HARUSNYA minggu lalu gue nggak ambil keputusan waktu lagi emosi. Kalau perasaan gue jadi nggak enak begini, gue ragu apa keputusan untuk putusin Dhea memang pilihan yang tepat buat gue. Tapi Dhea sudah nyuekin pesan-pesan gue walau isinya hanya sekadar mengirim pertanyaan apa kabar. Gue kira itu artinya dia memang mau putus. Ternyata dia masih ingin ketemu gue hari ini! Gue cuma bilang ‘oke’ untuk menjawab pesannya semalam.
Mudah-mudahan dia menghubungi gue lagi bukan karena dia tahu kalau gue sudah nekat pergi ke apartemennya. Gue ke sana karena gue merindukannya, dan ingin dia baik-baik saja. Sudah berhari-hari gue memendam rasa khawatir gue karena dia tinggal sendirian di apartemen dan sudah jarang update post di LivesMe-nya lagi.
Kalau pada akhirnya kami memang harus putus, paling nggak ada ruang untuk gue bernapas karena gue nggak akan mengeluarkan banyak uang lagi untuk membantu, meminjamkan, atau mengikhlaskan biaya hidup gue untuk kebutuhan dia lagi. Untuk sekarang gue hanya nggak bisa lagi membendung rasa rindu gue saat dia ingin ketemu hari ini.
“Bar,” panggil Dhea dan gue langsung menoleh. Ternyata dia sudah melangkah ke arah gue begitu lift yang nggak jauh dari posisi gue berdiri ini terbuka lebar. Apartemennya memang nggak ada lobi khusus yang selalu dijaga satpam dua puluh empat jam. Gue bisa lihat langsung siapa saja yang turun dari lantai atas apartemen ini.
Jantung gue jadi berdebar lagi karena bisa ketemu Dhea lagi. Entah kenapa gue mau datang ke apartemen ini siang ini. Tadinya gue sudah pasrah kalau dia mau putus dan hubungan kami nggak bisa diperbaiki lagi, tapi hati gue berkata lain. Hari ini gue hanya ingin tahu apa yang ingin dibicarakan Dhea saat dia minta gue datang.
“Dhe,” panggil gue memecah hening. Kenapa setelah memanggil gue, dia malah diam saja? Apa dia lagi sariawan? Sakit tenggorokan? Atau dia lagi PMS dan sedang menahan emosinya? Trus, buat apa gue disuruh datang ke sini? Bodohnya, gue tetap datang. Kayaknya harga diri gue sudah tercoreng, karena gue yang putusin dia dan gue malah datang ke sini walau bukan gue yang ingin. Tapi rindu ini memang nggak bisa lagi gue bendung.
“Aku tahu kamu datang, Bar.”
“Serius?”
Dhea mengangguk. “Kenapa kamu nggak telepon aku?”
“A-aku takut kamu nggak mau ketemu aku lagi.”
“Mau.”
“Yang bener?”
“Iya. Aku cuma mau balikin cincin dari kamu.”
Gue tersentak mendengarnya. Gue bilang juga apa!? Untuk apa gue datang ke sini kalau akhirnya dia cuma mau nyakitin perasaan gue lagi? Dhea sungguh satu-satunya perempuan yang bisa mengobrak-abrik hati gue.
Seandainya saja dia tahu kalau cincinnya juga gue bayar pakai kartu kredit dan harus gue cicil satu tahun. Gue nggak sadar uang gue habis, karena tagihannya juga langsung kepotong di ATM gue dan gue belum sempat cek mutasinya lagi kemarin-kemarin. Apa kelewat gara-gara gue sudah pusing hitung semua cicilan gue? Ah, entahlah. Gue cuma menggeleng kecil di depan Dhea. “Nggak usah, say … hmm … Dhe. Untuk kamu aja. Meski kamu bukan pacar aku lagi.”
“Jadi, kamu mau nyerah sama hubungan kita?”
Kenapa gue nggak nyerah? Pengeluaran gue sebulan serasa habis untuk warga sekomplek. Mata gue sudah terbuka sekarang dan gue memang ambil keputusan tepat kemarin untuk melepaskan Dhea dari genggaman gue daripada tangan gue ikut terluka.
Gue nggak mau mengambil keputusan yang salah lagi hanya untuk gadis yang teramat gue cintai ini. Entah sampai kapan gue bisa menghilangkan perasaan sesal ini.
Seandainya saja gue nggak sebuta ini mencintai Dhea, mungkin ibu masih ada di sini. Gue selalu merindukannya setiap malam dan membayangkan doanya untuk hubungan gue sama Dhea. Sepertinya gue bahkan nggak pantas mendapat doa itu sekarang. Karena Dhea sudah nggak mencintai gue lagi.
Gue menghela napas berat. “Jadi, kamu anggap aku yang menyerah di sini?”
Dhea mengangguk. “Iya. Kalo nggak, kamu usaha dong. Masa kita putus begini aja?”
Usaha apa lagi? Bukannya dia juga diam saja waktu malam itu? Gue kira dia sudah ilfil sama gue karena gue bukan lagi Barra yang bisa membuat dia bangga dan memenuhi semua keinginannya sampai gue sendiri yang harus hemat-hemat setiap hari. Gue cuma bisa menatapnya penasaran. “Maksud kamu usaha gimana lagi, Dhe?”
“Ya, ‘kan kamu yang nyerah. Bukan aku. Kenapa kamu jadi tanya aku maksudnya gimana?”
Gue mencelos. Karena kami berdua sudah sama-sama tersesat, dan nggak tahu bagaimana memperbaiki keadaan kami. Kalau gue ungkap keinginan gue sekarang, apa dia bisa terima? “Aku bingung, Dhe.”
“Bingung? Jadi … karena kamu bingung, kamu nyerah sama hubungan kita?”
Gue cuma melongo karena ditantang Dhea seperti ini. Apa dia nggak tahu perasaan gue sudah kacau balau waktu putusin dia? “Aku juga nggak mau berakhir begini, Dhe.”
“Trus?”
“Kamu mau aku gimana? Apa kamu mau dengerin aku biar kita nggak putus?”
Dhea malah mengernyit menatap gue. “Dengerin apa?” tanyanya.