TPU Limo, Jakarta Selatan...
PEMAKAMAN ibu berjalan sungguh khidmat dan lancar. Suasana di sekitar gue juga sudah kembali sepi setelah para pengubur yang hanya dihadiri oleh keluarga kami dari Surabaya, tetangga, dan kerabat-kerabat orangtua kami satu per satu berpamitan pulang. Gue lihat Levi masih terus menyalami para pengubur yang hendak pamit setelah berdoa, menyiram air mawar, dan menabur kembang untuk ibu. Gue terus menatap gundukan tanah liat merahnya yang sudah dipenuhi dengan kelopak bunga-bunga mawar putih-merah yang menebarkan harum saat gue masih di sampingnya.
Gue nggak bisa berkata apa-apa dan hanya duduk mematung di kursi plastik kecil yang ditaruh di sisi batu nisan kedua orangtua gue. Hari ini sudah nggak ada lagi Ibu yang akan selalu merindukan ayah dan berkunjung ke peristirahatannya setiap seminggu sekali seakan dia memang nggak bisa move on seumur hidupnya. Mungkin seperti itulah yang akan gue rasakan kalau Dhea tiba-tiba pergi meninggalkan gue. Gue akan selalu merindukannya.
Saat ini gue dan Levi sudah mewujudkan harapan ibu yang selama ini nggak pernah gue anggap serius untuk bisa merebahkan raganya di sisi almarhum ayah. Karena gue masih ingin ibu berumur panjang dan gue selalu menganggap itu hanya obrolan yang nggak penting.
“Sayang?”
“Ya?” Gue menoleh. Di balik selendang hitam yang dipakai Dhea sebagai kerudungnya, tiba-tiba dia menggenggam tangan gue dan menatap gue lekat dengan senyuman penuh penghiburan seolah dia ingin kembali merekatkan jantung hati gue yang ikut terbelah karena kepergian ibu.
Nggak lama gue langsung menggandeng Dhea meninggalkan Levi tanpa basa-basi lagi. Gue sama Levi sudah seperti orang yang lagi bermusuhan. Tapi kami berdua coba untuk tetap tersenyum kalau ada yang menyapa dan ngajak kami berbincang mengenai ibu. Gue lihat adik-adik Dhea juga datang hari ini dan mengucap belasungkawa ke gue dan Levi. Katanya, mereka juga akan datang ke rumah bareng orangtua Dhea untuk tujuh harian ibu.
Orangtua Dhea benar-benar sudah menganggap gue seperti anak sendiri. Karena mereka langsung pergi ke Jakarta tadi pagi setelah tahu soal ibu dan mereka langsung ikut bantu gue untuk mengurus pemakaman ibu hari ini.
Sekarang gue cuma bisa menatap makam ibu dari jauh dan kembali menemani Dhea menghampiri keluarganya.
Saat gue melepas genggaman tangan Dhea, dia langsung memberi gue senyum dan menggandeng Mamanya.
“Ma, kita pulang yuk!”
Papa Dhea mengangguk menatap Dhea dan gue hanya bisa menunduk dengan perasaan yang masih belum bisa gue jelaskan dengan kata-kata karena kehilangan ibu.
“Hayuklah! Geus panggil taksi, Ma?”
“Iya, baru mau pesan ini, Pa.”
Gue langsung menoleh penasaran. “Kenapa naik taksi, Tante?” tanya gue. Karena gue memang nggak terlalu memerhatikan mereka waktu mereka datang membantu pemakaman ibu.
“Mobilnya mogok. Nggak mau nyala tadi pagi,” jelas Dhea.
“Trus, mobilnya di mana, Tante?”
“Di apartemen, beb,” jawab Dhea sambil meringis dan Mama Dhea langsung manggut-manggut. “Mobil tua. Jadi sering mogok,” ucapnya lagi sambil menggaruk belakang telinganya dan terus memamerkan gigi putihnya yang rata dan rapih.
“Tapi masih lumayan bisa jalan ke pasar kalo hidup,” timpal Mama Dhea sambil terkekeh.
Gue mengangguk paham. Nggak heran Dhea ngizinin orangtuanya untuk pakai mobilnya saja walau usianya sudah tua. Mana Levi sudah pulang. Gue nggak mungkin minta bantuannya juga. Menyebalkan. “Kalo gitu naik mobil saya aja, Tante,” ucap gue akhirnya. Karena gue nggak ada pilihan lain. Kalau mereka naik taksi, gue khawatir Dhea lagi nggak ada dana untuk itu dan gue harus keluar uang lagi. Ongkosnya pasti lumayan juga.
“Yang mana, sayang?” tanya Mama Dhea membuyarkan lamunan gue.
“Di situ, Tante,” jawab gue sambil menunjuk ke seberang toko kembang yang biasa dibeli oleh para pelayat.
“Beneran nggak apa-apa?” tanya Dhea setengah berbisik ke gue.
“Iya. Nggak apa-apa,” jawab gue cepat.
Tak lama mereka mengikuti gue meninggalkan pemakaman ibu dan bersama-sama masuk ke mobil, gue menoleh ke belakang karena mendadak suasana jadi hening. “Maaf ya, Om, Tante, kalo kesempitan,” seru gue jadi nggak enak. Karena mereka terpaksa duduk pangku-pangkuan.
“Nggak apa-apa, Bar. Mereka seringan kapas kok.”
Adik-adik Dhea sontak tertawa kecil. Begitu juga gue dan Dhea. “Oke,” sahut gue masih dengan suara gue yang sedikit parau karena kalau gue sendirian, entah kenapa gue malah ingin menangis mengingat ibu tadi malam.
Sepanjang jalan keluarga Dhea seperti puasa ngomong, dan gue terpaksa menyalakan radio saja. Sampai kami tiba di lapangan parkir apartemen Dhea. “Akhirnya udah sampe.”
Pas gue menoleh ke belakang, orangtua dan adik-adik Dhea tertidur lelap. “Sayang, kamu aja yang bangunin.”
Dhea langsung mengangguk setuju dan tertawa kecil. “Kecapean kayaknya. Kata Lulu, semalem pada begadang biar bisa naik kereta pagi.”