“PUNTEN, Bar. Ari eta nama ibu kamu saha?” tanya Papa Dhea sambil berbisik di telinga gue, karena kebetulan dia duduk persis di sebelah gue. Dia mungkin terlupa karena saking serunya euforia perkenalan mereka tadi.
“Bu Tika Setali…,” jawab gue dan belum selesai gue ngomong, Papa Dhea sudah menyela cepat.
“Naaah! Eta! Setali tiga uang ceunah,” seru Papa Dhea dengan tawanya yang terasa berat seperti sedang sakit tenggorokan. Tapi kalau dia lagi sakit radang, nggak mungkin sepanjang ini tawanya.
Gue nggak tahu apa yang membuatnya begitu semangat. Ibu yang sedang ngobrol sama Dhea langsung menoleh. Mungkin dia mengira gue memanggilnya, dan gue hanya tersenyum menatapnya sambil mengerling ke Papa Dhea.
Pertemuan ini memang membuat kedua orangtua kami terlihat bahagia karena mereka jadi punya kesempatan untuk bisa saling mengenal dengan baik. Ibu pun jadi nggak minder lagi waktu tahu Mama Dhea juga cuma ibu rumah tangga, dan Papanya sudah pensiun dari jabatan PNS-nya. Gue juga baru tahu, karena waktu itu mereka belum cerita apa-apa. Sedangkan Dhea lebih senang menceritakan kesehariannya daripada keluarganya, dan ingin gue memberi saran untuk konten-kontennya.
“Kalo kamu nikah sama Dhea, Ibu kamu pasti selalu doain rezeki kamu biar lancar jaya selalu ya,” seru Mama Dhea bercanda berusaha mencairkan suasana meski ibu juga sebenarnya nggak keberatan kalau Papa Dhea mengagumi namanya.
Tapi secinta-cintanya gue sama seorang gadis, baru kali ini gue ketemu calon mertua yang senang sekali bergurau. Apa karena gue memang belum pernah pacaran dan ketemu orangtua pacar? Dulu, gue kira nasib gue jelek karena susah dapat pacar gara-gara lebih senang cari uang daripada cewek. Ternyata gue memang harus mengejar cinta gue sendiri sekarang sebelum jadi bujang lapuk selamanya. Untung ibu langsung terkekeh dengan bahagianya karena tahu orangtua Dhea memang seramah dan pandai bergurau begini.
Gue lihat ibu hanya mengangguk sambil tersenyum kalem dan nggak banyak bicara.
“Iya, Bu. Aamiin. Alhamdulillah ya, Bu Lara. Saya pasti doain yang terbaik untuk pernikahan mereka nanti,” ujar Ibu.
“Mugia langgeng geus akhir hayat ya, Bu Tika,” timpal Papa Dhea sambil terkekeh kecil lagi dengan logat Bandungnya yang masih sedikit kental.
“Insya Allah, Pak Arya.”
“Trus, rencana kamu abis nikah gimana?”
Gue langsung menoleh ke Dhea mendengar pertanyaan Papa Dhea. “Untuk sekarang, saya masih harus kerja, Om. Selebihnya, nanti aku sama Dhea pikirkan lagi rencana kami ke depan,” sahut gue.
“Nggak mau punya cucu?”
Gue dan Dhea sontak tertawa renyah, lalu gue menatap Dhea.
“Nggak dulu, Pa. Santai aja.”
Orangtua Dhea langsung mengangguk paham. Sekarang memang lagi tren childfree, jadi gue paham maksud Dhea. Lagi pula gue masih punya beban cicilan. Kalau ditambah anak, akan makan apa kami nanti?
Ibu mengangguk paham. “Menikah memang butuh rencana matang ya, Bu, Pak. Nggak perlu diburu-buru daripada nanti salah langkah,” ujarnya dengan seulas senyum.
Semua sontak tertawa kecil dan mengangguk setuju.
“Iya, Bu Tika. Barra udah kami anggap anak sendiri sekarang. Semoga jalannya dilancarkan ya, Bu.”
Papa Dhea mengangguk setuju. Begitu juga ibu.
“Iya. Terima kasih banyak, Pak Arya, Bu Lara,” seru Ibu dengan raut wajahnya yang begitu berseri-seri karena bahagia. Ibu memang nggak pernah menilai pasangan gue dan Levi dari sisi materi orangtuanya saja, karena itu dia bisa tetap ramah.
Gue hanya meringis. Karena gue bukan orang yang mau bergantung sama calon mertua. Gengsilah. Seringkali juga gue yang kirim uang ke Dhea yang katanya untuk membuktikan kalau dia sama gue memang sudah mandiri dan saling mencintai sampai kami menua atau akhir hayat kami nanti. Gue juga nggak mau dinilai sebagai menantu yang cuma bisa menumpang hidup dengan orangtua atau meminta bantuan mereka. Selama gue masih bisa mandiri, gue akan menyelesaikan masalah gue sendiri.
Ibu hanya manggut-manggut paham mendengar celotehan Papa Dhea tentang Dhea yang terlihat bahagia sekali akhir-akhir ini karena bisa ketemu gue, dan ibu kembali tersenyum saja. Ibu memang lebih banyak senyum, karena gue tahu dia pasti bingung harus ngomong apa. Yang paling banyak bicara selama ini memang ayah. Dhea terlihat senang perkenalan orangtua kami nampak lancar jaya.
Dhea ikut mengangguk untuk menjawab pertanyaan Papanya. Karena kami memang masih belum menentukan apa-apa, selain sibuk dengan pekerjaan kami masing-masing. Kami juga masih memilih vendor-vendor yang tepat untuk pernikahan kami. Tapi gue lebih ingin dia yang memilihnya sendiri. Karena gue nggak mau pusing.
“Bar, Tante tahu tuh di mana tempat untuk sewa Siger yang bagus kalo kalian mau pake adat Sunda!”
“Iya, Om,” sahut gue setuju-setuju saja.
“Tante juga nggak muluk-muluk, Bar. Yang penting kalian bahagia, sehat, makmur, dan subur,” timpal Mama Dhea dan gue sama Dhea mengangguk-angguk sambil terkekeh.
“Aamiin,” sahut gue dan Ibu meyakini doa Mama Dhea. Sepertinya semua orangtua juga ingin anaknya hidup seperti diharapkan Mama Dhea.
“Mungkin saya nggak bisa kasih harapan atau janji ke Om sama Tante kalau Dhea akan selalu bahagia. Tapi saya akan berusaha jadi suami yang baik, Om, Tante.”
“Iya, Bar. Om sama Tante percaya sama kamu.”
Gue mengangguk lega. Pernikahan ibu dan ayah juga selalu melalui duka dan senang yang silih berganti. Kadang banyak rezeki, kadang harus meratapi badai karena tertipu oleh saudara sendiri. Sampai-sampai mereka harus kembali tinggal di rumah orangtua ibu dan membuat ibu agak tertekan karena hubungannya dengan orangtuanya sendiri nggak cukup harmonis.
Gue hanya bisa tersenyum dengan yakin agar orangtua Dhea nggak membatalkan rencana pernikahan gue dan Dhea. Gue nggak mau mereka melihat hubungan kami seperti dinding yang rapuh hanya karena gue punya banyak cicilan sekarang. Selama kami sama-sama ingin menuju pernikahan, gue harap semua akan baik-baik saja.
Selama ini fokus gue cuma bekerja, dapat jodoh yang tepat, dan mengurus rumah tangga saja. Buat sebagian orang mungkin hanya akan terdengar membosankan, tapi hidup gue memang sesederhana itu saja sejak ayah berpesan agar gue dan Levi bisa hidup dengan baik bersama ibu atau istri kami nanti.