~ Katanya, cinta nggak dinilai dari materi. Tapi sesekali berkorban itu perlu, kan? Gue cuma mau lihat dia bahagia. Jadi, ini rewards untuk calon istri gue. ~
~ POV. Barra ~
HARI libur biasanya gue baru bisa ngajak Dhea jalan-jalan untuk sekadar nonton film atau makan di kafe.
Tapi Sabtu ini gue terpaksa ambil cuti karena gue sudah keasyikan ngobrol lewat video call sama Dhea dari pagi. Berhubung kantor gue nggak begitu besar, dan karyawan yang stay di kantor yang ada di sekitar perumahan ini nggak banyak, gue bisa langsung kirim pesan ke Rexy kalau hari ini gue nggak masuk karena ingin cuti.
Soalnya tadi Subuh Dhea sempat tanya-tanya soal gue. Jadi gue jawab apa adanya soal kerjaan gue, gaji gue, dan sampai berapa bulan lagi cicilan mobil gue. Karena dia mau jadi istri gue, gue kasih tahu semuanya ke dia biar dia nggak kaget kalau gue punya cicilan mobil dan untungnya dia nggak keberatan. Dia langsung menilai kalau gue adalah sosok pria dewasa yang dia cari, karena dia merasa gue selalu mengayomi dia dan membuat dia merasa nyaman. Gue mau meluangkan waktu hari ini untuk dia.
Sebelum mengantar Dhea pulang, gue sudah mengarahkan mobil gue ke showroom mobil second yang ada di Pramuka, dan dia malah nggak percaya kalau gue memang sudah berencana untuk kasih kejutan. Jadi, gue sengaja meminta Dhea menutup matanya sampai gue bisa menutupnya dengan slayer merah yang dia pakai di hari ini, lalu kami berjalan masuk ke showroom.
“Bar, kita mau ngapain sih?”
Gue terkekeh sampai akhirnya kami tiba di depan sebuah mobil warna merah dan Dhea langsung menatap gue bingung.
“Kamu mau beli mobil buat aku?”
Gue mengangguk dan senang sekali melihat ekspresi terkejutnya. Menurut Rexy dulu, mobil second di showroom ini masih bagus-bagus kondisinya dan owner-nya juga bertanggungjawab kalau ada yang rusak. Seinget gue, dia juga pernah ambil mobilnya di sini. Makanya gue nggak perlu khawatir lagi. Tapi gue lihat Dhea kelihatan bingung dan nggak bisa memilih sendiri waktu dia tahu niat gue. “Iya. Kamu pilih aja,” tutur gue lagi. Baru juga gue ingin melihat mobil-mobil yang lain, gue tersentak ketika tiba-tiba Dhea melompat ke pelukan gue.
“Makasih, beb,” ucapnya sambil tersenyum manja dan menatap gue lagi.
“Dengan senang hati, sayang. Kamu suka yang mana?” tanya gue sambil menunjuk mobil sedan lain.
“Kalau ini gimana, beb?”
Dhea menunjuk mobil sedan warna merah menyala di belakang kami, dan gue sontak menoleh. Pilihannya persis sekali dengan kepribadiannya. Pemberani, dan petualang sejati karena dia suka travelling ke mana saja.
“Kamu juga bisa pake buat gonta-ganti kalau mau,” ujar Dhea setengah merajuk padaku.
Itu artinya, gue nggak perlu lagi basa-basi dan berdebat kusir soal mobil. Karena dia sudah naksir mobil itu. “Nggak. Buat kamu aja,” tepis gue lagi sambil mengulum senyum gue dan menggenggam kedua pipinya yang kini merona. “Ya, udah. Yang ini, ya. Nanti aku tanya-tanya dulu sama owner-nya. Mudah-mudahan besok udah bisa dianter ke apartemen kamu.”
Dhea mengangguk dengan ekspresi senang sekali, dan gue ikut bahagia. Bukan karena dia tiba-tiba merangkul lengan gue dengan manja di depan orang banyak, tapi gue bahagia kalau lihat dia senang begini.
Sebelum pulang, gue lihat Dhea lagi cuap-cuap di depan mobil pilihannya dan langsung melambaikan tangan ke arah gue saat ponselnya sudah diturunkan dari wajahnya.
“Beb, lain kali jangan dadakan gini ya. Aku sampai bingung mau ngomong apa ke video aku yang baru. Tapi kayaknya aku bilang aja apa adanya ya, kalau aku mau beli mobil?”
Gue manggut-manggut setuju.
“Makasih, ya!”
“Iya, sayang. Aku kerja memang untuk kamu dan keluarga kita. Kamu nggak perlu terima kasih terus, kayak lagi belanja aja.”
Dhea langsung terkekeh. “Ya, nggak apa-apa. Terima kasih bukan cuma sekadar ke orang lain, 'kan?”
Gue mengangguk saja daripada Dhea yang memang selalu well scripted ini punya skenario-skenario di kepalanya untuk meneruskan jalan pikirannya sendiri ke gue.
“Orangtua aku pasti seneng banget denger kabar ini, sayang.”
Gue hanya mengukir senyum.
“Kamu tahu nggak, sebenernya aku udah bilang kalau kamu bukan cuma pacar tapi calon suami aku.”
“Oh, ya?”