Cinta Sampai Mati

Nakshatra B.
Chapter #5

5

LEVI pernah bilang kalau gue bisa capek banget pacaran sama influencer waktu dia tahu gue sering banget lihat LivesMe-nya Dhea. Mungkinkah dia pernah punya pengalaman itu? Gue seharian ini mikirin, tapi gue nggak tahu persis jawabannya karena dia memang tertutup sekali kalau ada urusan soal cewek. Katanya, tugas penting influencer itu harus punya konten.

“Kamu capek nggak sayang, bikin konten terus?”

“Nggak. Kalo kamu capek ngikutin aku terus bilang aja ya?”

“Nggak, kok. Aku malah seneng banget bisa nemenin kamu daripada bosen di kantor terus,” sahut gue sambil meringis. Gue juga sudah tahu resikonya punya pacar yang jadi sosok influencer di LivesMe. “Konten kamu selalu seru dan positif. Mana mungkin aku capek,” lanjut gue dengan tawa yang renyah. Gue nggak pernah sebahagia ini bisa jalan bareng Dhea walau gue cuma bisa makan dan nonton dia yang lagi bikin konten.

Pokoknya selama masih dalam kaidah agama gue nggak akan larang dia kerja jadi influencer. Gue juga lihat dia selalu memberi manfaat untuk yang melihat kontennya atau sekadar follow akunnya dan jadi penggemar rahasia kayak gue dulu.

 Lagian semua yang bisa membentuk gue sampai sekarang karena gue selalu menyimak nasihat-nasihat Dhea tentang cinta dan kehidupan di LivesMe. Nggak jarang juga dia sharing soal makanan dan minuman yang sehat untuk dikonsumsi.

Sejak ayah meninggal enam tahun yang lalu karena penyakit livernya dan gue lagi susah-susahnya cari kerjaan setelah lulus S1 dari Akademi Pariwisata Jakarta, Dhea jadi satu-satunya influencer yang menginspirasi gue untuk tetap bersemangat. Tanpa dia, mungkin gue nggak akan pernah berani juga untuk pindah dari kerjaan yang satu ke kerjaan yang lain demi dapat gaji yang sepadan. Sampai-sampai gue kepikiran untuk nekat kerja di Korea setelah Dhea membahas keinginannya itu namun sampai sekarang dia memilih stay di Indonesia karena sudah terlanjur nyaman dengan statusnya sebagai influencer.

Gue sudah nggak ngerti lagi kenapa gue bisa seklik ini sama Dhea setelah beberapa hari kami jalan bareng. Seandainya saja gue bisa kenal dia dari dulu, mungkin hidup gue nggak akan monoton lagi. Karena ternyata dia jauh lebih asyik dari yang ditunjukkin di story LivesMe-nya atau beberapa videonya yang terkadang membahas hal-hal yang serius dan cinta. Well, that is her live show.

Hari ini gue abis makan bareng Dhea di restoran Perancis yang baru buka di Pondok Indah, karena dia ingin review pengalamannya datang dan mencicipi menunya. Katanya, dia kenal sama pemilik restoran itu jauh sebelum ngajak gue makan di situ dan mereka sudah janjian untuk ketemuan hari ini.

Kalau Levi bilang gue bakal lelah karena harus mengikuti ritme kesehariannya, ternyata dia nggak sepenuhnya benar. Karena setiap gue bisa menemani Dhea, gue malah merasa kegiatannya cukup menyenangkan. Karena gue bisa menemani dia jalan-jalan di waktu luang gue. Alias, tepat jam istirahat gue langsung pergi jemput Dhea ke apartemennya yang kebetulan nggak jauh-jauh banget dari kantor gue. Cuma lima belas menitan kalau nggak macet.

Waktu kami tiba di depan apartemen Dhea, dia tersenyum dan gue masih penasaran dengan kehidupannya sampai akhirnya dia cerita di jalan. “Jadi, kamu tinggal sendiri di sini?” tanya gue tanpa ragu. Karena gue baru berani menanyakannya hari ini.

“Iya. Soalnya Papa sama Mama aku nggak tinggal di Jakarta. Mereka di Bandung. Biasalah. Orangtua. Katanya, udara di sana lebih sejuk. Jadi mereka lebih betah gitu.”

Aku mengangguk paham sambil menelusuri halaman lobi apartemen Dhea yang asri karena ditumbuhi beberapa tanaman hias serta rerumputan, dan baru kali pertama aku jejak sekarang. Soalnya, aku terbiasa hanya mengantarnya pulang dan cuma membukakan pintu untuknya saja. “Dhe, aku mau ngomong sesuatu yang penting boleh?”

“Soal apa?”

“Kita ‘kan, udah sering jalan bareng, kalo hubungan kita nggak cuma jalan di tempat gimana?”

Dahi Dhea langsung mengernyit dan dia menatap gue lekat. “Maksudnya?”

“Maksud aku, perempuan sebaik kamu nggak seharusnya tinggal sendirian di sini. Jadi….”

Dhea berdeham tambah terlihat bingung dan gue semakin grogi melihat sorot matanya yang ber-softlens biru langit.

“Aku mau jadi sandaran hidup kamu, Dhe,” kata gue kemudian. Sembari menahan gugup, gue menatapnya lekat di bawah pohon rindang apartemen ini. Entah apa ini waktu yang romantis atau bukan, tapi gue cuma ingin mengutarakan isi hati gue sekarang. “Kalau kita nikah nanti, Insya Allah aku mau jadi kepala rumah tangga yang bisa membina dan menata kehidupan kita berdua jadi lebih baik lagi.”

Bibir Dhea yang merah muda langsung terbuka sedikit dan sepertinya dia kaget banget mendengar ucapan gue sekarang. Apa dia belum siap untuk melanjutkan ke jenjang serius? Apa dia nggak benar-benar suka atau sayang sama gue? Atau, apa dia memang cuma mau main-main dulu dengan hubungan kami ini? Pikiran-pikiran buruk itu sontak mengudara dalam benak gue. Tapi kemudian Dhea mengukir senyumnya. Apa itu senyum penolakan? Manis banget. Gue sampai merinding, karena hati gue langsung lumer waktu melihatnya.

“Jangan, Bar. Jangan jadi sandaran.”

J-jadi Dhea nolak gue? Kenapa senyum Dhea jadi misterius gini? Apa dia udah bosan jadi pacar gue? Gue terus menatap dia lekat. “Kenapa, Dhe?”

Lihat selengkapnya