GUE sampai lupa bayar hutang ke ibu karena uang gaji gue sudah terpakai terus untuk kebutuhan gue sama Dhea. Jalan-jalan, skincare, cicilan mobil gue, plus budget shopping kami berdua. Belum lagi biaya tak terduga yang bikin pengeluaran gue tambah besar. Kayaknya gue nggak mungkin lagi bayarin dokter skincare Dhea yang mahal itu.
Sekarang gue harus bisa membuat ibu yakin kalau gue bisa ganti uangnya nanti. Karena gue bisa kepikiran terus kalau nggak bilang sekarang.
“Kalo aku baru bisa ganti bulan depan gimana, Bu?” Mudah-mudahan, pikir gue. Karena gue nggak tahu akan sebesar apa pengeluaran gue sama Dhea nanti.
“Ya, udah. Nggak apa-apa.”
“Pokoknya yang penting Levi jangan sampai tahu, Bu. Nggak apa-apa, ‘kan, kalo aku pakai dulu uang ibu? Aku bisa aja ganti sekarang, tapi aku takut butuh, Bu.”
“Iya. Nggak apa-apa.”
“Nggak apa-apa gimana?”
Gue dan ibu terkejut karena tiba-tiba Levi muncul dari balik pintu rumah kami dan langsung melempar tas kerjanya ke sofa, lalu membuka dua kancing kemejanya dan melepas blazer kerjanya. Apa dia tahu apa yang gue omongin sama ibu tadi?
“Lo mau pinjem duit sama ibu sampai kapan, Bar? Apa demi Dhea lo harus begini?” tanya Levi sambil menghempaskan blazer kerjanya ke sofa.
“Maksud lo?”
“Ya, demi cinta mati lo sama dia, lo udah rela menggadaikan harta peninggalan ayah kita satu-satunya, Bar?”
Gue terperanjat dan langsung menoleh ke ibu, tapi gue nggak berani melontarkan pertanyaan apa-apa. Gue selalu mencicil uang yang gue pakai untuk kebutuhan gue selama ini. Apa ibu belum ikhlas meminjamkan surat itu?
“Ibu nggak pernah kasih tahu kakak kamu, Bar,” seru Ibu sambil menatap gue serius.
Gue percaya sama ibu, tapi gue masih heran bagaimana Levi bisa tahu soal itu. Cepat gue kembali menatap Levi. “Selama ini gue udah cicil hutang buat nebus surat rumah ini, Lev. Lo nggak perlu khawatir. Ibu juga harus percaya sama aku kalo aku bisa kembalikan surat itu,” seru gue berusaha menenangkan suasana di antara kami sekarang.
“Tapi Ibu lagi sakit, Bar. Kenapa lo masih bisa pakai surat rumah ini untuk kebutuhan lo sendirian? Gue lihat-lihat kehidupan lo sama Dhea juga selama ini baik-baik aja, kan? Nggak. Gue rasa seluruh dunia juga tahu gimana keseharian lo sama Dhea sekarang. Gue cuma berharap kita nggak kasih beban pikiran ke ibu, Bar.”
Gue terkejut banget Levi bisa ngomong tegas dan ketus begini ke gue. Bukannya belain gue, tapi malah nyalahin gue. Kelihatannya dia memang mendengar percakapan gue sama ibu meski gue atau ibu memang nggak pernah bahas soal surat gadai rumah ini ke dia. Gue coba menebak ulang kondisi malam itu. Apa mungkin dia nggak benar-benar tidur di kamarnya dan tahu pas gue ngobrol di kamar ibu waktu itu? Gue benar-benar lihat kilat amarah di matanya. Apa dia memang benar-benar tahu semuanya selama ini dan dia milih diam saja di depan gue?
“Lo nggak perlu memperkeruh keadaan, Lev,” seru gue berusaha tetap tentang. “Gue pasti bayar kok hutang-hutang gue.” Selain karena gue nggak mau nambah masalah sama Levi, gue juga nggak mau berantem sama dia kalau tahu surat itu gue pinjam untuk sementara waktu. Tapi Levi kayaknya nggak lebih pengertian dari ibu. Makanya gue bisa terima amarahnya sekarang.
“Apa memang cuma demi Dhea lo rela ngutang banyak di bank? Pikir lagi, Bar. Gara-gara lo, ibu jadi harus ikut rela keuangannya jadi nggak karuan. Lo harus tahu kalo setiap malam makanan di meja jadi seadanya aja. Sementara lo sendiri tahu ibu lagi sakit dan nggak bisa makan sembarangan. Belum lagi listrik juga bisa tiba-tiba mati karena ibu nggak ada uang untuk beli token. Padahal gue udah kasih uang bulanan untuk dia.”
Gue tersentak mendengar teguran halus Levi dan hanya bisa menatapnya dengan pikiran berputar keras. Gue nggak tahu perkembangan keseharian ibu kalau di rumah, karena gue terus pulang malam setelah jalan-jalan sama Dhea.