Cinta Sampai Mati

Nakshatra B.
Chapter #20

20

~ Gara-gara kegiatan kami, komunikasi gue dengan orangtua Dhea jadi berkurang. Tapi selama cinta kami selalu pengertian, orangtuanya pasti tetap merestui, kan? Semoga netizen juga ikut mendoakan cinta kami. ~

 

~ POV. Barra ~


10 Maret 2024, Jakarta Pusat

AKHIRNYA gue dapat kabar kalau orangtua Dhea pulang Umroh semalam. Karena bulan Februari-Maret tahun ini, kantor gue juga lagi ramai-ramainya permintaan untuk naik haji atau Umroh yang sudah dibuka dari tahun lalu untuk diberangkatkan dari jadwal sebulan yang lalu.

Jadi, hari Minggu ini gue baru bisa makan bareng Dhea dan orangtuanya di restoran bercita rasa Arab yang ada di lobi hotel. Karena gue pernah dengar dari Dhea kalau Mamanya suka makanan dengan bumbu rempah yang pedas. Jadi, Dhea mengusulkan orangtuanya untuk menginap di sini.

Selain basa-basi perkenalan karena kami baru bisa saling bertatap muka secara langsung, hari ini gue juga ingin memberitahu keseriusan hubungan gue sama Dhea. Perlahan gue menarik napas dalam-dalam sembari mengukir senyum saat menatap kedua orangtua Dhea yang kini melihat gue dengan raut serius.

Guratan halus di dahi Papa Dhea nampak nggak sabar menanti kata-kata puitis dari gue. Tapi gue nggak bisa meromantisasi permintaan gue ke mereka untuk meminang anaknya. Jadi, gue akan langsung bilang saja sekarang daripada jantung gue copot sekarang karena debarannya makin terasa sampai ke dada gue.

“Om, Tante, maaf kalau saya dan Dhea belum sempat ke Bandung untuk ketemu Om sama Tante.” Hari ini memang giliran gue yang minta maaf ke orangtua Dhea. Nasib punya hubungan sama Dhea yang usianya lebih muda dan sibuk dengan kegiatannya, mau nggak mau gue harus mengikuti jadwalnya juga. Karena sebenarnya gue bisa kapan saja pergi ke Bandung dan meminta izin ke orangtuanya kalau gue mau serius sama Dhea.

“Iya, nggak apa-apa. Om sama Tante tahu kalian berdua ada kerjaan di sini.”

Gue mengangguk lega. Karena semenjak menjalin hubungan sama Dhea, dia bilang gue nggak perlu buru-buru untuk ketemu atau ngobrol sama orangtuanya. Karena apa pun keputusannya, mereka pasti akan mendukung. Sungguh demokratis melihat reaksi mereka sekarang. Gue terharu waktu mendengarnya. Karena ternyata keluarganya begitu harmonis.

“Iya, Tante. Berhubung kita udah ketemu Om sama Tante di sini, aku mau bilang kalau kami udah mutusin untuk menikah dalam waktu dekat ini,” sahut gue sambil menatap Dhea yang duduk di antara orangtuanya. Gue grogi banget malam ini. Karena gue baru pulang kantor dan Dhea tiba-tiba ngabarin kalau hari ini gue bisa langsung ketemuan sama mereka yang kebetulan sudah datang ke Jakarta. Gue bahkan nggak sempat lagi ganti baju yang lebih formal untuk bahas hal seserius ini.

“Iya-iya. Kami sudah dengar dari Dhea waktu kami lagi Umroh dan setuju kalau kalian mau nikah. Lebih cepat, lebih baik, ya, ‘kan, Pa?”

Papa Dhea langsung mengangguk.

“Alhamdulillah.” Gue langsung terkekeh lega mendengar reaksi orangtua Dhea. Sebenarnya gue tahu kalau mereka sudah mendengar niat gue ini. Gue cuma bingung dan grogi harus ngomong apa lagi selain minta doa restu ke mereka.

“Maaf ya, Bar. Kamu jadi nunggu lama,” sahut Mama Dhea sambil mengukir senyumnya yang sama cantiknya seperti Dhea.

“Ooh, iya, nggak apa-apa, Tante,” tukas gue yang sempat pangling karena Mama Dhea juga memliki kulit wajah yang putih dan halus seperti bayi. Kecantikan Dhea memang menurun dari ibunya.

“Sebentar lagi kamu sama Dhea ‘kan bakal jadi suami-istri. Nggak usah sungkan lagi kalau mau main ke Bandung ya. Pintu rumah Om dan Tante selalu terbuka untuk kalian.”

Ya, Allah! Terima kasih! Gue semakin lega Mama Dhea bisa ngomong begitu. Papa Dhea juga mengangguk setuju mendengar sahutan istrinya itu dan gue ikut manggut-manggut sambil tersenyum. Kesibukan memang selalu memberi ruang dan jarak yang begitu besar, tapi cinta kami pasti akan selalu pengertian dan membuat orangtuanya juga nggak sabar.

“Baik, Om, Tante,” ucap gue.

Hatur nuhun ya, Bar. Om geus bahagia kamu sama Dhea udah serius mau nikah. Tapi kapan tanggalnya?” tanya Papa Dhea dengan logat Sundanya yang agak kental.

“Soal itu kami belum memutuskan, Om,” sahut gue. Apa gue mulai nggak percaya diri karena uang jual rumah sudah gue pakai untuk kebutuhan gue dan Dhea sehari-hari? Nggak-nggak. Gue harus yakin kalau hubungan gue sama Dhea pasti sampai ke pernikahan. Kami tinggal mempersiapkannya saja. Nggak sulit kok. Tinggal selangkah lagi Dhea dan gue bisa naik ke bangku pelaminan.

Hanya saja, dari kemarin-kemarin Dhea memang lagi cari tempat untuk foto prewedding kami, dan belum nentuin tanggalnya meski gue sudah mengingatkan dia untuk cari hari yang pas untuk pernikahan kami nanti.

“Aku sama Barra masih mau foto-foto prewedding dulu kok, Ma, Pa. Nanti kalau semua vendornya udah jelas, aku langsung kasih tahu nanti.”

Gue lega Dhea bisa langsung menjelaskannya.

“Oke, sayang. Mama senang banget bisa dengar kabar baik ini.”

“Cari tanggal yang baik, Bar,” seru Papa Dhea.

“Siap, Om!” kata gue sambil terkekeh kecil.

“Kalau masih bingung, jangan ragu telepon Om sama Tante ya.”

Gue terkekeh. “Iya, Tante!”

Lihat selengkapnya