SAMPAI rumah, gue cuma bisa melihat lirikan mata tajam Levi yang selalu tertuju ke gue setiap kali kami berpapasan. Gue coba mengabaikannya waktu gue ambil piring dan makan ketoprak yang gue beli di pinggir sekolahan dekat rumah tadi. Gue sudah malas meributkan kematian ibu sama dia lagi. Gue ingin kami hidup rukun di rumah ini seperti yang diinginkan ibu sebelum dia pergi.
Entahlah. Gue masih heran kenapa Levi malah bersikap sebaliknya. Kalau dia sudah mulai angkat bicara, rasanya ingin gue tutup mulutnya dengan lakban dan membuat dia sadar kalau gue atau Dhea nggak salah apa-apa sampai dia membenci kami seperti ini.
Dulu, Levi nggak pernah ikut campur dan merusak mood gue. Apa mungkin juga karena baru kali ini gue serius sama Dhea? Atau, memang baru kali ini gue punya pacar dan dia sampai harus seperhatian ini.
Kami harus memusatkan pikiran untuk tetap menjaga vendor-vendor serta wedding organizer yang kami pesan di Hotel Ammara bisa menepati kontrak mereka dengan baik nanti, setelah gue melunasi semua invoice-nya.
Tapi setelah gue lihat ATM gue tadi sore, dari mana gue melunasinya? Tinggal vendor dari tim wedding organizer, dekorasi dan catering. Kartu kredit gue juga sudah over limit karena kebutuhan hidup gue sama Dhea cukup besar. Sementara vendor-vendor lain dari gaun, tim fotografer, sampai suvenir sudah beres. Kartu undangan juga tinggal cetak, dan hanya ada 100.
Itu juga karena seingat gue Dhea nggak mengundang banyak teman-temannya atau saudaranya. Sama seperti gue. Mungkin hanya ada teman-teman kantor, kuliah, dan saudara-saudara orangtua kami saja. Kalau cuma itu kayaknya mungkin cuma sekitar 100 orang tamu dari gue dan Dhea. Belum termasuk kalau ada pasangan. Jadi, gue rasa gedung yang kami sewan anti cukup untuk menampung semua tamu.
Sekarang gue harus cari uang di mana lagi untuk bayar apartemen Dhea? Kalau nggak dibayar, dia bisa nggak dapat kontrak baru sewa setahunnya lagi. Apa iya gue jual mobil lagi? Nggak, nggak, nggak. Itu satu-satunya harta berharga gue. Selain Dhea, tentunya.
Gue langsung melirik ke kamar ibu tepat di atas ruang makan ini, dan menoleh ke kamar Levi. Biasanya malam ini kami sedang nonton TV bersama-sama. Sekarang semua sudah berubah semenjak gue bisa jadi kekasih Dhea dan ibu telah pergi. Sudah nggak ada lagi kebersamaan kami di rumah ini.
***
Subuh ini gue sudah pergi ke kamar ibu. Tapi gue jadi tengok ke belakang lagi dan berharap Levi nggak benar-benar muncul dari anak tangga. Dia nggak mungkin sudah bangun, kan? Biasanya dia keluar kamar jam setengah tujuh. Sekarang masih jam enam. Gue cuma mau masuk ke kamar ibu sebentar dan merenungi apa yang sudah gue lakukan ke ibu memang salah besar. Seharusnya gue nggak menggadaikan surat rumah ini dan membuat dia khawatir dengan hubungan gue sama Dhea. Dia pernah bilang kalau perhiasannya bisa dipakai untuk calon istri gue sama Levi. Sekarang gue bahkan nggak berani memikirkannya.
Setelah gue masuk ke kamarnya, gue perlahan menutup kamar ibu. Tapi derit kamarnya berbunyi sedikit. Gue lupa kalau engsel pintu kayu Mahoni yang dicat putih di kamar ibu ini memang ada yang butuh dikasih minyak sedikit biar nggak bunyi lagi. Lagi-lagi gue lihat ke arah tangga. Ya, Tuhan! Kenapa jantung gue jadi berdebar gini? Apa ibu lagi ngelihatin gue sekarang? Gue sontak mengedarkan pandangan ke sekitar dan menghela napas gue yang begitu berat. Sepertinya itu hanya akan jadi harapan gue sekarang. Karena gue ingin sekali melihat ibu masih ada di sini.
Gue buka laci meja riasnya pelan-pelan dan memang ada di kotak kaca warna cokelat. Pas gue buka masih ada cincin pernikahan ibu yang memang jarang dipakai sama ibu karena aktifitasnya lebih sering masak di dapur.
Seandainya ibu masih ada, apa dia akan marah kalau gue masih tetap mempertahankan Dhea? Seandainya dia masih ada, gue bisa melihat dia memberi perhiasan ini ke calon istri gue. Karena dia memang sudah memiliki niat itu waktu gue baru kali pertama diterima kerja di kantor travel yang sekarang. Siapa pun itu. Menurut ibu, gadis itu akan menjadi gadis paling beruntung karena gue bisa mencintainya, dan dia akan dengan senang hati untuk memberikan kalung, cincin, dan beberapa gelang emas ibu ini. Bagaimana sekarang gue bisa tersenyum kalau ibu sudah nggak ada?
“Lo ngapain, Bar?”