Cinta Sampai Mati

Nakshatra B.
Chapter #2

2

WARUNG Jati di Jakarta Selatan yang biasanya sepi kini nampak lebih ramai dari biasanya. Teman gue dan Rexy seakan sedang reunian di acara ini. Dari teman kuliah, magang, sampai mantan bos di kantor pertama kami kerja dulu terus manggil nama gue. Jujur, capek juga ditanya ini-itu sama teman-teman lama gue dan Rexy tentang kelanjutan kisah romansa gue. Bukan Rexy. Karena dia sudah menemukan tambatan hatinya. Sedangkan gue masih berharap Dhea jadi teman hidup terakhir gue.

Sekejap mengedarkan pandangan, lokasi restoran berkonsep taman terbuka dan nggak terlalu besar ini memang tepat jadi lokasi pertunangan Rexy. Dari balik meja prasmanan, gue lihat Rexy dan Saskia nampak seperti pasangan yang begitu serasi dan bahagia saat menyambut para tamu.

Sementara gue hanya melangkah sendirian, karena semua datang dengan gandengannya masing-masing. Gue jadi membayangkan kalau yang ada di kursi mereka sekarang adalah gue dan Dhea yang bisa saling bertatapan dengan penuh cinta. Gue akan mengandalkan keberanian gue untuk mengenalnya seandainya saja Dhea ada di sini.

Seraya melihat ke sekitar, gue melangkah mendekati mereka. Pemandangan di sekitar gue nggak ada yang menarik lagi selain makanan dan minuman, serta dekorasi yang dipenuhi dengan ornament klasik seperti gentong-gentongan cokelat, karpet putih di sepanjang rerumputan, dan bunga-bunga berwarna pastel.

Gue langsung semringah menatap keduanya begitu dapat giliran untuk memberi ucapan selamat. “Woohoo! Rexy William …! My men!” seru gue lebih heboh dari beberapa jam lalu karena kami sudah bertemu sebelum Saskia muncul di hadapan kami. Sambil merentangkan tangan dan merangkulnya satu per satu, gue langsung memberi ucapan selamat atas pertunangan mereka ini.

Kejutan yang dimaksud Rexy mungkin suasana pesta pertunangannya yang indah ini dan gue harus memilih salah satu tamu buat jadi pendamping hidup gue. Entahlah. Ini cuma pikiran gue saja. Karena dia mewajibkan gue dateng lebih cepat.

Yang penting sekarang acaranya berjalan lancar tanpa hujan, dan kami bisa tertawa bahagia. Karena akhirnya selama enam belas tahun ini, Rexy bisa mengakhiri masa jomblonya lebih dulu. Gue ikhlas kalau dia memang selalu mandang gue nggak mampu cari jodoh dan ingin gue juga bisa cepat-cepat menyusulnya, tapi kalau bukan Dhea. Entahlah.

Usai salaman, gue langsung melihat ke sosok gadis yang entah kenapa memang sudah ada di radar mata gue selama ini. Sekali lagi gue mengerjapkan mata dan memastikan kalau gue nggak salah lihat. DHEA? Gadis itu menoleh. Mata gue kembali memicing walau nggak ada minus atau silinder. Gue cuma penasaran. Tapi iya, itu Dhea!

Sontak gue langsung kembali mundur selangkah dan membuat tamu di belakang gue ikutan mundur karena kaget. Gue tersenyum dan minta maaf, lalu langsung menatap Rexy. “Rex! Lo undang Dhea!?”

Dengan jenakanya, Rexy hanya mengangguk semringah. Tak ketinggalan tatapan dan suaranya yang meledek. Oh, my God! Jadi gue benar-benar nggak salah lihat!? Iya. Itu Dhea Miraya! Gadis yang lagi jalan ke arah makanan prasmanan. Mata gue sampai nggak bisa kedip. Bibir gue juga terus menganga, karena gue masih nggak percaya apa yang dilakukan Rexy.

“Gue bilang juga apa, Bar. Lo nggak akan nyesel dateng lebih cepat ke sini, kan?” timpal Rexy kemudian dan gue benar-benar jadi ingin menoyornya tapi kutahan karena dia pangeran penting malam ini dalam hati Saskia. Gue nggak mau menurunkan kredibilitasnya sebagai tunangannya gadis itu.

Gue nggak tahu gimana ngungkapin perasaan girang gue sekarang. Jujur! Gue grogi juga sampai nggak bisa berkata-kata lagi setiap melihat ke arah Dhea lagi. “Gila lo, Rex! Hebat bisa ngundang dia! Kalo begini, gue hutang nyawa sama lo!” pekik gue pelan dan tentu saja bercanda. Daripada nyawa gue diberi ke Rexy, lebih baik buat Dhea ke mana-mana.

“Hahahaaa… Have fun, Bar! Go get her!” Rexy sudah mengusir, karena di belakang gue sudah mengular antrian yang mau salaman sama Rexy dan Saskia.

“MAKASIH YA BRO, SIS! And selamat lagi buat kalian! Lo berdua emang the best!” seru gue. “Gila! Gila lo, Rex!” timpal gue berbisik kali terakhir gue menepuk pundaknya.

Lihat selengkapnya