Cinta Sampai Mati

Nakshatra B.
Chapter #11

11

~ Melihat dia bahagia adalah satu dari sejuta harapan gue. Kenapa masih saja ada yang bilang salah kalau gue mau membuktikan cinta gue lebih besar dari yang orang lain nilai? ~


~ POV. Barra ~


LAGI seru-serunya ngobrol sama ibu di dapur sembari gue membantunya bawa makan malam kami ke meja karena Mbak Sumi masih cuci perlengkapan masak ibu di belakang kami, tiba-tiba Levi menghampiri gue dan menatap gue penasaran.

“Lo beli mobil lagi, Bar?”

Gue kaget banget dengar pertanyaan Levi. Kok dia tahu? Soalnya gue belum ajak Dhea ke sini untuk ketemu ibu atau Levi, karena Dhea lebih sering pergi ke kafe atau tempat-tempat lain yang menarik untuk dijadikan tempat nongkrongnya membuat story, video atau foto-foto untuk mengisi feeds-nya. Seketika gue melirik ponsel gue yang tadi bunyi ternyata masih ada di meja makan, dan dia lagi duduk di sebelah gue tadi. Nggak heran dia bisa lihat layar ponsel gue, karena gue taruh persis di samping piring makannya. “Iya,” jawab gue nggak bisa mengelak lagi.

“Buat apaan?”

“Biar Dhea bisa ke mana-mana sendirian. Gue khawatir juga kalau dia harus turun-naik bis atau angkot kalau mau syuting bikin konten. Soalnya, mobil dia udah dipakai orangtuanya ke Bandung. Gue juga ada kerjaan lain, bukan supirnya.”

“Yang bilang lo supirnya siapa?” Levi terkekeh heran menatap gue. “Tapi lo royal banget sampai berani nyicil mobil lagi!? Dapet bonus gede ya?” cecarnya lagi, dan gue cuma bisa tertawa dan mengernyit heran.

Bukannya Levi tahu kalau gue punya gaji yang lumayan dan nggak masalah kalau cuma nambah satu mobil aja? Garasi di rumah ini juga muat untuk empat mobil. Jadi, mobil Dhea masih bisa parkir kalau kami sudah nikah dan tinggal bareng mereka di sini.

“Biasa aja kali, Lev,” seru gue. “Cicilannya juga murah. Cukuplah dengan gaji gue.”

“Iya, deh! Yang udah dua digit gajinya. Emang keren lo, Bar!” seru Levi.

“Iya, dong! Dhea juga bakal jadi calon istri gue. Lo nggak perlu khawatir tuh mobil dibawa kabur.”

Levi terkekeh lagi. “Kabur ke hati lo kali!”

Gue mencelos mendengar candaannya. Gue memang cuma bisa menenangkan hati kakak gue dengan alasan itu. Karena dari dulu dia selalu diam-diam memerhatikan gue dan ibu.

“Tapi lo udah hitung-hitung lagi bulanannya, Bar? Yakin bisa sampai lunas?”

“Itu urusan gue, Lev. Lo nggak perlu pusing,” seru gue bersikeras dan berharap perdebatan kecil ini berakhir. Gue juga nggak pernah minta-minta ke Levi, jadi seharusnya dia berhenti mengusik masalah cicilan ini. Lagi pula ini bukan masalah yang harus dia hadapi.

“Iya. Tapi bukannya lo baru kenal?”

“Cinta jangan diukur pakai waktu, Lev. Yang penting, komitmen. Mau berapa lama lo pacaran sama cewek, ujungnya lo putus juga, kan?” lempar gue balik. Karena gue tahu Levi pernah beberapa kali pacaran lama juga, dan nggak ada yang jadi sampai sekarang.

“Ya, udah. Gue cuma mau ngingetin, jangan ada rahasia di antara kita.”

Gue mencelos dengan tawa renyah. “Kayak mau bikin lirik lagu lo!?” ceplos gue.

“Ya, lo tahu kita cuma tinggal bertiga di rumah ini, dan ibu ada riwayat sakit jantung. Siapa lagi yang bisa dia andalkan kalau bukan kita? Tabungan lo bisa jadi dana darurat juga kalau kita butuh, Bar.”

“Ya, ya, ya.” Gue melengos, malas lihat tatapan curiga Levi lagi. “Soal itu gue paham. Tenang aja. Gue masih punya cadangan.”

“Oke. Tapi kalau cinta Dhea ke lo itu sebening embun, harusnya lo nggak perlu nyicil mobil lagi, Bar. Soalnya kalau tabungan lo jebol, lo mau nambal pake apaan?”

Gue tertawa renyah saja. “Gak bisa lihat orang seneng lo, Lev.”

Lihat selengkapnya