Sudah tujuh hari ini Dhea dan keluarganya berkunjung ke rumah. Juga beberapa tetangga serta sebagian saudara dari ayah dan ibu yang ingin mengirim doa ke ibu.
Tak lama setelah kami selesai membacakan Surat Yasin dan surat lainnya di malam tahlilan ibu, satu per satu mereka berpamitan sama gue dan Levi. Sampai sekarang mereka masih syok juga waktu ibu tiba-tiba pergi, dan gue nggak bisa menjelaskan apa-apa selain memberitahu kondisi jantung ibu yang memang sudah tinggal berapa persen saja ketika kami memeriksa hasil rontgen-nya bulan lalu. Masalah gue bertengkar sama Levi nggak mungkin juga gue beritahu ke keluarga Dhea.
Di depan keluarga Dhea, gue juga nggak bisa menyiapkan apa-apa seperti yang pernah diceritakan Dhea waktu itu. Tapi sepertinya mereka sudah memaklumi keadaan gue sekarang semenjak mereka datang ke rumah waktu ibu meninggal. Lagi pula mereka tahu gue juga belum sempat pergi ke rumah orangtuanya yang ada di Bandung karena gue ada pekerjaan yang nggak bisa ditinggal, dan gue terus menemani Dhea membuat konten.
Waktu gue sudah terpusat pada Dhea, pekerjaan, dan urusan pernikahan kami berdua. Dhea juga sepakat untuk undang orangtuanya saja yang kebetulan baru pulang Umroh dan masih ada di Jakarta untuk perkenalan sekaligus minta doa restu dari mereka.
Selama ini waktu gue lebih banyak untuk jalan-jalan sama Dhea daripada mengenal keluarganya. Dia juga sibuk banget, dan gue terlena. Ya. Gue pikir hanya dengan bertemu dia, gue merasa cukup memberitahu kabar baik untuk pernikahan kami saja dan nggak perlu terlalu mengenal atau dekat dengan keluarganya yang lain juga. Karena kesibukan, Dhea juga nggak terlalu terlihat dekat dengan saudara-saudaranya yang lain. Gue pikir itu normal, dan gue nggak keberatan juga kalau Dhea cuma kasih tahu nama adik-adiknya lewat foto-foto dari ponselnya waktu itu.
Dhea tahu kalau sebenarnya gue nggak mau kami ketemu dalam keadaan seperti ini, dan dia juga sempat minta maaf karena belum sempat ajak gue ke Bandung untuk kenalan sama adik-adiknya. Jadi, semua memang harus gue hadapi sekarang. Suka atau nggak, gue harus tetap memasang senyum menyambut kedatangan mereka yang ingin menghibur gue atau Levi dan mendoakan ibu.
“Kak Barra, kapan main ke Bandung?”
Gue sontak menoleh dan agak terkejut. Karena kantung matanya terlihat sedikit menghitam. Gue mengelus jantung gue sambil mengukir senyum ke adik Dhea, dan mengangguk. “Iya, nanti aku tanya Kak Dhea dulu ya,” jawab gue sambil memerhatikan dia. Karena potongan rambutnya seperti gue. Ada sedikit model undercut dan french crop, dengan potongan samping yang agak tipis. Tapi gue masih bisa menata rambut gue jadi spike sewaktu-waktu kalau gue mau ke kantor. Gue coba menebak namanya. Tapi yang gue ingat cuma kue lapis … oh, Dinda!
“Aku teh nggak pernah lihat Kak Dhea sebahagia dia jalan bareng Kak Barra.”
Gue mencelos, dan tersenyum kecil mendengar ucapan Dinda.
“Din, ini bukan saat yang tepat bahas soal itu.”
Seru adik Dhea yang kedua saat menghampiri kami yang sedang duduk di sofa ruang tengah. Karena hari ini gue sudah nggak mengeluarkan sofa lagi untuk tujuh harian ibu. Gadis itu hanya menatap Dinda dengan bola matanya yang membesar dan kembali melihat ke gue dengan sorot matanya yang nggak sehangat adik ketiga Dhea ini. Entah karena apa. Gue hanya ingat kalau Farah memang tipe cemburuan, dan dia persis seperti yang ditunjuk Dhea di foto. Rambutnya lebih panjang dari adik-adiknya, dan model potongannya ber-layer seperti Dhea.
“Iya, Kak Farah. Maaf ya, Kak Barra. Aku cuma penasaran. Soalnya akhir-akhir ini Kak Dhea….”
“Ssssh. Udah,” seru Farah lagi dan gue hanya menatap keduanya seperti bertengkar kecil hanya karena perubahan Dhea.
“Iya-iya.”
Gue hanya mengukir senyum melihat Dinda. Apa Farah cemburu karena Dinda mengagumi Dhea? Atau, apa karena gue bisa membahagiakan Dhea selama ini? Gue sedikit paham maksud Dinda, karena dia bicara dengan raut wajah yang bahagia sekali.
“Kakak suka ngetrek di Sentul ya?”
Gue tersentak mendengarnya. Ternyata Dinda memang benar-benar tomboi sampai tahu bahasa balapan. Gue cepat menggeleng. “Nggak. Cuma pernah sekali.”
“Wah! Keren banget, Kak! Mobil kakak pasti lebih cepat dari yang lain ya!”
Gue terkekeh kecil dan mengangguk saja. Memang kecepatannya lumayan, tapi rekening gue juga lumayan abis banyak untuk bayar cicilannya tiap bulan. Berada di dekat Dinda sungguh bisa menghidupkan suasana hati gue yang sedang suram. Sepintas dia mengingatkan gue kalau Dhea sedang semangat-semangatnya membuat konten dan meminta pendapat gue.
“Kak Farah, Kak Dinda … dipanggil Mama,” seru seorang gadis berkacamata kotak kecil warna hitam dan hanya sekilas menatap gue lalu tertunduk malu-malu lagi.
Kalau yang ini pasti Lulu. Gue bisa lebih mudah mengenalinya setelah Dhea memberitahu. Mereka juga hanya terpaut satu tahun, jadi terlihat masih jauh lebih muda dari Dhea yang lahir sebelas tahun lebih dulu.
Farah dan Dinda langsung berpamitan dan adik Dhea yang lain menghampiri gue. Kalau yang ini rambutnya sepipi. Waktu dia melangkah dan rambutnya ketiup angin, gue bisa lihat pipinya yang tambun dan memerah karena riasan di wajahnya.
“Halo, Kak Barra, kalo nikah sama Kak Dhea … aku siap bantu lho! Aku tahu makanan dari catering mana yang enak-enak.”
“Oh, gitu. Tapi …,” gue hanya meringis, karena gue nggak enak menolak usulan Dinda. “Nanti aku atau Kak Dhea kabarin lagi ya,” seru gue ke Dinda. Dari postur tubuhnya memang lebih subur dan chubby juga daripada yang lain. Nggak heran waktu itu Dhea bilang adiknya ini paling suka makan. Tapi hubungan kami masih agak berjarak, karena nggak ada perkenalan khusus di antara kami. Dhea juga masih sibuk bikin konten dan nggak mengharuskan gue untuk kenalan sama adik-adiknya. Mungkin Dhea juga belum cerita soal vendor catering yang sudah kami putuskan ke adiknya ini.
“Aku juga setuju kalo Kak Barra nikah sama Kak Dhea. Tapi ….”
Gue sontak menoleh ke adik Dhea yang badannya lebih pendek dari yang lain, karena usianya memang baru tiga belas tahun tapi wajahnya sedikit lebih dewasa. Tapi apa dulu nih?
“Tapi jangan sampai mengecewakan Kak Dhea ya, Kak.”
“Ooh, iya,” gue manggut-manggut saja. mana mungkin gue membuat Dhea sedih. Tapi kalau Levi mungkin bisa mengganggu ketenangan rumah tangga gue nanti, makanya gue harap mereka bisa berdamai dulu sekarang atau setelah gue dan Dhea bisa memperbaiki masalah keuangan kami.
Permintaan Dinda memang nggak susah, tapi prakteknya kadang jauh lebih sulit daripada menjawab soal ujian masuk kedokteran seperti yang diinginkan ibu ke Levi dulu. Sayangnya, nilai Levi nggak cukup untuk kuliah kedokteran meskipun dia juga ingin jadi dokter.
“Adiknya banyak banget,” seru Levi saat mendekati gue dan mengedik ke arah saudara perempuan Dhea.