Nices Tour & Travel, Jagakarsa.
10.30 AM.
“NAIK gaji?”
Duh! Salah nanya gue. Kalau lihat sorot mata si bos yang membelalak dengan alis tebalnya yang sontak hampir naik ke puncak dahi, perasaan gue langsung nggak enak. “I-iya, Pak,” sahut gue. Sudah kepalang tanggung. Gue iyain saja dulu. Semoga saja nada bicaranya nggak naik lima oktaf lagi. Jantung gue sudah berdebar hebat. Gue kira kalau masih pagi, atasan gue nggak akan bisa semarah ini kalau gue bahas soal gaji.
“Nggak mungkinlah, Bar.”
“I-iya, nggak mungkin ya, Pak,” sahut gue sambil mengangguk paham dan tertawa renyah. Atasan gue langsung mengangguk dan menyandarkan tubuh gempalnya ke kursi empuknya sambil bersedekap dengan tatapan seriusnya. Gue cuma bisa menelan saliva sekarang. Tawa gue berhenti karena dia nggak ikut tertawa.
“Iyalah. Lo tahu sendiri, gaji lo udah cukup besar kerja di sini. Gue udah nggak bisa nego direktur kita supaya lo bisa naik gaji lagi, Bar.”
“Iya, Pak. Nggak apa-apa. Cuma tanya aja kok.”
Gue lega nggak terjadi pembantaian di ruangan ini hanya karena permintaan gue yang nggak mungkin lolos dari atasan gue ini. Gue menghela napas dan mengukir senyum.
“Jangan karena nggak bisa naik gaji lagi, kerja lo jadi asal-asalan ya, Bar.”
“Siap, Pak! Saya masih betah kerja di sini. Semua klien pasti puas!”
Bos gue langsung terbahak mendengar suara lantang gue.
“Baguslah.”
Gue mengangguk dengan senyum. “Permisi ya, Pak. Saya mau kerja lagi.” Gue cepat-cepat melipir dari atasan gue sebelum dia berubah pikiran dan malah menurunkan gaji gue yang sudah cukup tinggi di kantor ini. Kalau bukan karena dedikasi gue yang bisa mengembangkan kantor ini ke arah yang lebih baik, gaji gue nggak mungkin bisa naik sampai dua digit. Tahapan-tahapan naik gaji gue sudah mentok seperti cinta gue ke Dhea.
Gue nggak mau pindah ke lain hati hanya karena soal finansial saja. Gue akan cari cara lain untuk bisa bantu dia bayar paylater-nya.
***
Setelah gue pikir-pikir lagi, kayaknya cuma ibu yang bisa bantu gue lagi. Gue menggaruk dahi gue. Pusing. Soalnya, orang terdekat gue sekarang cuma ada Rexy. Tapi gue nggak mungkin pinjam uang ke dia. Bukan karena gengsi. Tapi dia juga mau nikah sama Saskia. Sudah pasti mereka lagi nabung juga.
Sementara rekan-rekan yang lain di kantor juga nggak bisa gue harapkan, karena gaji mereka saja nggak sebesar gue. Masa iya gue harus menanggung malu dengan pinjam uang ke mereka? Gue cuma nggak mau ada gosip yang nggak-nggak di kantor.
Perlahan gue keluar kamar dan menghampiri lorong ke arah kamar ibu yang satu lantai dengan kamar gue di atas. Sementara kamar Levi di bawah. Dia pasti nggak akan tahu kalau gue ngobrol sama ibu malam-malam begini.
Soalnya, malam ini juga gue cuma mau minjem duit ibu. Gue maklum kenapa tiba-tiba Dhea kirim pesan untuk bayar cicilan belanjaan online shop-nya. Dia pasti lupa karena saking banyaknya editan foto dan videonya setelah kami jalan akhir-akhir ini. Gue yakin ibu pasti pegang uang nanti. Karena gue tahu Levi selalu kasih tiap tanggal 25 di hari gajiannya.
Pelan-pelan gue ketuk kamar ibu, dan melongok sedikit. Kamarnya masih menyala kalau gue lihat dari lubang angin di atas pintu. Kemungkinan masih ada waktu sebentar untuk ngobrol sama ibu sekarang. “Bu, udah tidur?” tanya gue basa-basi. Karena gue nggak bisa lihat posisi ibu kalau tempat tidurnya ada di balik dinding dekat pintu kamarnya ini.
“Belum, sayang. Kenapa?” tanya ibu dari balik selimutnya dan gue lihat TV-nya memang masih menyala menampilkan film drama Thailand.
“Aku boleh ngobrol bentar nggak?” tanya gue.
“Iya, sayang. Ada apa?”
“Hmm,” aku berdeham seraya beranjak dari pintu dan menutupnya pelan-pelan lagi.
Gue masih coba memutar otak gue bagaimana menyampaikan permintaan gue ini tanpa ibu tahu kalau gue lagi ada masalah keuangan. Gue nggak boleh membuat dia tambah stres dan berujung memperburuk kesehatannya saja. Lagian sebentar lagi juga gue gajian walau cuma numpang lewat. Karena gue sudah kepalang janji untuk bayar cicilan belanja shopping di toko online Dhea.
Gue maklum kalau kebutuhan sehari-hari atau bulanan Dhea banyak banget. Soalnya, dia nggak pernah menunjukkan penampilan yang sama untuk upload di Instagram-nya. Dari outfitnya, make up-nya, sampai aksesoris yang dia pakai. Daya tariknya sebagai model sekaligus influencer bersumber dari sana. Tapi dia tahu kalau di mata gue, dia selalu menarik dan semua itu memang hanya untuk semata pekerjaannya saja.
Yang penting, uang gaji gue masih cukup untuk biaya hidup gue sama ibu satu bulan. Kalau Dhea dapat endorsement lagi, dia juga biasanya mau traktir gue makan sebagai gantinya gue bayarin belanjaan pakaian, sepatu, tas, dan kebutuhannya yang lain seperti make up atau untuk waktu-waktu yang kami habiskan di restoran untuk memupuk cinta kami supaya tetap segar.
“Aku udah ketemu orangtua Dhea, Bu,” sahut gue memecah hening di kamar ini. TV ibu mati. Untung dia belum tidur. Gue bisa cerita kegiatan gue sama Dhea tadi.
“Alhamdulillah. Terus? Mereka setuju kamu mau nikah sama Dhea?”
“Iya. Sebelum pulang ke Bandung, mereka juga mau ketemu Ibu. Sekarang mereka tinggal di hotel, Bu.”
“Lho? Kenapa bukan di apartemen Dhea?”
“Kecil, Bu. Kata Dhea, kasurnya cuma queen size. Orangtuanya juga nggak mau dia nggak nyaman tidurnya. Soalnya, mereka lebih gemuk dari Dhea, Bu,” sahut gue sambil terkekeh. Terus terang, gue memang belum pernah naik ke kamarnya karena gue tahu batas dalam berhubungan sama dia. Gue jadi nggak bisa jelasin lebih banyak ke ibu.
“Oo, iya juga ya. Dhea langsingnya kayak model gitu. Nanti malah jadi kejepit di tengah-tengah.”
Gue sontak terkekeh mendengar candaan ibu. Fix. Dia juga sayang sama Dhea. Soalnya, dari cara dia ngomongin Dhea terasa hangat-hangat kuku di hati gue dan welcome banget. Nggak kayak waktu Levi gonta-ganti pacar. Ibu cuma bisa tersenyum hambar, dan bilang, ‘Yang kemarin kurang apa?’. Rasanya ibu lagi menasehati Levi kalau dia selalu kurang bersyukur ketemu cewek mana pun. Karena cinta Levi nggak pernah sebesar perasaan gue ke Dhea.