LAGI seru-serunya ngobrol sama ibu di dapur sembari gue membantunya bawa makan malam kami ke meja karena Mbak Sumi masih cuci perlengkapan masak ibu di belakang kami, tiba-tiba Levi menghampiri gue dan menatap gue penasaran.
“Lo beli mobil lagi, Bar?”
Gue kaget banget dengar pertanyaan Levi. Kok dia tahu? Soalnya gue belum ajak Dhea ke sini untuk ketemu ibu atau Levi, karena Dhea lebih sering pergi ke kafe atau tempat-tempat lain yang menarik untuk dijadikan tempat nongkrongnya membuat story, video atau foto-foto untuk mengisi feeds-nya. Seketika gue melirik ponsel gue yang tadi bunyi ternyata masih ada di meja makan, dan dia lagi duduk di sebelah gue tadi. Pasti nggak sengaja lihat layar ponsel gue, karena gue taruh persis di samping piring makannya. “Iya.”
“Buat apaan?”
“Cuma minjemin buat Dhea kok. Biar dia bisa ke mana-mana gampang. Gue khawatir juga kalau dia harus turun-naik bis atau angkot kalau mau syuting bikin konten ke mana-mana. Soalnya, mobilnya udah dipakai orangtuanya ke Bandung.”
“Ooh, royal banget lo sampai berani nyicil BMW lagi!?”
Gue hanya meringis dan mengernyit. Gue nggak heran kenapa dia bisa tahu. Mungkin dia lihat notifikasi di ponsel gue juga tadi. Tapi bukannya dia tahu kalau gue punya gaji yang lumayan dan nggak masalah kalau cuma nambah satu mobil aja? Garasi di rumah ini juga muat untuk empat mobil. Jadi, mobil Dhea masih bisa parkir kalau kami sudah nikah dan tinggal bareng mereka di sini. “Biasa aja kali, Lev,” seru gue.
“Nggak. Cicilannya juga murah kok. Gue masih sanggup. Lagian dia bakal jadi calon istri gue juga. Lo nggak perlu khawatir tuh mobil dibawa kabur.”
“Iya, nggak gitu juga, Bar. Gue nggak mikir ke situ.”
Gue cuma bisa menenangkan hati kakak gue dengan alasan itu. Memang dari dulu dia selalu diam-diam memerhatikan gue dan ibu.
“Tapi lo udah hitung-hitung lagi bulanannya, Bar? Yakin bisa sampai lunas?”
“Soal itu biar jadi urusan gue, Bar. Lo nggak perlu pusing,” seru gue bersikeras dan berharap perdebatan kecil ini berakhir. Gue juga nggak pernah minta-minta ke Levi, jadi seharusnya dia berhenti mengusik masalah cicilan ini. Lagi pula ini bukan masalah yang harus dia hadapi.
“Iya, sih. Tapi lo yakin harus sampai segitunya? Bukannya lo baru kenal?
“Yang penting gue sama Dhea udah berkomitmen untuk serius, Lev. Bukan dinilai dari kami yang baru kenal.”
“Ya, udah. Gue cuma mau ngingetin, jangan ada rahasia di antara kita. Lo tahu kita cuma tinggal bertiga di rumah ini, dan ibu ada riwayat sakit jantung. Gue ngomong gini biar lo bisa lebih hemat aja. Soalnya, tabungan lo bisa jadi dana darurat juga kalo kita butuh.”
“Ya, ya, ya. Soal itu gue paham kok. Tenang aja. Gue masih punya cadangan kok.”
“Oke.”
Levi hanya mengangguk paham, dan gue lega juga karena kalau dia semakin tertarik malah semakin panjang obrolan kami malam ini. Gue mau makan sambil lihat Dhea di LivesMe-nya. Waktu jalan-jalan di pantai beberapa hari lalu, dia terlihat cantik banget dan gue nggak sabar bisa lihat posts atau reels-nya. Karena dia bilang semalem mau update hari ini.
Begitu LivesMe Dhea terbuka, Damn! She’s so pretty! Nggak henti-hentinya gue mengagumi dia sampai lupa nyuapin nasi gue yang sudah mulai dingin di piring.