~ POV. Dhea ~
Apartemen Dhea...
"SERIUS?"
Aku terkekeh. Siang ini aku baru saja menceritakan ke Saskia lewat WhatsApp soal kejutan yang diberikan Barra padaku dan dia langsung menghubungiku karena penasaran dengan cerita lengkapnya. Aku bahagia sekali mendengar Saskia terdengar begitu antusias saat tahu soal itu. “Iya, Sas! Gue kaget banget dia tiba-tiba kasih gue mobil!” seruku penuh semangat. Sikap Barra memang begitu romantis.
Tapi sekarang ini cuma Saskia yang aku percaya untuk mendengar ceritaku, selain tentunya adik-adikku. Suka-dukaku tinggal di Jakarta, mereka sudah tahu. Soalnya Saskia juga penasaran kenapa aku bisa meninggalkan kota Bandung. Sisi keras kepalaku dulu memang ingin keluar dari zona nyaman agar kehidupan aku dan keluargaku bisa jadi lebih baik dan aku memutuskan untuk menjadi konten kreator.
Dulu, aku sempat berharap bisa bertemu kekasih seperti Barra. Makanya aku senang sekali waktu Saskia ngajak kenalan di LivesMe walau aku nggak berharap bisa jadi teman baiknya. Sekarang kami jadi sering makan siang bareng sampai aku tahu kalau dia mau tunangan sama Rexy.
“Dia baik banget ya! Nggak kayak Rexy. Ke mana-mana aja, gue disuruh naik taksi kalo lagi males bawa mobil sendiri. Untung gue sayang.”
Aku cuma bisa cekikikan mendengar cerita Saskia. Orangtua Saskia memang nggak membebaskan Saskia untuk pergi ke mana-mana sendirian tanpa supir. Aku maklum kalau dia begitu diperhatikan sampai seperti itu, karena dia satu-satunya anak tunggal mereka. Sedangkan aku harus berjuang demi keluargaku di kota ini.
“Berarti si Barra cinta mati banget ya sama lo, Dhe.”
Pendapat Saskia sepertinya tepat sekali. Soalnya aku nggak pernah sadar kalau Barra sudah jadi pengikutku di LivesMe sejak lama. Mungkin sekitar beberapa tahun yang lalu, karena aku lihat post-ku yang paling lama saja dia sudah ada komentar di sana. Aku lebih sering melihat pujian darinya dan seringkali membelaku dari komen-komen haters-ku. Duniaku memang nggak sesederhana dunia Barra yang hanya berkutat di kantor atau mengatur perjalanan klien-kliennya tanpa perlu berurusan dengan para haters sedunia.
“Aamiin, Sas,” kataku semringah.
“Terus, kapan kalian nyusul?” tanya Saskia.
Aku hanya tersenyum malu-malu mendengar pertanyaannya yang begitu antusias dan nggak sabar. “Doain aja ya. Gue nggak pengin buru-buru sih. Lo tahu gimana kerjaan gue, keluarga gue, adik-adik gue. Semuanya masih berharap sama gue, dan gue cuma bisa ngarepin kerjaan gue yang nggak jelas setiap bulan ini.”
“Mudah-mudahan Barra bisa jadi calon suami yang tepat untuk lo, Dhe. Dia kelihatannya udah mapan. Tunggu apa lagi? Ya, nggak, sih?”
“Iya, iya,” sahut gue sambil terkekeh.