Cinta Sampai Mati

Nakshatra B.
Chapter #27

27

HARUSNYA minggu lalu gue nggak ambil keputusan waktu lagi emosi. Kalau perasaan gue jadi nggak enak begini, gue ragu apa keputusan untuk putusin Dhea memang pilihan yang tepat buat gue. Tapi Dhea sudah nyuekin pesan-pesan gue walau isinya hanya sekadar mengirim pertanyaan apa kabar. Apa itu artinya dia memang mau putus?

Berhari-hari gue harus memendam rasa khawatir gue karena dia tinggal sendirian di apartemen dan sudah jarang update post di Instagram-nya lagi. Apa dia baik-baik saja? Hari ini gue sudah nggak bisa lagi membendung rasa rindu gue dan entah kenapa gue malah nekat pergi ke apartemennya waktu dia tiba-tiba kirim WhatsApp kalau dia sudah menunggu gue di sana.

Dhea sudah tahu kalau gue akan datang ke apartemennya. Tapi tiba-tiba notifikasi WhatsApp gue bunyi, dan ternyata dia sudah lihat gue dari lift. Gue sontak menoleh, dan perlahan mendekatinya. Jantung gue berdebar lagi setiap ketemu dia. Entah kenapa gue malah datang ke apartemen ini lagi setelah dia meminta gue datang ke apartemennya.

Seharusnya gue nggak menunggu pesan dari Dhea lagi. Tapi hati gue berkata lain. “Dhe,” panggil gue memecah hening. Soalnya, dari tadi dia diam saja. Apa dia lagi sariawan? Atau, lagi PMS. Trus, buat apa gue disuruh datang ke sini? Bodohnya, gue tetap datang. Kayaknya harga diri gue sudah tercoreng, karena gue yang putusin dia dan gue malah datang ke sini walau bukan gue yang ingin. Tapi rindu ini memang nggak bisa lagi gue bendung.

“Aku cuma mau balikin cincin dari kamu.”

Gue tersentak mendengarnya. Gue bilang juga apa. Untuk apa gue datang ke sini kalau akhirnya dia cuma mau nyakitin perasaan gue lagi. Seandainya saja dia tahu kalau cincinnya juga gue bayar pakai kartu kredit dan harus gue cicil satu tahun. Gue nggak sadar uang gue habis, karena tagihannya juga langsung kepotong di ATM gue dan gue belum sempat cek mutasinya lagi kemarin-kemarin. Apa kelewat gara-gara gue sudah pusing hitung semua cicilan gue? Ah, entahlah. Gue cuma menggeleng kecil di depan Dhea. “Nggak usah, say … hmm … Dhe. Untuk kamu aja. Meski kamu bukan pacar aku lagi.”

“Jadi, kamu mau nyerah sama hubungan kita?”

Kenapa gue nggak nyerah? Pengeluaran gue sebulan serasa habis untuk warga sekomplek. Mata gue sudah terbuka sekarang dan gue memang ambil keputusan tepat kemarin untuk melepaskan Dhea dari genggaman gue daripada tangan gue ikut terluka.

Gue nggak mau mengambil keputusan yang salah lagi hanya untuk gadis yang teramat gue cintai ini. Entah sampai kapan gue bisa menghilangkan perasaan sesal ini.

Seandainya saja gue nggak sebuta ini mencintai Dhea, mungkin ibu masih ada di sini. Gue selalu merindukannya setiap malam dan membayangkan doanya untuk hubungan gue sama Dhea. Sepertinya gue bahkan nggak pantas mendapat doa itu sekarang. Karena Dhea sudah nggak mencintai gue lagi.


Gue menghela napas berat. “Jadi, kamu anggap aku yang menyerah di sini?”

Dhea mengangguk. “Iya. Kalo nggak, kamu usaha dong. Masa kita putus begini aja?”

Usaha apa lagi? Bukannya dia juga diam saja waktu malam itu? Gue kira dia sudah ilfil sama gue karena gue bukan lagi Barra yang bisa membuat dia bangga dan memenuhi semua keinginannya sampai gue sendiri yang harus hemat-hemat setiap hari. Gue cuma bisa menatapnya penasaran. “Maksud kamu usaha gimana lagi, Dhe?”

“Ya, ‘kan kamu yang nyerah. Bukan aku. Kenapa kamu jadi tanya aku maksudnya gimana?”

“Aku bingung, Dhe.”

“Bingung? Jadi … karena kamu bingung, kamu nyerah sama hubungan kita?”

Gue cuma melongo karena ditantang Dhea seperti ini. Apa dia nggak tahu perasaan gue sudah kacau balau waktu putusin dia? Gue juga nggak mau berakhir begini. Tapi apa dia mau dengerin gue lagi? “Trus ….”

“Trus apa?”

“Kamu mau aku gimana? Apa kamu mau dengerin aku biar kita nggak putus?”

Dhea malah mengernyit menatap gue. “Dengerin apa?” tanyanya.

“Apa kamu mau terima nasehat dari kakak aku juga supaya hubungan kita bisa tetap aman-aman aja?” Kayaknya gue sama Dhea memang harus berjuang keras untuk mempertahankan hubungan kami. Apa harus sesulit ini mempertahankan hubungan? Nggak. Gue memang harus ngomong lagi apa adanya kalau Dhea memang mau terima gue lagi. Seperti apa yang dibilang Levi waktu itu.

“Nasehat?”

“Waktu itu aku pernah tanya kamu, tapi kamu nggak jawab apa-apa.”

“Yang bagian mana, Bar? Kamu ngomong cepet banget waktu itu, dan aku juga lagi kesel sama kamu gara-gara kamu malah diam waktu Levi menilai aku dan hubungan kita yang dikira nggak penting!”

Lihat selengkapnya