BIAR gue pikir lagi gimana caranya supaya uang untuk nikah ini nggak terpakai banyak. Gue lagi-lagi buka dompet dan meyakinkan kalau sisa uang gue nggak cuma 200 ribu di dompet. Kalau gue cek slip ATM kali terakhir gue ambil uang…
“Kenapa? Duit lo habis?” tanya Levi mengejutkan gue, dan gue langsung buru-buru menutup dompet gue.
Astaghfirullah! Kaget gue! Sejak kapan dia berdiri di pojok TV? Gue menatapnya heran sambil buru-buru tutup dompet gue lagi dan menaruhnya di saku celana. “Lo ngapain di situ?” tanya gue acuh tak acuh. Malas juga jawab pertanyaannya tadi. Karena gue baru saja masuk ke rumah, dan gue pikir lagi nggak ada siapa-siapa. Gue benar-benar nggak nyangka dia bisa langsung nembak gue dengan pertanyaan seperti itu.
“Lo yang ngapain, jalan nggak lihat-lihat! Mau nyium tembok,” seru Levi tambah sarkastik.
Daripada cium dinding putih rumah kami ini, lebih baik gue kecup bibir Dhea ke mana-mana deh. Astaghfirullah! Gue sama Dhea ‘kan, masih belum halal. Bisa-bisanya gue mengkhayal indah duluan. Kenapa dia jadi mendadak ngelawak begini sih? Dahi gue hanya mengernyit.
“Gimana lo sama Dhea? Baik-baik aja? Cewek lo udah siap buat nikah sama lo? Butuh bantuan nggak?”
Manis bener itu pertanyaan terakhir. Tumben-tumbenan mau bantu perkara pernikahan. Waktu sodara jauh dari Papa mau nikah dua tahun yang lalu saja dia ogah turun tangan, dan mau datang langsung pakai blankon saja tanpa fitting-fitting segala. Gue yang harus repot kirim blazer dia ke tukang jahit dari keluarga. “Iya, Alhamdulillah dia baik-baik aja,” jawab gue singkat. Sambil lepas dan taruh sepatu gue ke tempat sepatu dekat pintu, gue lihat Levi masih menatap gue penasaran. “Kalo gue sama Dhea udah mulai ngurus, gue kabarin.”
“Lo udah mantep mau nikah sama dia ya?” tanya Levi seolah pertanyaan itu memang patut dilontarkan malam ini.
Gue mengernyit. “Iyalah. Kok lo nanya gitu?”
Levi meringis saat menatap gue. “Gue kira lo masih mau berubah pikiran.”
“Kenapa lo bisa ngomong gitu?” Sampai dunia berputar kebalik, kayaknya gue nggak mungkin ditinggalin Dhea juga. Kami saling mencintai kok. Kenapa Levi berharap gue mengubah pikiran untuk mencintai gadis itu? Apa hanya karena gue baru pacaran seserius ini, dia menganggap hubungan gue sama Dhea serapuh pikirannya sekarang?
“Ya, kali aja lo merasa berat gitu buat cepet-cepet nikah sama Dhea.”
Berat soal apa? Perasaan atau uang? Kalau perasaan jelas gue lebih berat ke Dhea daripada pendapatnya sekarang. sementara uang habis masih bisa dicari lagi. Apanya yang berat untuk mencintai seseorang setulus perasaan kami sekarang? “Nggak juga, sih,” jawab gue seringan kapas.
“Trus, apa yang lo lihat dari dia, Bar?” cecar Levi begitu penasaran sambil menatap gue lekat. Entah kenapa gue lihat kilat matanya yang sedikit heran dan bukan hanya sekadar mempertanyakan kenapa gue bisa suka sama Dhea dengan tanpa rasa yang sulit sekali gue artikan sekarang.
“Dia itu cewek termandiri yang pernah gue temuin, Lev,” jawab gue apa adanya.
Levi mengangguk paham. “Tapi dia masih tergantung sama lo, kan?” tanyanya lagi.
Gue tertohok. Levi nggak salah. Tapi kayaknya gue harus meluruskan pandangannya. “Ya, iyalah, Lev. Emang dia harus tergantung sama cowok lain? Gue kan, calon suaminya.”
Levi tersenyum tipis.