Cinta Sampai Mati

Nakshatra B.
Chapter #23

23

~ Ini hari yang gue tunggu-tunggu selama ini. Hari di mana kami semua berkumpul untuk merasakan kebahagiaan gue dan Dhea. Tanpa ada lagi keraguan walau sekecil batu kerikil. ~


~ POV. Barra ~

 

AKHIRNYA gue bisa ajak ibu datang ke hotel di mana orangtua Dhea menginap dan kami nggak jadi makan di restoran sekitar Cikini waktu Dhea memilih makan di sini untuk pertemuan orangtua kami hanya karena lidah Mamanya cuma ingin makan yang lokal-lokal.

“Kamu kok dadakan sih? Ibu kan belum siap.”

"Maaf, Bu. Semuanya memang serba buru-buru," ucap gue sambil meringis. Karena gue sendiri juga kaget waktu Dhea tiba-tiba kirim pesan kalau orangtuanya sudah siap ketemu Ibu malam ini. Gue kira mereka mau istirahat dulu seharian ini. Ternyata nggak. Makanya gue pulang tepat jam lima dan Rexy cuma bersorak girang waktu gue bilang mau ketemu calon mertua gue. Kalau nggak gitu, gue nggak bisa pulang cepat karena masih ada meeting untuk rencana perjalanan wisata klien kami yang jumlahnya cukup banyak. Karena mereka mau pergi sekeluarga dan masih bingung menentukan pilihan negaranya.

“Nggak apa-apa, Bu. Kayak gini juga udah cantik kok,” seru gue meyakinkan. Karena ibu memang punya kulit kuning langsat yang bagus dan nggak kayak kulit ayah yang cenderung putih dan hari ini ibu memakai blouse hitam berlengan panjang serta celana kulot panjang warna krem yang selalu jadi perpaduan warna kesukaannya. Gue cuma tersenyum lebar mengingat ayah dulu mencintai ibu karena wajahnya lebih kemayu dari putri keraton Jawa.

“Jadi, nanti Ibu harus ngomong apa, Bar? Kalau ada Levi, Ibu bisa suruh dia yang ngomong aja.”

Gue cuma meringis. Kalau Levi ikut, yang ada pertemuan orangtua gue sama Dhea jadi perang walau cuma satu jam saja lamanya. Kalau saja tadi pagi Dhea nggak bilang kalau kalau orangtuanya mau pulang ke Bandung hari ini, gue nggak tahu kapan mereka bisa ketemu ibu. Apa lagi Dhea sibuk banget dan sudah punya jadwal sendiri.

“Ibu santai aja. Orangtuanya baik kok, Bu.”

“Mereka langsung setuju kamu mau nikah sama Dhea?” tanya Ibu sambil menatap gue penasaran.

Pertanyaannya terdengar seperti candaan yang malah menggelitik perut gue. Gimana gue nggak langsung tertawa lepas mendengarnya? Apa iya gue nggak se-worth it itu untuk pacaran dan nikah sama Dhea?

Gue lirik sejenak sebelum gue memutar stir mobil gue ke kanan untuk masuk ke parkiran hotel ibu masih menatap gue penasaran. “Iya, Bu. Alhamdulillah mereka udah merestui,” seru gue sambil terkekeh bahagia. Bisa-bisanya ibu mencairkan suasana hati gue yang sebenarnya tegang juga. Gue jadi khawatir tiba-tiba mereka berubah pikiran dan melarang gue nikah sama Dhea kalau tahu gue cuma ada seorang ibu yang pekerjaannya hanya sebagai ibu rumah tangga.

 

***

 

Ini hari yang gue tunggu-tunggu selama ini. Setelah pertemuan keluarga beberapa hari lalu lancar, hari ini kami semua berkumpul untuk merasakan kebahagiaan gue dan Dhea. Tanpa ada lagi keraguan walau sekecil batu kerikil. Karena setelah gue bertukar cincin tunangan dengan resmi sama Dhea, berdoa bersama untuk kelanggengan hubungan kami, dan memberi sedikit ucapan terima kasih pada semua semua tamu yang diundang, mereka langsung mengucapkan selamat saat kami mingle. Nggak banyak kursi yang kami sediakan. Karena gue dan Dhea memang hanya mengundang saudara, rekan kantor gue, dan teman-teman dekat kami saja.

Gue lihat Dhea mengedarkan pandangan setelah melihat ke cincin tunangan kami yang kini sudah terpasang di jari manis kami. Suasana malam ini memang nggak begitu ramai, karena kami hanya mengundang saudara, kerabat, dan teman-teman dekat saja. Jadi, kami nggak menyediakan kursi atau makanan prasmanan yang terlalu banyak.

Dhea sudah memilih sendiri dekorasi backdrop dengan dekorasi minimalis yang bertabur bunga-bunga bernuansa pastel. Walau minimalis, semua nampak menikmati pesta pertunangan kami dengan nyaman dan bahagia.

Lihat selengkapnya