Cinta Sampai Mati

Nakshatra B.
Chapter #38

38

~ Mungkin benar kalau cinta dengan pengorbanan besar butuh harga

yang begitu mahal untuk ditebus. Tapi cinta gue yang tanpa pamrih ke Dhea gimana nasibnya kalau dia masih bertahan dengan hobinya yang mahal itu? ~


~ POV. Barra ~

 

SEHARUSNYA minggu lalu gue nggak ambil keputusan waktu lagi emosi. Kalau perasaan gue jadi nggak enak begini, gue ragu apa keputusan untuk putusin Dhea memang pilihan yang tepat buat gue. Tapi Dhea sudah nyuekin pesan-pesan gue walau isinya hanya sekadar mengirim pertanyaan apa kabar. Gue kira itu artinya dia memang mau putus. Ternyata dia masih ingin ketemu gue hari ini! Gue cuma bilang ‘oke’ untuk menjawab pesannya semalam.

Mudah-mudahan dia menghubungi gue lagi bukan karena dia tahu kalau gue sudah nekat pergi ke apartemennya. Gue ke sana karena gue merindukannya, dan ingin dia baik-baik saja. Sudah berhari-hari gue memendam rasa khawatir gue karena dia tinggal sendirian di apartemen dan sudah jarang update post di LivesMe-nya lagi.

Kalau pada akhirnya kami memang harus putus, paling nggak ada ruang untuk gue bernapas karena gue nggak akan mengeluarkan banyak uang lagi untuk membantu, meminjamkan, atau mengikhlaskan biaya hidup gue untuk kebutuhan dia lagi. Untuk sekarang gue hanya nggak bisa lagi membendung rasa rindu gue saat dia ingin ketemu hari ini.

“Bar,” panggil Dhea dan gue langsung menoleh. Ternyata dia sudah melangkah ke arah gue begitu lift yang nggak jauh dari posisi gue berdiri ini terbuka lebar. Apartemennya memang nggak ada lobi khusus yang selalu dijaga satpam dua puluh empat jam. Gue bisa lihat langsung siapa saja yang turun dari lantai atas apartemen ini.

Jantung gue jadi berdebar lagi karena bisa ketemu Dhea lagi. Entah kenapa gue mau datang ke apartemen ini siang ini. Tadinya gue sudah pasrah kalau dia mau putus dan hubungan kami nggak bisa diperbaiki lagi, tapi hati gue berkata lain. Hari ini gue hanya ingin tahu apa yang ingin dibicarakan Dhea saat dia minta gue datang.

“Dhe,” panggil gue memecah hening. Kenapa setelah memanggil gue, dia malah diam saja? Apa dia lagi sariawan? Sakit tenggorokan? Atau dia lagi PMS dan sedang menahan emosinya? Trus, buat apa gue disuruh datang ke sini? Bodohnya, gue tetap datang. Kayaknya harga diri gue sudah tercoreng, karena gue yang putusin dia dan gue malah datang ke sini walau bukan gue yang ingin. Tapi rindu ini memang nggak bisa lagi gue bendung.

“Aku tahu kamu pernah datang ke sini, Bar.”

“Serius?”

Dhea mengangguk. “Kenapa kamu nggak telepon aku?”

“A-aku takut kamu nggak mau ngomong sama aku lagi.”

Dhea bergeming, dan gue nggak paham sama pikirannya sekarang.

“Sebenernya aku khawatir sama kamu, Dhe,” ucap gue jujur. Sampai-sampai gue berdoa kalau gue nggak bisa ketemu Dhea lagi, gue mau langsung ke Bandung saja untuk bisa menemukannya. Meskipun dia masih merasa menjadi korban perasaan dari hubungan kami yang sempat membuat dia ragu padahal dia memang sumber masalah finansial gue, entah kenapa gue masih peduli dan sayang sama dia.

Waktu Dhea berharap gue meneleponnya, hati gue bergetar lagi dan terbesit pikiran kalau kami masih bisa kembali meneruskan pernikahan kami. Namun, lagi-lagi gue harus tahu gimana keinginan Dhea dan gue nggak bisa gegabah lagi untuk mencintainya lebih dalam.

“Tapi kamu tahu aku nggak mungkin bisa gantiin semua uang yang udah kamu kasih walau aku terus janji.”

Gue mencelos, dan mengangguk paham. “Aku tahu.”

“Kamu nggak marah?”

Gue menggeleng sampai gue lihat Dhea tersenyum lega. “Tadinya aku kira kamu yang udah nggak mau ketemu aku lagi,” ucap gue.

Lihat selengkapnya