Ruben penasaran sekali usai mendengar cerita Emery. “Kenapa kamu diam aja?” desaknya lagi.
“Kami tidak bicara hal lain. Dia hanya menanyakanmu. Setelah itu, dia pergi lagi,” jelas Emery.
Ruben terdiam beberapa saat. Emery merasa salah bicara. Apa sekarang Ruben kecewa kepadanya? Bagaimana ini? Emery harus memastikannya dulu sebelum dia pergi meninggalkan rumah Ruben.
“Apa kamu marah padaku?” tanya Emery baik-baik.
“Marah? Tidak. Kenapa aku harus marah sama kamu?” sahut Ruben.
“Habisnya tadi kamu kelihatan sensitif sekali dengar nama Sean,” Emery beralasan.
‘Jelas aku marah. Karena calon istriku dilirik pria lain. Masa begitu saja dia nggak ngerti?’ ujar Ruben dalam hati. Dia menggerutu sambil menekuk wajahnya.
“Aku pergi dulu, ya!” Emery bergegas pergi. Dia sudah hampir terlambat ke kampus.
“Bye, honey.”
Ruben merasa ada banyak sekali ancaman yang sewaktu-waktu bisa merebut Emery dari sisinya. Hal itu tidak bisa dia biarkan. Bagaimana pun juga, Emery adalah miliknya. Dia sudah berani mengklaim seperti itu. Dan dia tidak rela jika Emery lepas lagi dari genggamannya.
***
“Emery!” seru Selia. Emery menoleh ke sumber suara yang telah memanggilnya itu.
“Ada apa?” sahut Emery.
“Apa aku boleh meminta bantuanmu?” pinta Selia.
“Apa itu?”
“Mengenai tugas kita kemarin. Aku baru saja mendapatkan informasi kalau dosen yang akan menjadi penguji kita nantinya adalah Profesor Rudiana. Bisakah kamu meminta tanda tangannya agar surat tugas kelompok kita bisa segera disetujui pihak kampus?” jelas Selia panjang lebar.
“Oh, begitu rupanya. Kenapa harus aku?” gumam Emery. Kenapa tidak orang lain saja yang melakukannya?
“Kamu bisa melakukannya untuk tugas kelompok kita, kan?” desak Selia. Dia berusaha meyakinkan Emery agar dia bisa pergi ke rumah sakit untuk menemui Profesor Rudiana, ayah Ruben.
Dengan berat hati, Emery mengabulkan permintaan Selia. Kalau sudah begini, dia tidak bisa menolak permintaan teman sekelasnya itu.
Emery menghela napas panjang sesampainya di kelas. Rasanya seperti ada beban berat ketika dia harus pergi melangkahkan kakinya ke rumah sakit itu lagi. Tidak hanya Profesor Rudiana, dia pasti akan bertemu dengan Ruben, Sienna, Sean, dan seniornya yang lain.
‘Tidak apa-apa. Aku pasti bisa mengatasi masalah ini. Anggap saja ini sebagai latihan. Agar aku tidak canggung ketika kembali lagi ke sana,’ ujar Emery dalam hati. Dia menyemangati dirinya sendiri.
“Ke mana lagi bocah itu?” Selia mengedarkan pandangannya mencari seseorang. Emery pun spontan mengikuti gerakan Selia.
“Bocah siapa?” Emery ingin tahu.
“Adrian,” kata Selia memberitahu.
“Kenapa lagi dengannya?”
“Dia nggak masuk kelas kayaknya. Padahal aku sudah memberitahunya kalau hari ini kita akan mengerjakan tugas kelompok kita.”
“Dia terlambat sepertinya,” tebak Emery.
“Nanti kalau dia datang terlambat, dia sama kamu saja pergi ke rumah sakit. Tidak apa-apa, kan?” Selia mengusulkan.
“Hah?” Emery membelalak kaget. Kenapa jadi harus sama Adrian pergi ke rumah sakitnya?
Emery kurang suka karena Adrian harus pergi bersamanya ke rumah sakit menemui Profesor Rudiana. Dia jadi harap-harap cemas. Bagaimana jika nanti mereka bertemu dengan Ruben? Bisa jadi masalah besar nantinya.
Setelah kelas berakhir, Emery hendak menuju rumah sakit. Di taman kampus, dia bertemu dengan Adrian. Pria itu ada di kampus tetapi tidak masuk kelas. Dia heran.
“Emery!” Adrian melambaikan tangan seraya memanggil Emery di bangku taman.