~ Gue rela bersakit-sakit dulu demi bisa dapat perhatiannya, tapi sekarang gue nggak cuma bisa mimpiin dia. Karena hari ini bisa jadi detik-detik yang berharga setelah kami bertemu empat mata. Namanya juga cinta. Antar ke ujung dunia pun, gue mau. ~
~ POV. Barra ~
RENCANA Tuhan memang nggak pernah salah. Gue masih nggak nyangka Rexy bisa memberi jalan supaya gue bisa kenalan langsung sama Dhea. Makanya nggak boleh menyia-nyiakan pertemuan gue sama Dhea kali ini dan langsung mengutarakan kalau gue salah satu follower di LivesMe-nya.
Entah benar atau salah, gue bisa lihat kalau Dhea juga menganggap hubungan kami memang seperti sudah lama terjalin. Dari cara Dhea menatap gue dan percakapan kami sekarang sudah selayaknya teman lama yang seringkali berbincang. Ya, karena gue seringkali komunikasi sama dia cuma lewat Live-nya. Gue cuma mau dia melihat gue, menghargai, dan membalas perasaan gue. Those simple acts that make me happy. Gue juga nggak munafik kalau ingin menemukan kebahagiaan gue dan berharap bisa mengakhiri masa bujang gue secepatnya.
“Pantas aja. Aku kayak pernah tahu kamu, Bar,” sahut Dhea membuyarkan lamunan gue.
Gue mengangguk semringah. Gue senang banget Dhea benar-benar ingat kalau gue penggemarnya yang cinta mati sama dia. Oke. Untuk soal perasaan gue, dia memang belum tahu apa-apa. Gue baru bilang kalau gue juga sering komen di LivesMe-nya. Gue merasa dia harus tahu. Cerita baru bersamanya meski lewat layar ponsel adalah hal terindah yang pernah hadir dalam hidup gue. Sekarang dia terasa nyata. Nggak ada yang lebih membahagiakan setelah gue bisa menatapnya siaran langsung.
“Makasih ya, udah dianterin.”
“Sama-sama. Kalau mau tiap hari juga boleh. Sejauh apa pun jarak rumah kita, aku siap kalo kamu mau telepon aku, Dhe,” seru gue dan Dhea hanya tertawa kecil. Gue benar-benar ingin dia tahu perasaan gue. Namun seketika gue jadi ragu dan malu. Selama ini Rexy tahu kalau gue memang terlalu pemilih, karena khawatir salah mendapat pasangan. Karena itu, gue cuma terlalu sibuk mengejar karir dan menumpuk tabungan untuk bisa menikah dengan gadis pilihan gue nanti. Kalau Dhea mengira gue bohong karena belum punya pacar gimana?
Soalnya perawakan gue nggak kurang menarik. Biar berat tubuh gue 70 kilogram, gue sudah menjaga perut gue untuk tetap rata dan indah dipandang. Secara fisik gue lebih atletis daripada Rexy yang lebih kurus dari gue atau Levi yang sedikit berisi dari gue. Pola hidup sehat yang gue jalani ini demi cinta gue ke Dhea. Soalnya, dia pernah mengungkapkan kalau fisik laki-laki juga jadi bahan pertimbangannya dalam memilih pasangan. Makanya gue nggak boleh cuek.
Tapi kalau bukan sekarang, gue nggak tahu lagi kapan waktu yang tepat. Gue harus bisa lebih berani mengungkapkan semuanya ke dia. Karena keberuntungan gue yang pertama, gue bisa ketemu dia. Yang kedua, dia dateng sendiri ke acara pertunangan Rexy dan gue boleh mengantarnya pulang.
Gue cuma nggak mau dia kehujanan mengingat akhir-akhir ini masih suka turun hujan dan dia lagi nggak bawa mobil. Soalnya matahari siang ini juga nggak terik-terik amat. Cenderung mendung, tapi nggak hujan. Pertunangan Rexy dan Saskia memang sudah terbekati. Karena Tuhan seakan mendukung acaranya dan membuat para tamu yang datang bisa merasa nyaman alias nggak kejemur sinar matahari hingga mereka mau buru-buru pulang saja.
Dhea langsung memberikan secarik kartu namanya, dan gue menerimanya dengan senang hati.
“Ini telepon aku, Bar. Karena kamu udah jadi temen aku, kamu boleh simpen.”
“Makasih. Kamu belum punya pacar ‘kan, Dhe?” tanya gue ragu-ragu. Dari caranya menatap gue, sepertinya dia juga suka sama gue sejak kami bertemu tadi. Yes!
“Belum. Kenapa? Apa penggemar rahasia kayak kamu mau jadi pacar aku?”
Gue langsung mengangguk kecil. Sepertinya Tuhan sedang berada di pihak gue, karena gue senang banget dengar pertanyaan Dhea walau dia jadi sedikit terlihat agresif, tapi gue suka!
“Kalo kamu mau lebih serius, a-aku siap juga, Dhe.” Astaghfirullah! Kenapa gue jadi semangat banget!? Tapi kalau ingat Rexy, dia pasti berharap yang sama supaya gue nggak jadi jomblo yang bangga masih sendirian lagi kayak kakak gue di rumah. Karena gue cuma dua bersaudara tinggal di rumah peninggalan mendiang ayah kami, dan ibu selalu berharap kami bisa menemukan pasangan yang kami inginkan. Semoga saja jawaban Dhea siang ini bisa menenteramkan hari-hari gue berikutnya.
Dhea malah tertawa renyah, tapi gue melihat raut wajahnya terlihat senang. Entah kenapa. “Lebih serius?” tanyanya.
“Aku tahu kita baru kenal, tapi aku boleh jujur nggak sama kamu?” tanya gue memberanikan diri. Tapi pekerjaan gue sudah lumayan posisinya, dan gue nggak takut lagi untuk punya hubungan yang serius. Karena yang dikhawatirkan orangtua gue yang sekarang sudah single parent, gue belum punya pacar.
Jadi, ini kesempatan gue untuk bisa dekat dengan Dhea supaya ibu nggak khawatir dan mengira gue nggak suka perempuan. Gue harus bisa ngobrol lebih jauh dengan dia walau jantung gue sudah berdebar setengah mati. Soalnya Dhea sudah menatap gue penasaran.
“Jujur soal apa?”
“Seriously, aku merasa udah kenal dekat banget sama kamu karena sering lihat LivesMe kamu, Dhe,” ujar gue apa adanya.