GUE masih ingat waktu memilih jurusan pariwisata di kampus swasta di Jakarta dan Levi lebih milih jurusan Public Relation di salah satu universitas asing di Australia. Levi selalu meledek gue lebih senang bisa tetap ada di ketiak ibu daripada bertualang kayak dia. Nggak heran, dia hidup lebih bebas daripada gue.
Karena itu, gue nggak terlalu dekat sama Levi lagi sejak kami lulus SMA dan dia memerhatikan gue lagi waktu dia sudah kembali ke Indonesia karena dia diterima kerja di kantor Pajak yang ada di Sudirman.
Ibu sudah menganjurkan dia cari kerjaan tetap di Melbourne saja, tapi gue tahu kalau sebenarnya Levi ingin tinggal dekat ibu semenjak ayah sudah nggak ada. Soalnya, waktu dia masih kerja serabutan di Sydney, dia seringkali telepon ke rumah untuk menanyakan keadaan ibu dan mengiriminya uang juga. Soalnya, gaya hidup dia memang nggak pernah berbanding terbalik dengan pendapatannya.
Kalau dengar cerita dari Dhea, keluarganya nggak pernah ada yang keluar negeri tapi dia senang sekali jalan-jalan. Seinget gue, Dhea juga pernah bilang kalau hobinya itu menurun dari Mamanya yang nggak pernah bisa betah di rumah meski Mamanya cuma ibu rumah tangga, dan Papanya hanya karyawan swasta yang sudah pensiun.
Dhea pernah bilang kalau kesehariannya sebelum ketemu gue nggak pernah ada satu hari pun terlewat tanpa jalan-jalan. Gue juga tahu karena dia selalu post tempat-tempat yang baru atau pernah gue lihat dan beberapa klien yang terpaksa gue follow LivesMe-nya pernah datang ke tempat wisata atau kafe dan restoran yang dikunjungi Dhea juga. Jadi, setiap post terbarunya selalu berbeda lokasi.
Tapi gue belum banyak cerita ke ibu soal keluarga Dhea, karena gue sendiri sudah pusing soal kerjaan kalau sudah pulang ke rumah dan nggak kepikiran lagi untuk sharing soal keluarganya. Mungkin malam ini waktu yang tepat untuk saling berbagi informasi untuk menyatukan kedua keluarga kami nanti. Karena sampai sekarang gue juga belum sempat ketemu orangtuanya.
“Jadi kapan orangtua kamu pulang?” tanya Ibu.
“Awal bulan depan, Tante. Maaf, ya. Baru bisa ketemu Tante hari ini,” ujar Dhea setelah memperkenalkan diri ke ibu.
“Iya, nggak apa-apa. Tante tahu kamu udah banyak pekerjaan. Pasti capek, harus bikin konten setiap hari.”
Dhea mengulum senyum dan mengangguk.
Sementara Levi dari tadi mengunyah daging Wagyunya seperti orang kelaparan saja. padahal dia yang nyuruh gue buat ajak Dhea ketemu ibu. Tapi kayaknya memang lebih baik dia makan saja dulu daripada banyak bicara sampai Dhea bete lagi seperti waktu kami bertemu di restoran Jepang yang ada di Sudirman waktu itu.
“Bu, rencananya …,” sebelum gue ngomong tiba-tiba Levi berdeham.
“Orangtuanya setuju?”
Gue sontak melirik ke Dhea, tapi dia hanya menatap gue tanpa jawaban. Hubungan dan rencana pernikahan kami sudah seperti prematur mendengar pertanyaan Levi tadi. Kami pasti terlihat bingung di mata Levi, karena gue memang belum ngomong langsung ke orangtuanya.
Tak lama, Dhea langsung mengukir senyum sembari kembali menatap Levi. “Mama sama Papa tahu kok aku sama Barra memang udah nggak mau main-main lagi dan mereka setuju kalau aku sama Barra menikah. Makanya sekarang aku sama Barra tinggal meminta doa restu dari Ibu sama Kak Levi aja.”
Oh ya!? Gue lega dengarnya meskipun ini kali pertama gue mendengar soal itu. Gue cepat mengangguk setuju. Dhea memang tahu kalau ayah gue sudah meninggal. Jadi, kami cuma perlu ketemu ibu sama Levi.
Beberapa hari ini gue juga sudah membahas soal persiapan nikah kami. Dari foto prewedding, lokasi gedung, baju adat yang akan kami pilih, dan urusan-urusan penting lainnya yang masih perlu dibahas antar keluarga kami nanti.
“Ibu juga merestui hubungan kalian asal kalian bahagia. Ya!?”
“Alhamdulillah,” seru gue dan Dhea dengan raut wajah sama-sama bahagia, dan mengangguk serentak sambil mengucapkan terima kasih yang tak terhingga. Lalu kami kembali melahap santapan makan siang kami. “Nanti aku kasih tahu kontak wedding organizer kami ya, Bu, Lev. Siapa tahu kalian mau tanya-tanya, bisa langsung hubungi dia soal vendor mana aja yang sedang kami pilih-pilih dan kami terbuka sama masukan kok,” seru gue kemudian.
Dhea ikut mengangguk, dan kembali mengunyah makanannya.
“Oke, sayang,” seru Ibu.
“Kalian nikah sederhana aja atau mau kayak ala-ala artis gitu?” tanya Levi memecah hening.
Dhea langsung terbatuk-batuk, dan gue buru-buru mengusap pundaknya. “Kamu nggak apa-apa?” tanya gue khawatir. Apa dia tersedak gara-gara pertanyaan Levi? Kayaknya itu pertanyaan umum dan sudah biasa ditanyakan. Jadi, nggak ada yang aneh juga.
“Maaf. Aku kepedesan,” ujar Dhea sedikit terkekeh.