Cinta Sampai Mati

Nakshatra B.
Chapter #20

20

DHE, maaf kita nggak jadi makan malam,” kata gue dengan suara masih sedikit bergetar.

Dhea masih syok waktu dengar kabar dari WhatsApp gue kalau ibu baru saja meninggal dan hanya terdiam tak ingin menanggapi permintaan maaf gue. Jujur, gue juga masih lemas mendengar kenyataan pahit ini. Levi sepertinya merasakan hal yang sama dan hanya menatap ibu dengan mata memerah. Mata gue bahkan masih memerah karena gue nggak kuasa menahan pilu dan air mata gue yang sempat mengalir waktu melihat sorot mata ibu yang terakhir kalinya.

Satu setengah jam yang lalu, gue perlahan memberanikan diri untuk membaringkan ibu di pangkuan gue karena ibu masih terlihat sadar dan sempat memanggil nama kami berdua. Tapi akhirnya gue dan Levi hanya sama-sama terdiam seolah waktu di sekitar kami ikut berhenti tepat ketika ibu tiba-tiba semakin tersengal-sengal dan menghembuskan napas terakhir di hadapan kami sebelum Dokter Abra datang.

“I-ibu sakit apa, sayang?” tanya Dhea penasaran. Waktu gue kasih kabar ibu tiba-tiba sesak napas dan tersengal-sengal di sofa sampai napasnya berhenti sebelum dokter sempat datang, dia bergegas ingin datang ke rumah meski gue sudah melarangnya ke sini malam-malam ini juga.

“Aku pernah bilang ibu ada riwayat jantung,” jelas gue berat. Gimana gue nggak terpukul perasaan gue kalau harus melepas ibu pergi dalam keadaan hubungan gue dan Levi yang jadi carut marut begini?

“Iya. Terus? Kenapa bisa sampai begini?” Dhea terduduk di samping gue dengan pandangan yang ikut lemas. “Lain kali, kamu cerita sama aku kalo kamu ada masalah, sayang. Apa pun itu,” lirihnya lagi sambil menatap ibu yang kini sudah gue baringkan di sofa. Karena gue belum sempat mengeluarkan kasur busa lipat single yang biasa dipakai gue waktu masih kecil dari gudang. Dulu, ibu selalu menyiapkan kasur itu supaya gue bisa tidur di kamarnya juga. Sekarang dia harus pergi selamanya. Mata gue sontak kembali memanas meski gue berusaha untuk kembali menangis malam ini.

“Iya.” Gue mengangguk. Pandangan Levi juga masih sama kosongnya ke arah ibu seperti gue setelah Dokter Abra pulang karena kami memutuskan untuk mengurus jenazah ibu di rumah saja. Kami berdua seperti tak berdaya seketika. Nggak ada lagi yang ingin gue ceritakan ke Dhea selain bagaimana sakitnya perasaan kehilangan ibu yang begitu mendadak malam ini. Tapi sekarang gue hanya bisa menelannya bulat-bulat. “Seharusnya kamu nggak perlu datang, Dhe. Udah malem juga.”

Dhea menggeleng dan menggenggam tangan gue. “Aku khawatir, Bar.”

“Aku nggak apa-apa.” Gue memang nggak pernah tega cerita soal ibu ke Dhea. Enam tahun yang lalu ibu memang sudah ada masalah di jantungnya tapi sayang kondisinya nggak bisa dioperasi lagi karena penebalan plaknya ada di daerah yang nggak bisa dijangkau dan bisa membahayakan nyawanya. Gue sama Levi udah cek kondisi ibu ke beberapa rumah sakit, dan jawaban semua dokter jantung di sana sama. Nggak ada yang berani operasi jantung ibu setelah memeriksa kondisinya. Kami sudah pasrah waktu ibu juga menolak untuk berobat ke luar negeri.

Usia ibu juga sudah nggak muda lagi. Sudah 65 tahun. Gue dan Levi cuma bisa terdiam. Gue melihat Levi nggak mau menatap Dhea sama sekali dan memilih untuk berdiri di sudut ruang ini sambil memberi kabar ke keluarga kami yang lain lewat ponselnya.

“Aku lebih baik antar kamu pulang ya, sayang,” sahut gue memecah hening di antara kami.

Lihat selengkapnya