rumah untuk Sean selagi Ruben tidak ada di rumah.
“Ben? Apa kamu ada di dalam?” teriak Sean. Tidak ada jawaban dari dalam sana.
Sean penasaran sekali. lantas, dia melakukan panggilan telepon ke Ruben. Seharian ini, dia tidak melihat Ruben di rumah sakit. Karena itulah, dia pergi ke rumahnya untuk memastikan sendiri. Apa yang terjadi pada sepupunya itu?
“Aneh sekali, Ruben tidak menjawab teleponnya. Apa dia tidak ada di rumah?” Sean menerka-nerka.
“Ruben!” panggil Sean sekali lagi. Dia juga masih memegang teleponnya sembari berusaha menghubungi sepupunya lagi.
Sementara di dalam rumah, Emery masih berdiri di belakang pintu. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya saat ini. Tunggu saja beberapa menit lagi. Mungkin, Sean akan pergi karena mengira rumah Ruben kosong tak berpenghuni.
Lima menit berlalu. Emery merasa aman sekarang. Dia akan melihat-lihat sebentar keluar. Ketika pintu rumah dibuka, dia terkejut melihat di samping pintu rumah ada Sean yang masih berdiri, bersandar di dinding sambil mengamatinya.
“Astaga!” Emery terlonjak kaget menoleh ke arah Sean. Dia mengelus dada saking terkejut melihatnya.
“Kukira siapa,” kata Emery.
“Menurutmu siapa? Hantu?” Sean menimpali.
Emery tersenyum kecut mendengar perkataan Sean yang seolah-olah sedang mencibirnya. Lantas, Sean pun mendekatinya. Dia merasa heran saja. Kenapa Emery berada di rumah Ruben di jam-jam malam seperti ini?
“Apa yang kamu lakukan di rumah sepupuku sekarang?” tanya Sean seperti seseorang yang sedang menginterogasinya.
“A-aku? Aku sedang ….” Kalimat Emery terbata-bata.
“Di mana Ruben sekarang?” tanya Sean lagi. Dia mengalihkan pembicaraan.
“Dia di rumah sakit. Dia sedang melakukan operasi sesar,” jelas Emery. Dia agak gugup mengatakannya di hadapan Sean.
“Lalu, kamu sendiri? Sedang apa kamu sedirian di rumah Ruben?” Sean makin curiga.
“Ah, itu … tidak ada. Aku hanya sedang belajar saja. Tidak ada yang kulakukan selain belajar,” Emery beralasan.
“Kamu yakin?” Sean tidak memercayainya sama sekali.
“Tentu. Buat apa aku bohong sama kamu?” Emery meyakinkan Sean. Dia mengatakannya agak ketus dan sambil membuang wajah.
“Aku tidak tahu kapan kamu harus berbohong atau jujur kepadaku. Aku tidak tertarik sekarang.”
“Oh, begitu menurutmu. Ya sudah, tidak apa-apa. Aku mengatakannya juga hanya sekadar menjelaskannya saja sama kamu. Agar kamu tidak salah paham padaku,” jelas Emery.
“Kamu tidak perlu khawatir. Salah paham atau tidak, aku sudah tidak peduli lagi. Aku bukan siapa-siapa lagi untukmu. Jadi, kamu tidak usah menjelaskan serinci itu padaku.” Nada bicara Sean datar sekali. Persis sekali seperti seorang yang masih belum move on dari patah hatinya.
“Iya, kamu benar. Kita sudah tidak ada lagi hubungan apa-apa. Aku tahu diri kok,” balas Emery menimpalinya.
Tidak tahu kenapa Emery merasa sakit hati sekali dengan sikap dingin yang diperlihatkan Sean kepadanya. Cara bicara Sean juga sudah berbeda, tidak seperti dulu lagi. Emery menyadari hal itu. Mungkin Sean masih sakit hati kepadanya, karena cintanya yang tertolak.