KAYAKNYA nggak ada yang lebih membahagiakan daripada membuat pasangan gue sendiri bahagia. Gue nggak keberatan kalau harus turun-naik taksi online beberapa hari ini asal Dhea bisa tetap ngerjain tugasnya sebagai konten kreator di luar sana. Kalau dia bisa sukses di jalannya, gue juga ikut senang. Masa bodoh dengan pikiran Levi waktu dia lihat gue semalam pulang naik taksi, karena gue takut kemalaman kalau Dhea anter gue pulang dulu. Posisi kami dari Pantai Indah Kapuk saja sudah jam sembilan malam.
“Bar, mobil lo ke mana?”
Gue sontak memutar otak gue untuk menjawab pertanyaan Rexy. Tapi kalau gue nggak jawab sejujurnya, nanti dia tambah penasaran. Karena gue memang nggak pernah ke kantor naik bus atau taksi online.
“Tumben naik taksi tadi pagi.”
‘Kan! Rexy memang sudah tahu kalau gue naik taksi. Dia memang salah satu karyawan terajin yang selalu tiba lebih awal dari gue karena apartemennya ada di dekat kantor ini. “Ada. Lagi dipinjem Dhea,” jawab gue akhirnya.
“Busyet! Kok bisa?”
“Ya, bisa. Dia cewek gue, Rev. Calon istri juga,” jelas gue berusaha nggak emosi untuk menjawab rasa penasaran Revi.
“Itu ‘kan, mobil kesayangan lo banget. Lo beli pakai gaji pertama lo kerja di sini.”
Nggak perlu diingatkan, gue juga tahu soal itu. Rexy nggak mungkin komen jelek soal Dhea hanya gara-gara gue pinjemin mobil ke gadis itu, ‘kan? Gue cuma bisa menatapnya heran. “Emang kenapa? Yang penting dia tetap cinta sama gue, Rex,” seru gue sambil terkekeh.
“Ooh …,” Rexy langsung menatap gue heran dan bikin gue penasaran.
Apa dia lagi mikir yang aneh-aneh? Kayaknya gue nggak pernah cerita apa-apa soal Dhea dan masalah pribadi gue. Kenapa dia sampai mengernyit begitu dahinya? “Kenapa lo?” tanya gue akhirnya.
“Akhir-akhir ini lo kayak nggak biasanya, Bar.”
Sekarang malah gue yang ingin mengerutkan kening gue yang mulus dari flek, kerutan, atau jerawat ini. “Nggak biasanya gimana?” tanya gue.
“Lo serius sama Dhea?”
Gue mengangguk. “Ya, seriuslah.”
“Lo beneran udah nggak bisa berpaling lagi?”
“Lo tahu gue cinta mati sama dia, kan?” tanya gue balik.
“Iya, tahu sih. Tapi kayaknya sejak lo sama Dhea, lo jadi sering uring-uringan nggak jelas di kantor. Jarang makan bareng gue lagi. Lo puasa? Atau, lagi diet demi foto-foto nikahan lo sama Dhea nanti?”
“Nggak. Udah sana kerja. Ngapain sih jadi penasaran sama hidup gue? Nggak usah ngatur gimana gue sama Dhea.”
“Bukan gitu, Bar. Gue ‘kan, sahabat lo. Masa gue nggak boleh nanya-nanya atau kasih lo nasehat. Kalo ada sesuatu yang bisa bikin beban hidup lo bertambah, nanti lo jadi berat sendiri, Bar.”
“Hubungan gue sama Dhea baik-baik aja. Lo nggak usah khawatir, Rex.”
“Ooh, oke. Syukur kalau nggak ada masalah. Kita ini ujiannya cuma harta, tahta, dan cewek, Bar. Hahaha … Cuma tiga. Tapi buat gue, ini yang paling berat! Kalo lo bisa bahagia sama Dhea, gue ikut seneng, Bar. Akhirnya lo bisa dapat jodoh yang lo mau selama ini. Buruan Akadnya! Undangannya jangan lupa!”
“Hahaha!” kami terbahak. “Iya! Gue mau cek permintaan klien lama buat jalan-jalan ke Europe dulu. Sana, lo balik kerja. Proposal tur yang baru juga belum sampe ke meja gue.”
“Iya, Bar. Nanti gue kabarin kalo dah rampung. Yang penting hubungan lo sama Dhea jangan tiba-tiba selesai ya!”
“Sialan!” Rexy hanya terkekeh geli setelah bercanda seperti itu. Ada-ada saja memang sohib gue yang satu ini. Tapi kalau nggak ada dia, hidup gue jadi garing.
“Gue sama Saskia doain yang terbaik deh, buat lo berdua.”
Gue mengangguk penuh rasa terima kasih. Dia memang sahabat yang tahu perasaan gue sama Dhea sedalam apa. Levi dan ibu mungkin hanya paham dari luar, tapi mereka nggak bisa menyelami hati gue sekarang ke Dhea seperti yang Rexy lihat. “Thank you, Rev. Semoga lo berdua langgeng sampe akad juga.”