Cinta Sampai Mati

Nakshatra B.
Chapter #17

17

~ Setiap pilihan memang selalu ada konsekuensinya, dan Dhea adalah orang yang tepat untuk dicintai. Mereka harus tahu, menjadi kekasihnya adalah pilihan terbaik buat gue yang sudah terlalu sering lihat orang bisa bahagia bersama kekasihnya. Kenapa gue nggak bisa? ~

 

~ POV. Barra ~


BIAR gue pikir lagi gimana caranya supaya uang untuk nikah ini nggak terpakai banyak. Gue lagi-lagi buka dompet dan meyakinkan kalau sisa uang gue nggak cuma 200 ribu di dompet. Tapi ternyata memang tinggal segitu. Kalau gue cek slip ATM kali terakhir gue ambil uang…

“Kenapa? Duit lo habis?” tanya Levi mengejutkan gue, dan gue langsung buru-buru menutup dompet gue.

Astaghfirullah! Kaget gue! Sejak kapan dia berdiri di pojok TV? Gue menatapnya heran sambil buru-buru tutup dompet gue lagi dan menaruhnya di saku celana. “Lo ngapain di situ?” tanya gue acuh tak acuh. Malas juga jawab pertanyaannya tadi. Karena gue baru saja masuk ke rumah, dan gue pikir lagi nggak ada siapa-siapa. Gue benar-benar nggak nyangka dia bisa langsung nembak gue dengan pertanyaan seperti itu.

“Yang jelas, gue lagi nggak pusing mikirin hal-hal yang nggak bisa gue perbaiki, Bar,” seru Levi tambah sarkastik.

Kenapa dia jadi mendadak ngelawak begini sih? Dahi gue hanya mengernyit. Gue nggak paham kenapa dia ngomong seperti itu. Apa dia lagi menyindir hutang-hutang gue yang nggak bisa gue selesaikan dalam waktu semalam? Bibir gue mendengus.

“Gimana lo sama Dhea? Baik-baik aja? Butuh bantuan nggak?”

Manis bener itu pertanyaan terakhir. Tumben-tumbenan mau bantu perkara pernikahan. Waktu sodara jauh dari Papa mau nikah dua tahun yang lalu saja dia ogah turun tangan, dan mau datang langsung pakai blankon saja tanpa fitting-fitting segala. Gue yang harus repot kirim blazer dia ke tukang jahit dari keluarga. “Iya. Alhamdulillah baik-baik aja,” jawab gue singkat. Sambil lepas dan taruh sepatu gue ke tempat sepatu dekat pintu, gue lihat Levi masih menatap gue penasaran. “Kalau gue sama Dhea udah mulai ngurus, gue kabarin.”

“Lo udah mantep mau nikah sama dia?” tanya Levi seolah pertanyaan itu memang patut dilontarkan malam ini.

Gue mengernyit. “Iyalah. Kenapa lo nanya gitu?”

Levi meringis saat menatap gue. “Gue kira lo masih mau berubah pikiran. Soalnya seseorang nggak mungkin berubah atau mengubah prinsip hidupnya dalam waktu sekejap mata, Bar.”

“Kenapa lo bisa ngomong gitu?” Sampai dunia berputar kebalik, kayaknya gue nggak mungkin ditinggalin Dhea juga. Kami saling mencintai kok. Kenapa Levi berharap gue mengubah pikiran untuk mencintai gadis itu? Apa hanya karena gue baru pacaran seserius ini, dia menganggap hubungan gue sama Dhea serapuh pikirannya sekarang? Tahu apa dia soal prinsip hidup Dhea? Selama ini mereka juga jarang ketemu dan ngobrol bareng, karena dia nggak menyediakan waktu dan keinginan untuk itu juga.

“Ya, kali aja lo merasa berat gitu buat nikah sama Dhea.”

Berat soal apa? Perasaan atau uang? Kalau perasaan jelas gue lebih berat ke Dhea daripada pendapatnya sekarang. Sementara uang habis masih bisa dicari lagi. Apanya yang berat untuk mencintai seseorang setulus perasaan kami sekarang? Setiap pilihan memang selalu ada konsekuensinya, dan Dhea adalah orang yang tepat untuk dicintai. Mereka harus tahu, menjadi kekasihnya adalah pilihan terbaik buat hidup gue yang selalu sepi.

“Nggak juga, sih,” jawab gue seringan kapas.

“Trus, apa yang lo lihat dari dia, Bar? Bodinya, parasnya, apa akhlaknya? Astaghfirullah! Ini ujian. Gue cuma berharap lo bisa lulus ujian, Bar,” cecar Levi begitu penasaran sambil menatap gue lekat. Entah kenapa gue lihat kilat matanya yang sedikit heran dan bukan hanya sekadar mempertanyakan kenapa gue bisa suka sama Dhea.

“Dia itu cewek termandiri yang pernah gue temuin, Lev,” jawab gue apa adanya.

“Salut gue.” Levi mengangguk paham sambil menatap gue lekat. “Tapi dia masih tergantung sama lo, kan?” tanyanya lagi.

Lihat selengkapnya