Cinta Sampai Mati

Nakshatra B.
Chapter #7

7

~ Kisah cinta gue bareng Dhea sudah seperti naik kereta super cepat, men! Cepat banget dapat restunya. Mungkin ini yang dibilang orang, kalau jodoh nggak akan lari ke mana-mana. ~


~ POV. Barra ~


Rumah barra, Jakarta Pusat…

MIMPI apa gue semalam tiba-tiba orangtua Dhea ingin ngobrol sama gue? Tapi gue lega dia mau langsung menelepon gue meski sudah larut sekalipun. Karena itu artinya, gue nggak perlu minta izin lagi untuk hubungan kami kalau orangtuanya sudah menerima gue.

Sekarang yang perlu gue hadapi cuma rasa penasaran ibu dan Levi. Bukan nggak mungkin mereka akan menolak keputusan gue, karena ini memang sudah gue pikirkan sebelum gue berani mengutarakannya di depan mereka. Seperti yang sudah diharapkan Levi kalau gue nggak boleh sembunyi-sembunyi. Jadi, gue harus memberitahu mereka langkah gue selanjutnya dengan Dhea meski itu masih menjadi harapan dan tujuan akhir kami berdua.

“Lo mau ngomong apa sih, Bar? Serius amat?” tanya Levi memecah hening, karena dari tadi gue memang cuma duduk sambil memikirkan apa mereka akan setuju atau nggak kalau gue ngomong apa adanya nanti.

Ibu ikut menatapku lekat.

“Bu … Lev. Kalau aku mau serius sama Dhea, kalian approve, ‘kan?” pertanyaan gue akhirnya hanya membuat Levi yang terkejut. Karena ibu hanya tersenyum menatap gue seakan lega kalau cuma itu pertanyaan yang ingin gue sampaikan.

“S-serius gimana maksud lo? Kalian baru jalan beberapa minggu, Bar,” seru Levi seolah sedang mengingatkan gue untuk nggak makan sambal buru-buru biar nggak tersedak.

“Lev, dengerin dulu adik kamu,” sela Ibu.

Gue lega ibu mau belain gue. Karena gue yakin rencana Tuhan untuk mempertemukan gue dengan Dhea nggak pernah salah. Bersama gadis itu gue merasa bahagia. Bukan resah seperti yang dipikirkan Levi.

“Iya, Bu. Maaf motong,” sahut Levi berusaha kembali tenang saat menatap gue lagi dengan sorot matanya yang lebih tajam dari gue itu.

Gue juga nggak tahu apa maksud omongannya tadi. Mungkin dia cuma terkejut karena tiba-tiba gue mengajak mereka untuk ngobrol bareng malam ini hanya untuk membahas soal rencana gue sama Dhea.

“Sebenernya nggak langsung besok nikah juga. Kami hanya berencana untuk menuju ke langkah itu. Karena dia memang mau serius sama hubungan kami ini.”

Ibu mengangguk setuju. “Umur kamu juga bukan waktunya untuk main-main lagi, Bar. Apa lagi Ibu nggak pernah dengar kamu punya pacar. Kalau sama yang ini mau serius, ya, Ibu nggak melarang.”

Levi mengangguk setuju. Tapi gue merasa dia masih menyimpan sesuatu dalam benaknya. Entah apa. Gue hanya lihat sedikit keraguan di matanya waktu gue bilang mau nikah dan setelah mendengar persetujuan ibu pola pikirnya seakan berubah dan dia memilih hanya diam saja sekarang.

Satu-satunya yang masih mengganjal benak gue sekarang adalah soal kehidupan Levi. Karena sampai sekarang dia belum memutuskan untuk punya pacar atau mengenalkan ke ibu siapa yang lagi dekat dengan dia. Padahal kami nggak pernah dilarang untuk punya pacar selama kami nggak melewati batas norma dalam keluarga, dan seingat gue hubungan Levi dengan pacar-pacarnya juga hanya sekitar dua kali ditentang sama almarhum ayah kami dulu.

Entah kenapa sekarang Levi seperti nggak mau pacaran lagi atau tertarik sama cewek, dan lebih ingin mengejar karirnya terus-terusan walau dia tahu sebagai manajer HRD nggak ada yang harus dikejar lagi. Jadi, nggak heran ibu selalu menanti kabar baik dari kami berdua untuk urusan menata masa depan dengan pasangan pilihan kami. Dia nggak pernah memaksa dan ingin menjodohkan.

Seharusnya Levi mau mengejar perempuan yang dia suka seperti gue kalau mau kehidupan selayaknya ingin memenuhi norma masyarakat yang ada sekarang. Kerja, menikah, punya anak, dan mungkin akan memiliki rutinitas yang menantang atau membosankan seumur hidup kami nanti.

“Kalau seandainya gue nikah duluan, lo keberatan nggak, Lev?” tanya gue penasaran.

Lihat selengkapnya