HARI libur biasanya gue memang ngajak Dhea jalan-jalan untuk sekadar nonton film atau makan di kafe dulu sebelum gue antar dia pulang. Tapi kali ini gue sudah mengarahkan mobil gue ke showroom mobil second yang ada di Pramuka, dan dia malah nggak percaya kalau gue memang sudah berencana untuk kasih kejutan.
“Kamu yakin mau beli mobil buat aku?”
Gue mengangguk. Menurut Rexy, mobil second di showroom ini masih bagus-bagus kondisinya dan owner-nya juga bertanggungjawab kalau ada yang rusak. Seinget gue, dia pernah ambil mobilnya di sini. Makanya gue nggak perlu khawatir lagi. Tapi gue lihat Dhea kelihatan bingung dan nggak bisa memilih sendiri waktu dia tahu niat gue. “Iya. Kamu pilih aja,” tutur gue lagi. Baru juga gue ingin melihat mobil-mobil yang lain, gue tersentak ketika tiba-tiba Dhea melompat ke pelukan gue.
“Makasih, beb,” ucapnya sambil tersenyum manja dan menatap gue lagi.
“Dengan senang hati, sayang. Kamu suka yang ini atau itu?” tanya gue sambil menunjuk mobil sedan lain.
“Kalo ini gimana, beb?”
Dhea menunjuk mobil sedan warna merah menyala di belakang kami, dan gue sontak menoleh. Pilihannya persis sekali dengan kepribadiannya. Pemberani, dan petualang sejati karena dia suka travelling ke mana saja.
“Kamu juga bisa pake buat gonta-ganti kalo mau,” ujar Dhea setengah merajuk padaku.
Itu artinya, gue nggak perlu lagi basa-basi dan berdebat kusir soal mobil. Karena dia sudah naksir mobil itu. “Nggak. Buat kamu aja,” tepis gue lagi sambil mengulum senyum gue dan menggenggam kedua pipinya yang kini merona. “Ya, udah. Yang ini ya. Nanti aku tanya-tanya dulu sama owner-nya. Mudah-mudahan besok udah bisa dianter ke apartemen kamu.”
Dhea mengangguk dengan ekspresi senang sekali, dan gue ikut bahagia. Bukan karena dia tiba-tiba merangkul lengan gue dengan manja di depan orang banyak, tapi gue bahagia kalau lihat dia senang begini.
Sebelum pulang, gue lihat Dhea lagi cuap-cuap di depan mobil pilihannya dan langsung melambaikan tangan ke arah gue saat ponselnya sudah diturunkan dari wajahnya.
“Beb, lain kali jangan dadakan gini ya. Aku sampai bingung mau ngomong apa ke video aku yang baru. Tapi kayaknya aku bilang aja apa adanya ya, kalo aku mau beli mobil?”
Gue manggut-manggut setuju.
“Makasih, ya!”
“Iya, sayang. Aku kerja memang untuk kamu dan keluarga kita. Kamu nggak perlu terima kasih terus, kayak lagi belanja aja.”
Dhea langsung terkekeh. “Ya, nggak apa-apa. Terima kasih bukan cuma sekadar ke orang lain, 'kan?”
Gue mengangguk saja daripada Dhea yang memang selalu well scripted ini punya skenario-skenario di kepalanya untuk meneruskan jalan pikirannya sendiri ke gue.
“Orangtua aku pasti seneng banget denger kabar ini, sayang.”
Gue hanya mengukir senyum.
“Kamu tahu nggak, sebenernya aku udah bilang kalo kamu bukan cuma pacar tapi calon tunangan aku.”
“Oh, ya?”
Dhea mengangguk sambil terkekeh menatap gue dengan penuh cinta. “Nggak apa-apa, 'kan, aku ngomong gitu?"
“Nggak apa-apa banget, sayang,” jawab gue ikut terkekeh. Karena gue senang banget kalau dia berharap seperti itu.