“DHE! Tunggu!” Gue terus berlari menatap punggung Dhea yang sudah agak jauh dari rumah. Dia jalan cepat sekali, dan gue sudah jarang sekali olahraga akhir-akhir ini karena jalan terus sama Dhea sudah menguras tenaga gue. Jadi, napas gue pendek banget.
Untung aja komplek perumahan gue sepi dan remang-remang karena lampunya kuning. Nggak ada yang lihat rambut lurus gue berantakan dan keringat mengalir deras ke wajah gue yang selalu dipuji Dhea karena kulit gue putih dan semulus bayi sepuluh bulan. Rahang gue juga lebih tegas dari Levi yang lebih oval. Kata Dhea, sepintas gue bisa jadi aktor utama film action karena wajah gue berkarakter. Entah apa maksudnya. Yang jelas, gue penasaran apa dia sudah nggak sayang lagi sama gue? Kenapa dia nggak mau nengok ke gue sama sekali?
“Dheeea … sayaaang! Jalannya jangan cepet-cepet. Kayak mau lomba gerak jalan! Sayang!” panggil gue lagi dan berharap dia memelankan langkahnya. Tetangga juga nggak akan dengar teriakan gue, karena tiap malam juga selalu sepi jam segini. Pokoknya kalau kekejar, gue mau bilang kalau gue juga nggak mau putus. Eh? Dia nggak mungkin putusin gue, kan? Gue nggak boleh kehilangan Dhea. Yang ada di pikiran gue sekarang cuma itu dan … ya … gue benar-benar galau banget sekarang.
Gue masih ingat waktu ayah bilang kalau dia mencintai ibu tanpa syarat apa-apa, dan dia akan mencintai seseorang yang dia dapatkan sampai maut memisahkan mereka. Seperti itulah yang gue harapkan dalam hubungan gue sama Dhea nanti saat kami sudah berumah tangga. Karena ayah dan ibu benar-benar terpisahkan oleh maut. Kenapa gue nggak bisa seperti itu juga sama Dhea?
Dhea akhirnya menghentikan langkahnya setelah gue tersengal-sengal lari ke arahnya. Kami saling bertatapan meski dengan arti yang berbeda. Karena Dhea nampak heran dan sedikit marah waktu menatap gue. “Aku salah ya … sampai … kamu nggak mau lagi ngomong sama aku atau bales pesan aku?” tanya gue sambil mengatur napas gue yang masih memburu.
Dhea masih bergeming dan gue hanya bisa menatapnya lekat.
“Aku minta maaf kalo aku salah. Tapi … kenapa kamu dateng ke sini nggak bilang-bilang aku dulu?” tanya gue akhirnya. Karena gue nggak mau Dhea lihat pertengkaran gue dengan Levi tadi. Gue benar-benar nggak habis pikir bagaimana Levi bisa semudah itu bilang supaya gue putus dari Dhea. Dia nggak tahu seberapa besar gue berkorban demi Dhea. Gue bukan Levi yang bisa ganti pacar semudah dia ganti mobil dalam enam bulan hanya karena bosan waktu ayah masih ada banyak uang dan bisa membantunya untuk mencicilnya. Levi sudah bukan lagi saudara yang selalu mendukung keputusan gue.
Sekarang, gue cuma bisa menatap Dhea dan menunggu reaksinya. Gue nggak tahu kenapa dia mendadak bela-belain untuk datang malam-malam begini.
“Aku cuma mau minta maaf. Aku nggak tahu kalo kamu lagi ribut sama Levi dan … aku masih nggak nyangka kalo kamu malah nggak belain aku di depan dia!?”
Gue mau menjelaskan semuanya, tapi lidah dan pikiran gue jadi sinkron begini. Gue bingung harus ngomong apa ke Dhea. Karena dia sudah lihat gue terdiam di depan Levi. Gue takut salah ngomong lagi sekarang.
“Kamu udah nggak sayang lagi sama aku, kan?”
“Sayang,” gue akhirnya bisa buka suara. “Aku sayang banget sama kamu.” Bisa-bisanya dia bilang begitu. Gue mengerjap heran. “Kamu tahu aku udah berusaha memenuhi semua keinginan kamu. Sarapan dan dinner di restoran, jalan-jalan ke luar negeri, sampai kamu kepingin makan sirip ikan hiu juga aku udah iyain. Kamu ke salon aja aku sabar nungguin walau sampai empat jam.” Benar kata Levi kalau selama ini gue cuma jadi air dalam hubungan gue dengan Dhea. Karena ke mana Dhea menuju, gue akan selalu mengikutinya dan apa yang dia inginkan selalu berusaha gue wujudkan.
Dari obrolan mereka di restoran waktu itu, sepertinya Levi tahu betul kalau Dhea lebih keras kepala dari gue dan nggak pernah bisa mengubah prinsipnya sampai mati. Sayangnya, gue telat menyadarinya.