Cinta Sampai Mati

Nakshatra B.
Chapter #33

33

~ Kenapa juga gue harus menyesal? Dari awal, ini sudah jadi pilihan gue.

Tapi cinta dan rindu itu harus gue buang ke mana? Gue masih sayang dan cinta sama dia. Makanya rindu ini selalu menghantui hari-hari gue. ~

 

~ POV. Barra ~


SAMPAI rumah, gue cuma bisa melihat lirikan mata tajam Levi yang selalu tertuju ke gue setiap kali kami berpapasan. Gue coba mengabaikannya waktu gue ambil piring dan makan ketoprak yang gue beli di pinggir sekolahan dekat rumah tadi. Gue sudah malas meributkan kematian ibu sama dia lagi. Gue ingin kami hidup rukun di rumah ini seperti yang diinginkan ibu sebelum dia pergi.

Gue hanya nggak paham kenapa Levi malah bersikap sebaliknya. Apa karena gue belum cerita lagi gimana hubungan gue sama Dhea? Gue sadar kalau gue atau Dhea hanya mengambil keputusan yang kurang tepat sampai kami kekurangan uang.

Tapi seingat gue, Levi nggak pernah mau ikut campur dan merusak mood gue kalau gue ada masalah sebelum gue mengenal Dhea. Apa mungkin juga karena baru kali ini gue serius sama gadis itu? Atau, apa karena baru kali ini gue punya pacar dan dia sampai harus seperhatian ini?

Ah, sudahlah. Semakin dipikirkan, gue malah semakin pusing. Karena gue sama Dhea harus memusatkan pikiran untuk tetap menjaga vendor-vendor serta wedding organizer yang kami pesan di Hotel Ammara bisa menepati kontrak mereka dengan baik setelah gue berhasil membayar semua invoice-nya. Itu juga kalau mobil yang gue beli untuk Dhea sudah terjual.

Gue sadar isi ATM gue tadi sore nggak mungkin untuk melunasi semuanya. Dari vendor catering, make up, baju, sampai tim wedding organizer, dekorasi dan catering. Kartu kredit gue juga sudah over limit dan banyak cicilan hutang karena kebutuhan hidup gue sama Dhea cukup besar. Sementara vendor lain dari tim fotografer bisa langsung gue telepon. Karena Rexy punya beberapa kenalan fotografer yang bagus. Sementara suvenir dan kartu undangan bisa langsung jadi kalau gue sudah melunasi pembayarannya.

Seingat gue Dhea nggak mengundang banyak teman atau saudaranya. Sama seperti gue. Mungkin hanya ada teman-teman kantor, kuliah, dan saudara-saudara orangtua kami saja. Kalau cuma itu kayaknya mungkin cuma sekitar 100 orang tamu dari gue dan Dhea. Belum termasuk kalau ada pasangan. Jadi, gue rasa gedung yang kami sewa nanti sudah cukup untuk menampung semua tamu.

Sayangnya, uang untuk melunasinya saja belum ada. Entah kenapa gue jadi ingin menertawakan keadaan gue sekarang. Soalnya gue cuma bisa mengandalkan mobil sedan yang gue belikan untuk Dhea bisa terjual untuk menutupi cicilan-cicilan gue saat ini.

Karena itu, gue sendiri belum tahu kapan bisa kasih uang ke Dhea. Kalau nggak dibayar, dia bisa nggak dapat kontrak baru sewa setahunnya lagi. Apa iya gue jual mobil lagi? Nggak, nggak, nggak. Itu satu-satunya harta berharga gue. Tapi Dhea juga penting. Ah, sial!

Gue langsung melirik ke kamar ibu tepat di atas ruang makan ini, dan menoleh ke kamar Levi. Biasanya malam ini kami sedang nonton TV bersama-sama. Sekarang semua sudah berubah semenjak gue bisa jadi kekasih Dhea dan ibu telah pergi. Sudah nggak ada lagi kebersamaan kami di rumah ini.

 

***

 

Subuh ini gue sudah pergi ke kamar ibu. Tapi gue jadi tengok ke belakang lagi dan berharap Levi nggak benar-benar muncul dari anak tangga. Dia nggak mungkin sudah bangun, kan? Biasanya dia keluar kamar jam setengah tujuh. Sekarang masih jam enam. Gue cuma mau masuk ke kamar ibu sebentar dan merenungi apa yang sudah gue lakukan ke ibu memang salah besar.

Kamarnya terasa hening. Tapi pikiran gue terus berlari tanpa arah. Sampai detik ini gue cuma bisa menyalahkan diri gue sendiri. Seharusnya gue nggak menghabiskan uang ibu dan membuat dia khawatir dengan hubungan gue sama Dhea. Gue ingat ibu pernah bilang kalau perhiasannya bisa dipakai untuk calon istri gue sama Levi jauh sebelum gue mengenal Dhea. Sekarang gue bahkan nggak berani memikirkannya lagi.

Setelah gue masuk ke kamarnya, gue perlahan menutup kamar ibu. Tapi derit kamarnya berbunyi sedikit. Gue lupa kalau engsel pintu kayu Mahoni yang dicat putih di kamar ibu ini memang ada yang butuh dikasih minyak sedikit biar nggak bunyi lagi.

Lagi-lagi gue melihat ke sekeliling kamar ibu. Ya, Tuhan! Kenapa jantung gue jadi berdebar gini? Apa ibu lagi ngelihatin gue sekarang? Gue sontak menghela napas gue yang begitu berat. Sepertinya itu hanya akan jadi harapan gue sekarang. Karena gue ingin sekali melihat ibu masih ada di sini. Gue rindu mendengar suaranya lagi.

Gue buka laci meja riasnya pelan-pelan dan memang ada di kotak kaca warna cokelat. Pas gue buka masih ada cincin pernikahan ibu yang memang jarang dipakai sama ibu karena aktifitasnya lebih sering masak di dapur.

Seandainya ibu masih ada, apa dia akan marah kalau gue masih tetap mempertahankan Dhea? Seandainya dia masih ada, gue bisa melihat dia memberi perhiasan ini ke calon istri gue. Karena dia memang sudah memiliki niat itu waktu gue baru kali pertama gue diterima kerja di kantor travel yang sekarang. Siapa pun itu. Menurut ibu, gadis itu akan menjadi gadis paling beruntung karena gue bisa mencintainya, dan dia akan dengan senang hati untuk memberikan kalung, cincin, serta beberapa gelang emas ibu ini ke pasangan gue dan Levi. Bagaimana sekarang gue bisa tersenyum kalau ibu sudah nggak ada? Entah ke mana gue harus meminta bantuan. Gue nggak mungkin minta tolong ke saudara Ibu, karena keuangan mereka juga nggak sebagus gue sebelum gue kenal Dhea. Mata gue kembali memanas.

Lihat selengkapnya