MIMPI apa gue semalam tiba-tiba Papa dan Mama Dhea ingin ngobrol sama gue? Tapi gue lega Dhea mau langsung menelepon gue meski sudah larut sekalipun. Karena itu artinya, gue nggak perlu minta izin lagi untuk berhubungan sama Dhea kalau orangtuanya sudah menyetujui hubungan kami.
Sekarang yang perlu gue hadapi cuma rasa penasaran ibu dan Levi. Bukan nggak mungkin mereka akan menolak keputusan gue, karena ini memang sudah gue pikirkan sebelum gue berani minta mereka kumpul di ruang makan ini dan mengutarakannya di depan mereka. Seperti yang sudah diharapkan Levi kalau gue nggak boleh sembunyi-sembunyi. Jadi, gue harus memberitahu mereka langkah gue selanjutnya dengan Dhea meski itu masih menjadi harapan dan tujuan akhir kami berdua.
“Lo mau ngomong apa sih, Bar? Serius amat?” tanya Levi memecah hening, karena dari tadi gue memang cuma duduk sambil memikirkan apa mereka akan setuju atau nggak kalau gue ngomong apa adanya nanti.
Ibu ikut menatapku lekat.
“Bu … Lev. Kalo gue mau berhubungan serius sama Dhea, kalian approve, ‘kan?” pertanyaan gue akhirnya hanya membuat Levi yang terkejut. Karena ibu hanya tersenyum menatap gue seakan lega kalau cuma itu pertanyaan yang ingin gue sampaikan.
“S-serius gimana maksud lo? Kalian baru jalan beberapa minggu, Bar,” seru Levi seolah sedang mengingatkan gue untuk nggak makan sambal buru-buru biar nggak tersedak.
“Lev, dengerin dulu adik kamu,” sela Ibu.
“Iya, Bu. Maaf motong,” sahut Levi berusaha kembali tenang saat menatap gue lagi dengan sorot matanya yang lebih tajam dari gue itu.
Gue juga nggak tahu apa maksud omongannya tadi. Mungkin dia cuma terkejut karena tiba-tiba gue mengajak mereka untuk ngobrol bareng malam ini hanya untuk membahas soal rencana gue sama Dhea.
“Sebenernya nggak langsung besok nikah juga. Gue sama Dhea hanya berencana untuk menuju ke langkah itu, Bu, Lev. Karena dia memang bener-bener mau serius sama hubungan kami ini.”
Ibu mengangguk setuju. “Umur kamu juga bukan waktunya untuk main-main lagi, Bar. Apa lagi Ibu nggak pernah dengar kamu punya pacar. Kalo sama yang ini mau serius, ya, Ibu nggak melarang kok.”
Levi mengangguk setuju. Tapi gue merasa dia masih menyimpan sesuatu dalam benaknya. Entah apa. Mungkin hanya sedikit keraguan, dan setelah mendengar persetujuan ibu pola pikirnya seakan berubah dan dia memilih hanya diam saja sekarang.
Satu-satunya yang masih mengganjal benak gue sekarang adalah soal kehidupan Levi. Karena sampai sekarang dia belum memutuskan untuk punya pacar atau mengenalkan ke ibu siapa yang lagi dekat dengan dia. Padahal kami dilahirkan dari kedua orangtua yang bisa dibilang pasangan yang mirip abang dan nona Jakarta. Karena ayah kami semasa hidupnya memang tampan dan selalu digandrungi para perempuan sampai ibu harus menahan rasa cemburu setiap hari.
Entah kenapa Levi seperti nggak mau pacaran lagi atau tertarik sama cewek, dan lebih ingin mengejar karirnya terus-terusan walau dia tahu sebagai manajer HRD nggak ada yang harus dikejar lagi. Jadi, nggak heran ibu selalu menanti kabar baik dari kami berdua untuk urusan menata masa depan dengan pasangan pilihan kami. Dia nggak pernah memaksa dan ingin menjodohkan.
Seharusnya Levi mau mengejar perempuan yang dia suka seperti gue kalau mau kehidupan selayaknya ingin memenuhi norma masyarakat yang ada sekarang. Kerja, menikah, punya anak, dan mungkin akan memiliki rutinitas yang menantang atau membosankan seumur hidup kami nanti.
“Kalau seandainya gue nikah duluan, lo keberatan nggak, Lev?” tanya gue penasaran.
“Nggak,” jawab Levi cepat.
Thank, God. Gue hanya mengangguk paham dan mengukir senyum walau sedikit terpaksa. Karena gue belum tahu Levi gimana nanti menanggapi hubungan gue sama Dhea yang memang belum kelihatan bagaimana ujungnya. Gue cuma bisa berharap keluarga kami berdua bisa menyatu satu sama lain dengan rukun dan bahagia.
Karena kalau boleh jujur, gue cukup terkejut Levi bisa menyahut seringan itu. Kayaknya naluri dan hati dia sudah konslet sejak pacaran dengan beberapa gadis sekaligus semasa sekolah dan kuliahnya dulu sampai-sampai sekarang sudah nggak mau punya pacar lagi. Padahal dulu hampir tiap hari gue menerima telepon dari cewek yang berbeda-beda waktu ayah nggak mengizinkan kami punya ponsel waktu masih sekolah, dan kebiasaannya itu terbawa sampai kami kuliah. Karena gue selalu mendengar percakapannya dengan beberapa gadis di ponselnya.