Cinta Sampai Mati

Nakshatra B.
Chapter #6

6

HARI ini gue menepati janji gue untuk ketemu Dhea, tapi kita nggak langsung makan ke kafe dan menyisakan rasa herannya saat menatap gue yang sudah mengajaknya pergi ke suatu tempat untuk melihat-lihat kejutan untuk dia.

“Kamu yakin mau beli mobil buat aku?”

Gue mengangguk. Kami memang sudah mampir ke salah satu showroom di daerah Pramuka untuk melihat-lihat mobil second yang masih bagus dan Dhea nggak bisa memilih sendiri waktu gue sampaikan niat ini. “Iya. Kamu pilih aja,” tutur gue lagi.

Sumpah demi apa pun, gue kaget waktu tiba-tiba Dhea melompat ke pelukan gue. “Makasih, sayang,” ucapnya sambil tersenyum manja.

Gue terkekeh. “Dengan senang hati, sayang. Kamu suka yang ini atau itu?” tanya gue sambil menunjuk mobil CRV dan sedan lain.

“Kalo bmw ini gimana, sayang?”

Dhea menunjuk BMW E46 warna merah menyala di belakang kami, dan gue sontak menoleh. Pilihannya persis sekali dengan kepribadiannya. Pemberani, dan petualang sejati.

“Kamu juga bisa pake buat gonta-ganti kalo mau,” ujar Dhea setengah merajuk padaku.

Itu artinya, gue nggak perlu lagi basa-basi dan berdebat kusir soal mobil. Karena dia sudah naksir mobil itu. “Nggak. Buat kamu aja,” tepis gue lagi sambil mengulum senyum gue dan menggenggam kedua pipinya yang kini merona. “Ya, udah. Yang ini ya. Nanti aku tanya-tanya dulu sama owner-nya. Mudah-mudahan besok udah bisa dianter ke apartemen kamu.”

Dhea mengangguk dengan ekspresi senang sekali, dan gue ikut bahagia. Bukan karena dia tiba-tiba merangkul lengan gue dengan manja di depan orang banyak, tapi gue bahagia kalau lihat dia senang begini.

Sebelum pulang, gue lihat Dhea lagi cuap-cuap di depan mobil pilihannya dan langsung melambaikan tangan ke arah gue saat ponselnya sudah diturunkan dari wajahnya.

“Sayang, lain kali jangan dadakan gini ya. Aku sampai bingung mau ngomong apa ke video aku yang baru. Tapi untungnya aku langsung kebayang dan aku bilang apa adanya aja kalo aku mau beli mobil! Makasih, ya!”

“Iya. Kamu nggak perlu terima kasih terus. Soalnya, kamu akan jadi calon istri aku juga nanti.”

“Ya, nggak apa-apa. Terima kasih bukan cuma sekadar ke orang lain, kan?”

Gue mengangguk saja daripada Dhea yang memang selalu well scripted ini punya skenario-skenario di kepalanya untuk meneruskan jalan pikirannya sendiri ke gue.

“Orangtua aku pasti seneng banget denger kabar ini, sayang.”

Gue hanya mengukir senyum.

“Kamu tahu nggak, sebenernya aku udah bilang kalo aku nggak sendirian lagi karena kamu udah jadi pacar sekaligus calon tunangan aku, dan dia pengin aku bisa jaga diri plus kepercayaan mereka yang udah dikasih ke aku untuk bisa tinggal di sini.”

 Pilhan dan keputusan gue untuk mencintai Dhea memang nggak salah, kan? Walau Dhea belum mempertemukan gue langsung ke orangtuanya, tapi minggu lalu kami sempat video call dan Dhea baru mengenalkan kalau gue adalah teman dekatnya di Jakarta sekarang. Bagus kalau jabatan gue di depan mata orangtuanya sudah naik pangkat jadi calon suaminya. Gue senang banget mendengarnya bercerita seantusias ini. Sampai tiba waktu yang tepat dan ibu bisa benar-benar sehat, gue sama Dhea akan memikirkan langkah baru untuk Menyusun acara tunangan kami berdua. Karena Dhea juga nggak mau

“Sayang?”

Lihat selengkapnya