GUE masih ingat waktu memilih jurusan pariwisata dan Levi lebih milih jurusan Public Relation di Universitas Monash, Australia. Gue lebih senang bisa tetap ada di ketiak ibu daripada bertualang kayak Levi. Dia hidup lebih bebas daripada gue, karena itu gue nggak terlalu dekat sama dia lagi sejak kami lulus SMA dan dia memerhatikan gue lagi waktu dia sudah kembali ke Indonesia karena dia diterima kerja di kantor Pajak yang ada di Sudirman. Ibu sudah menganjurkan dia kerja di negara itu saja, tapi Levi ingin tinggal dekat ibu karena ayah sudah nggak ada.
Kalau dengar cerita dari Dhea, keluarganya nggak pernah ada yang sekolah jauh seperti Levi tapi dia sendiri sudah senang jalan-jalan sejak kecil. Katanya, hobinya itu menurun dari Mamanya yang nggak pernah bisa betah di rumah meski Mamanya cuma ibu rumah tangga, dan Papanya hanya karyawan swasta.
Dhea pernah bilang kalau kesehariannya sebelum ketemu gue nggak pernah ada satu hari pun terlewat tanpa jalan-jalan. Gue juga tahu karena dia selalu post tempat-tempat yang baru atau pernah gue lihat karena beberapa klien yang terpaksa gue follow Instagram-nya pernah datang ke tempat wisata atau kafe dan restoran yang dikunjungi Dhea juga.
Tapi gue belum banyak cerita ke ibu soal keluarga Dhea, karena gue sendiri sudah pusing soal kerjaan kalau sudah pulang ke rumah dan nggak kepikiran lagi untuk sharing soal keluarganya. Mungkin malam ini waktu yang tepat untuk saling berbagi informasi untuk menyatukan kedua keluarga kami nanti. Karena sampai sekarang gue juga belum sempat ketemu orangtuanya.
“Jadi kapan orangtua kamu pulang?” tanya Ibu.
“Awal bulan depan, Tante. Maaf, ya. Baru bisa ketemu Tante hari ini,” ujar Dhea setelah memperkenalkan diri ke ibu.
“Iya, nggak apa-apa. Tante tahu kamu udah banyak pekerjaan. Pasti capek, harus bikin konten setiap hari.”
Dhea mengulum senyum dan mengangguk.
Sementara Levi dari tadi mengunyah daging Wagyunya seperti orang kelaparan saja. padahal dia yang nyuruh gue buat ajak Dhea ketemu ibu. Tapi kayaknya memang lebih baik dia jadi memamah biak dulu daripada banyak bicara sampai Dhea bete lagi kayak waktu di restoran Jepang Kamikaze waktu itu.
“Bu, rencananya …,” sebelum gue ngomong tiba-tiba Levi berdeham.
“Orangtuanya setuju?”
Gue sontak melirik ke Dhea, tapi dia hanya menatap gue tanpa jawaban. Hubungan dan rencana pernikahan kami sudah seperti prematur mendengar pertanyaan Levi tadi. Kami pasti terlihat bingung di mata Levi, karena gue memang belum ngomong langsung ke orangtuanya.
Tak lama, Dhea langsung mengukir senyum sembari kembali menatap Levi. “Mama sama Papa tahu kok aku sama Barra memang udah nggak mau main-main lagi dan mereka setuju kalau aku sama Barra menikah. Makanya sekarang aku sama Barra tinggal meminta doa restu dari Ibu sama Kak Levi aja.”
Oh ya!? Gue lega dengarnya meskipun ini kali pertama gue mendengar soal itu. Gue cepat mengangguk setuju. Dhea memang tahu kalau ayah gue sudah meninggal. Jadi, kami cuma perlu ketemu ibu sama Levi.
Beberapa hari ini gue juga sudah membahas soal persiapan nikah kami. Dari foto prewedding, lokasi gedung, baju adat yang akan kami pilih, dan urusan-urusan penting lainnya yang masih perlu dibahas antar keluarga kami nanti.
“Ibu juga merestui hubungan kalian asal kalian bahagia. Ya!?”
“Alhamdulillah,” seru gue dan Dhea dengan raut wajah sama-sama bahagia, dan mengangguk serentak sambil mengucapkan terima kasih yang tak terhingga. Lalu kami kembali melahap santapan makan siang kami. “Nanti aku kasih tahu kontak wedding organizer kami ya, Bu, Lev. Siapa tahu kalian mau tanya-tanya, bisa langsung hubungi dia soal vendor mana aja yang sedang kami pilih-pilih dan kami terbuka sama masukan kok,” seru gue kemudian.
Dhea ikut mengangguk, dan kembali mengunyah makanannya.
“Oke, sayang,” seru Ibu.
“Kalian nikah sederhana aja atau mau kayak ala-ala artis gitu?” tanya Levi memecah hening.
Dhea langsung terbatuk-batuk, dan gue buru-buru mengusap pundaknya. “Kamu nggak apa-apa?” tanya gue khawatir. Apa dia tersedak gara-gara pertanyaan Levi? Kayaknya itu pertanyaan umum dan sudah biasa ditanyakan. Jadi, nggak ada yang aneh juga.
“Maaf. Aku kepedesan,” ujar Dhea sedikit terkekeh.
Gue mengangguk paham. “Iya, sayang. Sausnya jangan dimakan lagi ya. Kentangnya aja,” sahut gue. Karena dia sudah memesan Blackpepper Sirloin Steak juga untuk makan siang kami. Sedangkan ibu pesan nasi Bali.