4 Agustus 2024
Nices Tour & Travel, Jagakarsa...
SUDAH hampir setahun gue dekat sama Dhea. Tapi pada akhirnya gue harus terima kenyataan pahit ini. Gue harus menyerah karena gue nggak sanggup lagi melewati badai kami bersama. Ditambah kehilangan ibu, rasanya gue masih saja membayangkan kalau ibu masih ada dan menelepon gue untuk menanyakan gimana kerjaan gue seharian ini lalu mengingatkan gue untuk hati-hati di jalan kalau jam kerja gue sudah selesai. Entah kenapa gue nggak menuruti ucapan Dhea kalau ibu pergi bukan karena kesalahan gue.
Setiap detik gue selalu terbayang dengan rasa bersalah ini. Selagi makan di rumah, gue juga selalu mengira ibu yang sedang masak dan bukan Mbak Sumi. Gue benar-benar belum terbiasa melihat suasana rumah yang begitu sepi dan asing sampai rasanya gue nggak ingin pulang lagi, karena ibu sudah nggak bisa masak lagi di dapur sambil ngajak gue dan Levi ngobrolin apa saja waktu kami makan bareng. Kepergian ibu seolah menyisakan lubang besar di rongga dada gue.
Seandainya waktu masih bisa berputar, gue pasti akan memilih diam di hadapan ibu dan menelan semua nasehatnya tanpa perlu membela Dhea mati-matian malam itu.
Gue masih saja kesal dan terus mencoba untuk berlapang dada setiap kali gue mengingat hal-hal buruk yang menimpa hidup. Gue menyesali kenapa waktu itu ibu harus mendengar pertengkaran gue dan Levi.
Lagi-lagi akal sehat gue terusik. Sepertinya memang percuma juga gue menyalahkan keadaan dan sikap Levi yang cuma memancing emosi gue waktu itu. Semuanya sudah kejadian dan gue nggak bisa mengulang waktu untuk kembali ke malam itu. Gue nggak bisa melawan takdir Tuhan.
Tapi seandainya saja gue bisa membuat bibir Levi diam saat itu, mungkin ibu masih menghubungi gue walau hanya untuk sekadar menanyakan gue akan makan siang apa kalau dia nggak membuat bekal buat gue dan Levi karena tubuhnya terlalu letih setelah beberes di rumah seharian.
“Lo kenapa, Bar? Kok kusut gitu?”
Gue tersentak dari lamunan gue dan menoleh ke Rexy yang sudah duduk di depan gue sambil memangku dagunya.
“Lo masih keingetan sama nyokap, Bar?”
Gue cuma menatap Rexy dan menghela napas. Waktu Rexy datang ke rumah, dia juga syok waktu ibu tiba-tiba meninggal. Rasa prihatinnya membuat dia sampai datang ke rumah untuk mendoakan ibu selama tujuh hari tanpa absen sehari pun.
“Gue khawatir kalo lo terus murung gini, klien lo pada kabur, Bar.”
“Iya, nggak.”
“Gitu dong! Nggak etis banget kalo lo teleponan sama mereka, suara lo serak terus gara-gara nangis.”
“Siapa yang nangis!?” sembur gue heran.
“Nggak usah sok kuat. Gue tahu lo masih berduka banget. Tapi it's time to think about yourself, bro. Pikirin kesehatan lo juga. Lagian bukannya masih tanggal muda? Lo bisa jalan-jalan sama Dhea untuk refreshing sedikit. Ya, 'kan?” Rexy terus menatap gue penasaran.
Rexy nggak salah ngomong seperti itu, karena beberapa hari ini gue memang sudah lebih banyak diam di kantor. Nggak ada sapaan atau candaan ke karyawan lain waktu kami berpapasan. Nggak seperti biasanya mood gue kacau balau begini hanya karena seorang gadis yang hanya mencintai gue seadanya. Bahkan sampai detik ini gue masih nggak mengira Dhea memilih untuk setuju dengan keputusan gue setelah tahu gue nggak ada apa-apa yang bisa dia banggakan lagi. Gue ingin coba menghubunginya, tapi kali terakhir kami bertengkar, dia tiba-tiba pergi begitu saja. I’m really done. Nggak ada lagi percakapan di antara kami.
“Bar? Are you okay, bro?”
Gue tersentak. Dari meja kerja, gue cuma melihat Rexy yang sedang berdiri di balik pintu dengan malas sekali. Tubuh gue sudah nggak bersemangat sampai berhari-hari walau pesanan untuk liburan dan berangkat Umroh untuk Februari tahun depan banyak sekali. “Gue putus, Rex,” sahut gue sambil menghela napas seberat beban yang mampu diangkat Ade Rai. Napas gue masih terasa sesak banget sekarang.
Rexy sontak terlihat syok dengar ucapan gue. Gimana dia nggak kaget tahu gue putus? Kalau saja ada satu hari gue nggak membahas soal Dhea, dia pasti akan mengira hari itu akan turun hujan duit. Dhea memang sudah seperti vitamin penambah tenaga gue dan harus gue minum untuk sehari-hari biar gue bisa semangat menjalani aktifitas di kantor, di rumah, atau di mana pun gue berada.
Gue ingat banget Rexy selalu bilang gue lebay, karena Dhea belum tentu melakukan hal yang sama kalau mencintai seseorang. Karena gue jatuh cinta pada pandangan pertama sama Dhea dan nggak peduli apa kata orang kenapa gue bisa memilihnya. Gue memang lebih rela mati-matian ngantri di salon atau spa berjam-jam demi menanti dia jadi terlihat lebih memesona dan beraroma campuran bunga yang wanginya begitu semerbak sampai radius lima meter kalau dia lewat. Gue senang melihat dia bahagia.
“Hah? Serius?”
Gue tersentak dan mendengus heran. Gue kaget banget Rexy sudah menatap gue dari jarak sejengkal. Gue hanya mengerjap membalas tatapannya dan mengangguk pelan sambil mundurin kepala gue perlahan-lahan. “Siapa yang bercanda!?” Setelah gue berdeham dan suruh dia menjauh dengan lambaian tangan gue, dia langsung nurut. Gue nggak heran Rexy sekaget ini. Karena selama ini gue yang mati-matian mempertahankan Dhea dan membuat Levi sama Ibu jadi diam-diam prihatin sama masalah gue.
“Duh!” Rexy mencelos dan membuat gue jadi penasaran kenapa reaksinya jadi begitu.