Cinta Sampai Mati

Nakshatra B.
Chapter #27

27

DHEA?” Gue tersentak melihat Dhea sudah menunggu di depan pekarangan rumah, dan gue langsung menutup teleponnya seraya bergegas menyusulnya. “Kamu ngapain hujan-hujanan begini?” tanya gue setelah Dhea nekat turun dari mobil dan menghampiri gue.

Dhea masih bergeming menatap gue, dan gue langsung mengambil handuk dan menyelimuti tubuhnya saat dia sudah duduk di teras. Kelihatannya dia juga nggak percaya sama pesan WhatsApp yang sudah gue kirim sekitar tiga puluh menit yang lalu. “Maaf ya, sayang, kita nggak jadi makan malam,” kata gue dengan suara masih sedikit bergetar.

“K-kamu masih peduli sama makan malam kita? Aku udah kaget baca pesan kamu.”

Gue hanya bisa menunduk dan mengangguk kecil sambil duduk di teras.

“Bar! Kamu serius Ibu…” seruan Dhea tertahan karena gue lihat dia masih syok juga.

Gue mengangguk, dan raut wajah Dhea semakin pucat.

“Innalillahi,” lirihnya. Gue tahu dia pasti syok sekali. Karena gue sendiri masih lemas mendengar kenyataan pahit ini. Dia tiba-tiba beranjak dan masuk ke rumah. Gue cuma bisa terdiam di belakangnya saat dia melihat ibu sudah terbaring pucat di sofa. “Bar,” sahutnya sambil menatap gue, dan gue cuma bisa terdiam tanpa kata-kata lagi. Dada gue masih terasa sesak saat mendengar dokter pribadi kami akan membantu untuk mengurus surat kematian dari rumah sakit di mana dia bekerja dan gue langsung menyampaikan kalau ibu hanya ingin dimakamkan di tempat ayah kami dulu sebelum dia pulang.

Levi yang kini masih membungkam suaranya sepertinya merasakan hal yang sama. Raut wajahnya masih terlihat syok dan sedih. Sebelum Dhea datang, dia pun hanya bersimpuh di depan sofa di mana ibu terbaring. Mata gue bahkan masih memerah karena gue nggak kuasa menahan pilu dan air mata gue yang sempat mengalir waktu melihat sorot mata ibu yang menatap kami terakhir kalinya.

Setengah jam yang lalu, gue perlahan memberanikan diri untuk membaringkan ibu di pangkuan gue karena ibu masih terlihat sadar dan sempat memanggil nama kami berdua. Tapi akhirnya gue dan Levi hanya sama-sama terdiam seolah waktu di sekitar kami ikut berhenti tepat ketika ibu tiba-tiba semakin tersengal-sengal dan menghembuskan napas terakhir di hadapan kami sebelum Dokter Abra datang.

“I-ibu sakit apa?” tanya Dhea menatap gue penasaran. Waktu gue kasih kabar ibu tiba-tiba sesak napas dan tersengal-sengal di sofa sebelum dokter sempat datang, gue nggak terpikir dia akan bergegas ingin datang ke rumah. Gue pasti akan melarangnya pergi malam-malam begini kalau gue tahu soal niatnya ini.

“Aku pernah bilang ibu ada riwayat jantung,” jelas gue berat. Gimana gue nggak terpukul perasaan gue kalau harus melepas ibu pergi dalam keadaan hubungan gue dan Levi yang jadi berantakan begini?

“Iya. Terus? Kenapa bisa sampai begini?” Dhea terduduk di samping gue dengan pandangan yang ikut lemas. “Lain kali, kamu cerita sama aku kalo kamu ada masalah, Beb. Apa pun itu,” lirihnya lagi sambil menatap ibu yang kini sudah gue baringkan di sofa.

Gue sudah sulit mencerna ucapan Dhea. Karena yang ada di pikiran gue sekarang, gue belum sempat mengeluarkan kasur busa lipat single yang biasa dipakai gue waktu masih kecil dari Gudang untuk bisa dipakai ibu agar dia bisa jadi lebih nyaman merebahkan tubuhnya.

Dulu, ibu selalu menyiapkan kasur itu supaya gue bisa tidur di kamarnya juga kalau hujan turun sedang lebat-lebatnya, dan gue takut tidur sendirian. Sekarang dia harus pergi selamanya dan meninggalkan perasaan yang menyakitkan. Mata gue sontak kembali memanas meski gue berusaha untuk nggak menangis malam ini.

“Ya, Bar?” tanya Dhea kembali membuyarkan lamunan gue.

Lihat selengkapnya