IBU berseri-seri banget waktu gue ceritain siapa Dhea. Karena dia seperti melihat cerminannya sewaktu masih muda dulu. Punya beberapa saudara, dan dia yang paling tua harus bisa diandalkan oleh keluarganya saat dia masih kuliah jurusan Ekonomi di UI dan kerja part time di salah satu restoran cepat saji. Bahunya harus lebih kuat dari adik-adiknya sebelum dia ketemu ayah yang jadi seniornya di kampus.
Nggak heran, Levi ditempa lebih keras dari gue saat ayah mau memenuhi keinginannya untuk bisa jadi mandiri di negeri orang. Karena pergi dari rumah, artinya dia harus bisa menyelesaikan masalahnya sendiri sebelum meminta bantuan ke ayah.
Persis seperti yang dialami Dhea sekarang. Semua masalahnya seakan harus diselesaikan sendiri. Karena sekarang ada gue yang mencintainya, Dhea jadi bisa memiliki sandaran yang lebih kuat.
“Iya, Bu. Semua demi konten aja kok ...,” jelas gue soal Dhea yang kegiatan kontennya sudah mulai dari bangun tidur sampai dia istirahat usai menekuni kegiatannya seharian. “...sampai kami aja ketawa bareng waktu di depan kasir, karena sebelumnya dia masih sempat-sempatnya ngerekam orang kasirnya yang jadi gugup lihat Dhea. Soalnya, mukanya familier di LivesMe, Bu.”
Ibu lagi-lagi tertawa renyah mendengar cerita gue. Karena memang dedikasi Dhea ke karir influencer-nya nggak main-main. Semua follower-nya yang hampir 300.000 itu sering berinteraktif dengan dia di LivesMe. Nggak semua, sih. Mungkin kurang lebih 20.000-nya. Menurut gue, itu sudah luar biasa. Tapi itu semua memang ada harga yang harus dibayar. Karena terkadang Dhea juga membeli follower, komen dan like. Bukan rahasia umum lagi soal itu, dan gue tahu juga kok. Dhea sudah menyisihkan dana untuk itu, dan…
Pengorbanannya untuk sampai ke sana, pun nggak hanya itu. Pendapatan dari endorse-nya juga terkadang habis hanya untuk menunjang penampilannya. Tapi nggak lama, biasanya Dhea langsung mendapat tawaran baru dari video-video menariknya yang di-upload setelah orang-orang melihat kelebihannya. Katanya, penampilan memang harus jadi modal utamanya. Gue sampai pernah bilang, selama dia nggak melanggar kaidah agama yang terlalu seksi, gue fine-fine saja. Yang penting, nama baiknya masih terjaga sampai kami menikah.
“Makanya, Bu. Aku harus dukung dia terus untuk tampil cantik setiap hari,” kata gue lagi.
Ibu mengangguk setuju. “Yang penting, cari uangnya dari jalan yang halal ya, Bar. Soal kamu mau dukung cita-cita dan pekerjaan dia, ya, Ibu setuju-setuju aja.”
“Iya dong, Bu.” Gue mengangguk. Sedangkan Levi yang hanya mendengarkan sambil makan nggak terlalu fokus kami ngobrol apa saja dari tadi. Dia cuma sesekali sibuk sama ponselnya sambil mengunyah nasi putih dan rendang terenak buatan ibu. Mungkin dia lagi sibuk balas chat-chat bosnya karena harus rekrut karyawan-karyawan baru di kantor medianya yang masih berkembang. Entahlah. Mukanya serius banget seolah gue baru saja kasih Dhea rumah dan dia nggak suka. Semoga saja memang cuma lagi ada masalah di kantornya.
Gue bisa seserius ini sama Dhea, karena dia bilang belum ada yang cocok sama hatinya sampai dia ketemu gue. Ya, gue hanya berusaha memenuhi kebutuhan dia kalau memang lagi butuh. Asalkan bukan rumah, dan satu-satunya mobil yang gue pakai ke kantor atau berobat sakit jantung Ibu ke rumah sakit.
Selama ini hubungan gue, Levi, dan ibu cukup dekat. Gue nggak sungkan sharing apa saja keseharian gue di kantor. Karena tinggal ibu yang gue punya di rumah ini, dan gue nggak mau kehilangan kesempatan buat ngobrol sama dia. Sampai ke hal-hal receh hubungan gue sama Dhea. Dia selalu senang dan antusias mendengarnya. Ibu juga baru tahu kalau zodiak kami sama-sama Gemini. Pantas saja gue langsung merasa klik sama Dhea. Karena kami sama-sama suka makan dan jalan-jalan.
“Kalo nanti aku sama Dhea udah siap, nanti aku kenalin sama orangtuanya ya, Bu.”
“Iya, sayang. Diatur aja. Ibu cuma bisa doain hubungan kamu sama dia bisa langgeng.”
Untuk kali pertama, Levi mengangguk sambil menatap kami berdua. “Semoga,” katanya.