Cinta Sampai Mati

Nakshatra B.
Chapter #15

15

4 April, 2024

Sudestada, Jakarta Pusat…


AKHIRNYA orangtua Dhea pulang Umroh semalam dan hari minggu ini gue bisa ngundang mereka ke Jakarta untuk makan bareng sekaligus memberitahu keseriusan hubungan gue sama Dhea. Gue menarik napas dalam-dalam sembari menatap kedua orangtua Dhea yang kini melihat gue dengan raut serius. Guratan halus di dahi Papa Dhea nampak nggak sabar menanti kata-kata puitis dari gue. Tapi gue nggak bisa meromantisasi permintaan gue ke mereka untuk meminang anaknya. Jadi, gue akan langsung bilang saja sekarang daripada jantung gue copot sekarang karena debarannya makin terasa sampai ke dada gue.

“Saya, Barra Bimantara, Om, Tante. Maaf kalau saya dan Dhea belum sempat ke Bandung untuk ketemu Om sama Tante.” Hari ini memang giliran gue yang minta maaf ke orangtua Dhea. Nasib punya hubungan sama Dhea yang usianya lebih muda dan sibuk dengan kegiatannya, mau nggak mau gue harus mengikuti jadwalnya juga. Karena sebenarnya gue bisa kapan saja pergi ke Bandung dan meminta izin ke orangtuanya kalau gue mau serius sama Dhea.

“Iya, nggak apa-apa. Om sama Tante tahu Dhea juga punya kerjaan di sini.”

Gue mengangguk lega. Karena semenjak menjalin hubungan sama Dhea, gue belum sempat memperkenalkan diri secara formal seperti sekarang. Dhea juga bilang kalau gue nggak perlu buru-buru untuk ketemu atau ngobrol sama orangtuanya. Karena apa pun keputusannya, mereka pasti akan mendukung. Sungguh demokratis. Gue terharu waktu mendengarnya. Karena ternyata keluarganya juga seharmonis itu.

“Iya, Tante. Makanya saya mengundang Om sama Tante ke sini karena saya mau memberitahu kalau saya dan Dhea memang sudah memutuskan untuk menikah,” sahut gue sambil menatap Dhea yang duduk di antara orangtuanya. Gue grogi banget malam ini. Karena gue baru pulang kantor dan Dhea tiba-tiba ngabarin kalau hari ini gue bisa langsung ketemuan sama mereka yang kebetulan sudah datang ke Jakarta. Gue bahkan nggak sempat lagi ganti baju yang lebih formal untuk bahas hal seserius ini.

“Iya-iya. Kami sudah dengar dari Dhea waktu kami lagi Umroh.”

Gue langsung terkekeh mendengar ucapan Papa Dhea. Sebenarnya gue tahu kalau mereka sudah mendengar niat gue ini. Gue cuma bingung dan grogi harus ngomong apa lagi selain minta doa restu ke mereka.

“Maaf ya, Bar. Kamu jadi nunggu lama,” sahut Mama Dhea sambil mengukir senyumnya yang sama cantiknya seperti Dhea.

“Ooh, iya, nggak apa-apa, Tante,” tukas gue yang sempat pangling karena Mama Dhea juga memliki kulit wajah yang putih dan halus seperti bayi. Kecantikan Dhea memang menurun dari ibunya.

“Sebentar lagi kamu sama Dhea ‘kan bakal jadi suami-istri. Nggak usah sungkan lagi kalo mau main ke Bandung ya. Pintu rumah Om dan Tante selalu terbuka untuk kalian.”

Papa Dhea hanya mengangguk setuju mendengar sahutan istrinya dan gue ikut manggut-manggut sambil tersenyum. “Baik, Om, Tante,” ucap gue.

Hatur nuhun ya, Bar. Om geus bahagia kamu sama Dhea udah serius mau nikah. Tapi kapan tanggalnya?” tanya Papa Dhea dengan logat Sundanya yang agak kental.

“Soal itu kami belum memutuskan, Om,” sahut gue. Apa gue mulai nggak percaya diri karena uang gadai yang sudah gue pakai? Nggak-nggak. Gue harus yakin kalau hubungan gue sama Dhea pasti sampai ke pernikahan. Kami tinggal mempersiapkannya saja. Nggak sulit kok. Tinggal selangkah lagi Dhea dan gue bisa naik ke bangku pelaminan. Hanya saja, dari kemarin-kemarin Dhea memang lagi cari tempat untuk foto pre-wedding kami, dan belum nentuin tanggalnya meski gue sudah mengingatkan dia untuk cari hari yang pas untuk pernikahan kami nanti.

“Aku sama Barra masih mau foto-foto pre-wedding dulu kok, Ma, Pa. Nanti kalo semua vendornya udah jelas, aku langsung kasih tahu nanti.”

Gue lega Dhea bisa langsung menjelaskannya.

Lihat selengkapnya