Cinta Sampai Mati

Nakshatra B.
Chapter #16

16

GUE perlahan keluar kamar dan menghampiri lorong ke arah kamar ibu yang satu lantai dengan kamar gue di atas. Sementara kamar Levi di bawah. Dia pasti nggak akan tahu kalau gue ngobrol sama ibu malam-malam begini.

Soalnya, malam ini juga gue cuma mau minjem duit ibu. Gue maklum kenapa tiba-tiba Dhea kirim pesan untuk bayar cicilan belanjaan online shop-nya. Dia pasti lupa karena saking banyaknya editan foto dan videonya setelah kami jalan akhir-akhir ini. Gue yakin ibu pasti pegang uang nanti. Karena gue tahu Levi selalu kasih tiap tanggal 25 di hari gajiannya.

Pelan-pelan gue ketuk kamar ibu, dan melongok sedikit. Kamarnya masih menyala kalau gue lihat dari lubang angin di atas pintu. Kemungkinan masih ada waktu sebentar untuk ngobrol sama ibu sekarang. “Bu, udah tidur?” tanya gue basa-basi. Karena gue nggak bisa lihat posisi ibu kalau tempat tidurnya ada di balik dinding dekat pintu kamarnya ini.

“Belum, sayang. Kenapa?” tanya ibu dari balik selimutnya dan gue lihat TV-nya memang masih menyala menampilkan film drama Thailand.

“Aku boleh ngobrol bentar nggak?” tanya gue.

“Iya, sayang. Ada apa?”

“Hmm,” aku berdeham seraya beranjak dari pintu dan menutupnya pelan-pelan lagi.

Gue masih coba memutar otak gue bagaimana menyampaikan permintaan gue ini tanpa ibu tahu kalau gue lagi ada masalah keuangan. Gue nggak boleh membuat dia tambah stres dan berujung memperburuk kesehatannya saja. Lagian sebentar lagi juga gue gajian walau cuma numpang lewat. Karena gue sudah kepalang janji untuk bayar cicilan belanja shopping di toko online Dhea.

Gue maklum kalau kebutuhan sehari-hari atau bulanan Dhea banyak banget. Soalnya, dia nggak pernah menunjukkan penampilan yang sama untuk upload di Instagram-nya. Dari outfitnya, make up-nya, sampai aksesoris yang dia pakai. Daya tariknya sebagai model sekaligus influencer bersumber dari sana. Tapi dia tahu kalau di mata gue, dia selalu menarik dan semua itu memang hanya untuk semata pekerjaannya saja.

Yang penting, uang gaji gue masih cukup untuk biaya hidup gue sama ibu satu bulan. Kalau Dhea dapat endorsement lagi, dia juga biasanya mau traktir gue makan sebagai gantinya gue bayarin belanjaan pakaian, sepatu, tas, dan kebutuhannya yang lain seperti make up atau untuk waktu-waktu yang kami habiskan di restoran untuk memupuk cinta kami supaya tetap segar.

“Aku udah ketemu orangtua Dhea, Bu,” sahut gue memecah hening di kamar ini. TV ibu mati. Untung dia belum tidur. Gue bisa cerita kegiatan gue sama Dhea tadi.

“Alhamdulillah. Terus? Mereka setuju kamu mau nikah sama Dhea?”

“Iya. Sebelum pulang ke Bandung, mereka juga mau ketemu Ibu. Sekarang mereka tinggal di hotel, Bu.”

“Lho? Kenapa bukan di apartemen Dhea?”

“Kecil, Bu. Kata Dhea, kasurnya cuma queen size. Orangtuanya juga nggak mau dia nggak nyaman tidurnya. Soalnya, mereka lebih gemuk dari Dhea, Bu,” sahut gue sambil terkekeh.

“Oo, iya juga ya. Dhea langsingnya kayak model gitu. Nanti malah jadi kejepit di tengah-tengah.”

Gue sontak terkekeh mendengar candaan ibu. Fix. Dia juga pasti sayang sama Dhea. Soalnya, dari cara dia ngomongin Dhea terasa hangat-hangat kuku di hati gue dan welcome banget. Nggak kayak waktu Levi gonta-ganti pacar. Ibu cuma bisa tersenyum hambar, dan bilang, ‘Yang kemarin kurang apa?’. Rasanya ibu lagi menasehati Levi kalau dia selalu kurang bersyukur ketemu cewek mana pun. Karena cinta Levi nggak pernah sebesar perasaan gue ke Dhea.

“Tapi kita punya kamar tamu di bawah, Bar,” ucap Ibu membuyarkan lamunan gue. “Kenapa kamu nggak tawarin mereka tinggal di sini aja?”

“Mereka nggak mau, Bu. Sebelum antar mereka ke hotel, aku udah sempat tawarin untuk nginap aja di rumah kita ini.” Rumah yang sudah gue gadaikan sementara, tapi tetap rumah ibu, kan? Gue sontak terbayang-bayang dengan kata ‘rumah kita’ yang gue ucapkan tadi. Rasanya aneh setelah sertifikat rumah gue gadaikan juga demi Dhea. Tapi everything will be alright setelah kami menikah kok. Gue yakin. Karena gue sama Dhea masih punya kerjaan. Gue nggak mau ibu khawatir akan kehilangan rumah ini.

“Oh, gitu.” Ibu mengangguk paham sambil terus menatap gue masih penasaran.

“Iya. Sebenernya aku juga mau ngomong sama Ibu. Sebentar lagi ‘kan, aku sama Levi gajian. Aku boleh pinjem uang belanja dari Levi dulu nggak, Bu? Pas tanggal 25 nanti. Tapi aku tetap akan ganti nanti kalo Dhea dapet kerjaan endorsement lagi, Bu,” jelas gue. Tapi sedetik kemudian gue tersadar. “Hmm … maksudku, pas aku gajian,” ralat gue cepat.

Ibu mengernyit penasaran dan gue makin deg-degan lihatnya.

Lihat selengkapnya