GUE nggak berani menyapa Dhea meskipun gue sudah datang ke apartemennya. Sejujurnya gue nggak ingin dia marah, karena gue cukup kecewa melihat dia pergi seperti waktu itu. Apa mungkin dia butuh waktu untuk memikirkan hubungan kami? Gue sudah nggak tahu lagi bagaimana bicara sama dia kalau hati kecilnya masih marah sama gue. Mungkin gue memang lebih baik pergi sejenak dari dia, karena gue nggak mungkin membatalkan pernikahan yang sudah kami rencanakan.
Walau gue sudah memenuhi kebutuhan Dhea sehari-hari, gue nggak menganggap itu harus tergantikan sampai finansial gue kembali membaik. Dulu, ayah juga berkorban dengan meninggalkan keluarganya sejenak untuk bisa bertahan sama ibu dari nol sampai dia bisa kerja keras di bagian keuangan, dan pada akhirnya bisa membantu keluarga-keluarganya yang membutuhkan dia saat mereka ada masalah keuangan dari bisnis kapal yang terancam bangkrut hanya karena dikhianati kakak kandung ayah kami. Tahun berikutnya, ayah malah mengorbankan surat tanahnya untuk menopang hidup mereka yang entah kenapa tiba-tiba jadi susah karena usaha mereka sendiri bangkrut.
Tapi sekarang gue makin paham kenapa Levi masih belum menerima Dhea jadi bagian dari keluarga kami. Pagi ini gue cuma bisa melamun di meja makan. Roti sandwich isi sepotong daging, sayur selada, tomat, mayonnaise, dan saus yang dibikin asisten rumah tangga –yang memang selalu datang tiap pagi dan pulang tepat jam lima sore nanti, cuma gue anggurin. Karena nafsu makan gue sudah hilang.
“Ke mana Dhea? Tumben lo nggak telepon-teleponan sama dia lagi?”
Gue hanya bergeming.
“Ayah sama ibu juga pasti nggak mau lihat pernikahan kita gagal hanya karena kita salah pilih pasangan. Makanya pikir-pikir lagi kalo dia nggak bisa mengikuti saran dari kita untuk berubah. Ya, Bar?” celetuk Levi memecah hening dan gue hanya bisa menghela napas dan terduduk di ruang makan. Mbak Sumi sudah menyiapkan makan malam untuk kami, tapi gue nggak ada selera untuk makan apa-apa malam ini.
Levi memang selalu bisa mencairkan suasana kalau ada pertengkaran di rumah ini, dan terkadang rasa khawatirnya bisa terlalu berlebihan. Ya. Gue pikir akan seperti itu. Tapi setelah gue bayangkan lagi dan melihat sikap Dhea yang seperti sosok yang innocent semalam, Mungkin dia ada benarnya juga.
Karena sampai sekarang gue masih menaruh surat sertifikat rumah di bank dan harus mencicilnya hutang gue tiap bulan, dan Dhea seakan nggak peduli soal itu. Padahal kami berdua yang menikmati uangnya. Tapi apa dia juga mendengar semuanya? Apa dia akan menganggap itu hanya masalah kecil yang bisa kami selesaikan bersama kalau gue bicara lebih awal? Tapi setelah gue ungkapkan masalah keuangan gue yang lain, dia malah berpaling dan pulang tanpa sepatah kata lagi.
Sekarang gue benar-benar ragu Dhea bisa tetap mencintai gue seperti semula. Gue lihat Dhea masih terus beraktifitas seperti biasa di jagat sosialnya seolah dia nggak punya masalah sama sekali sama gue.
“Sori kalo selama ini gue terlalu perhatian dan ikut campur masalah lo. Tapi lihat dari story-story Dhea dan post-nya yang terlihat seperti hidup tanpa beban, dan lo yang harus menanggung semuanya, gue nggak bisa diam, Bar. Gue cuma nggak mau kalian berdua terluka atau saling melukai.”
Iya-iya. Gue paham maksud Levi sekarang. Tapi gue lagi malas jawab sahutannya. Gue agak malu mengakui kalau dia memang sedang ingin menyelamatkan gue dari masalah. Karena selama ini gue hanya denial terus-terusan, karena gue kira Dhea memang nggak seperti yang Levi pikirkan selama ini.
“Gue minta maaf, Lev,” seru gue tertunduk dan menatap piring makan ceper putih gue. Sejenak gue bisa dengar helaan Levi yang terdengar begitu berat.
“Gue cuma berharap lo bisa dapet yang terbaik, Bar. Kalo lo mau berbagi masalah keuangan lo sama dia dan dia mau dengerin lo, mungkin semuanya nggak akan begini,” ujar Levi.